1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jerman Masih Harap-harap Cemas atas Hasil Pemilu Prancis

Christoph Hasselbach
11 Juli 2024

Pemerintahan di Paris untuk saat ini memang kelihatannya tidak akan dipimpin oleh partai nasionalis sayap kanan Le Pen. Namun demikian, politisi di Berlin tetap khawatir.

Pemimpin sayap kiri Prancis, Jean-Luc Mélenchon
Pemimpin sayap kiri Prancis, Jean-Luc MélenchonFoto: Thomas Padilla/AP Photo/picture alliance

Helaan napas lega terdengar di distrik pemerintahan Jerman di Berlin. Ada "semacam kelegaan bahwa hal-hal yang dikhawatirkan tidak terjadi," kata juru bicara pemerintah Steffen Hebestreit dengan hati-hati.

Kanselir Olaf Scholz telah menyatakan keprihatinannya saat mengetahui ada kemungkinan bahwa Prancis akan dipimpin oleh partai sayap kanan Rassemblement National (RN) dengan tokohnya Marine Le Pen. Tapi setelah putaran kedua pemilihan Majelis Nasional Prancis, aliansi kiri Front Populer Baru secara mengejutkan kembali bangkit dan menang besar, diikuti oleh sayap tengah Presiden Emmanuel Macron. Di tempat ketiga ada RN, yang sejauh ini muncul sebagai kubu terkuat pada pemilu putaran pertama.

"Ini melepas beban di hati banyak orang, termasuk saya,” kata Kevin Kühnert, sekretaris jenderal SPD di televisi publik ZDF. Ricarda Lang, salah satu pemimpin Partai Hijau yang terlibat dalam koalisi Berlin, menuliskan di media X "Merci France", bersama dengan tiga simbol hati dalam warna nasional Prancis yaitu biru, putih dan merah.

Mélenchon, konsisten bersikap anti-Jerman

Namun kelegaan para politisi di Berlin masih dibayangi harap-harap cemas. Kekhawatiran terbesar adalah kemungkinan menjabatnya Jean-Luc Mélenchon sebagai Perdana Menteri Perancis. Pendiri partai Indomitable France, fraksi terbesar di aliansi kiri, telah menyatakan klaim untuk memimpin pemerintahan baru.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Michael Roth (SPD), ketua Komite Urusan Luar Negeri di parlemen Jerman Bundestag, kepada harian Tagesspiegel di Berlin memperingatkan bahwa "Mélenchon adalah seorang yang konsisten anti-Jerman. Dalam narasi anti-Jerman dan anti-Eropa, dia secara substansial tidak berbeda dari Le Pen."

Namun, aliansi sayap kiri pasti membutuhkan mitra koalisi karena mereka tidak punya mayoritas absolut di parlemen.

Risiko ancaman krisis utang baru di Eropa

Di Jerman, ada kekhawatiran bahwa Prancis mungkin akan menyimpang dari apa yang telah diupayakan oleh Macron dalam mengkonsolidasikan anggaran. Seperti partai ultra kanan RN, aliansi sayap kiri juga ingin membalikkan kebijakan reformasi pensiun oleh Macron. Hal ini saja akan meningkatkan pengeluaran pemerintah secara signifikan.

"Prancis sudah menghadapi hambatan finansial dan memiliki utang nasional yang sangat tinggi," kata Ronja Kempin, pakar Prancis di Berlin Science and Politics Foundation, kepada DW sebelum pemilu. 

Prancis saat ini sangat terpolarisasi. Pada malam pemilu (08/07) terjadi bentrokan sengit antara kelompok ekstremis sayap kiri dan polisi.Foto: Artur Widak/Anadolu/picture alliance

Ia mengatakah bahwa tidak tertutup kemungkinan risiko terjadinya krisis utang baru di Eropa seperti 15 tahun lalu. Hal ini juga akan menjadi masalah bagi Jerman, karena Jerman juga bertanggung jawab terhadap negara-negara lain di Zona Euro.

Aliansi sayap kiri telah mengumumkan serangkaian tindakan yang dinilai akan membebani anggaran apabila mereka mengambil alih pemerintahan. Selain pembalikan reformasi pensiun, akan ada pula kebijakan pembekuan harga energi dan pangan, peningkatan tunjangan perumahan dan perluasan layanan publik.

Menurut informasi dari aliansi kiri, semua program ini akan menelan biaya total 125 miliar euro dalam dua tahun pertama. Sementara saat ini defisit anggaran Prancis sudah melewati batas yang disepakati Uni Eropa (UE).

Sebagai orang yang menentang UE, Mélenchon, mungkin tidak terlalu peduli dengan aturan defisit UE. Juga karena ia tahu bahwa Prancis, sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di UE, terlalu besar untuk gagal. Jadi kemungkinan besar Jerman, sebagai negara dengan perekonomian terkuat di UE, akan diminta untuk memberikan jaminan. Hal ini akan menjadi sensitif secara politik dan finansial bagi pemerintah Jerman. 

Namun kesulitan yang diperkirakan akan terjadi dalam pembentukan pemerintahan di Prancis, mungkin akan juga terjadi di Jerman karena ketidakpastian yang ditimbulkan. "Sekarang kita berada dalam ketidakpastian total, dalam kabut yang sangat tebal," kata Gael Sliman dari lembaga survei Prancis, Odoxa.

Tiga kubu besar di Majelis Nasional Prancis dapat saling memblokade dan menjerumuskan negara yang telah sangat terpolarisasi itu ke dalam krisis politik. Aliansi kiri dianggap musuh oleh kubu Macron, yang juga terpecah secara internal. Sedangkan Mélenchon tidak disukai oleh pihak lain yang terlibat di aliansi kiri. Gael Sliman menilai, tipis kemungkinan adanya kesepakatan umum dalam waktu dekat untuk jabatan perdana menteri.

Pilpres Prancis 2027 bisa jadi mimpi buruk Berlin

Politisi Berlin juga kemungkinan besar akan mengamati pemilihan presiden Prancis pada tahun 2027 dengan cermat, ketika Macron tidak dapat lagi mencalonkan diri setelah dua masa jabatan. Usai pemilihan parlemen, Marine Le Pen menegaskan bahwa kemenangan partainya hanya tertunda.

Jika nantinya rakyat Prancis kecewa dengan pemerintahan baru yang akan dibentuk, hal ini dapat meningkatkan peluang Marine Le Pen memenangkan pemilihan presiden pada tahun 2027.

Jika dia terpilih, "kita pasti akan memiliki Eropa yang sangat berbeda," kata Ronja Kempin. Prancis kemungkinan tidak akan keluar dari Uni Eropa dan Zona Euro, Marine Le Pen telah belajar dari kegagalan di masa lalu.

Bagaimanapun, ini akan menjadi mimpi buruk bagi pemerintah federal di Berlin dan berakhirnya kemitraan Jerman-Prancis dalam bentuk saat ini. Meski gagasan ini masih murni spekulasi, para politisi di Berlin kini harus bersiap menghadapi ketidakpastian yang lebih besar dalam kerja sama dengan Paris. (ae/hp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait