Jerman Meminta Maaf Atas Kejahatan Kolonial di Tanzania
2 November 2023
Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier meminta pengampunan atas kejahatan yang dilakukan oleh militer Jerman selama masa penjajahan di Tanzania.
Iklan
Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier pada hari Rabu (01/11/2023) meminta pengampunan atas kejahatan yang dilakukan selama masa pemerintahan kolonial di Tanzania.
"Saya ingin meminta maaf atas apa yang telah dilakukan oleh orang Jerman terhadap nenek moyang Anda di sini," kata Steinmeier dalam kunjungannya ke Museum Maji Maji di kota Songea, Tanzania selatan. Tanzania merupakan bagian dari wilayah jajahan Jerman di Afrika Timur.
"Saya ingin meyakinkan Anda bahwa kami orang Jerman akan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab yang membuat Anda tidak merasa tenang," tambahnya.
Iklan
Untuk apa Steinmeier meminta maaf?
Para ahli memperkirakan antara 200.000 hingga 300.000 anggota penduduk asli Tanzania dibunuh selama Pemberontakan Maji Maji antara tahun 1905 dan 1907.
Ini dianggap sebagai salah satu pemberontakan paling berdarah dalam sejarah kolonial, militer Jerman berpartisipasi dalam penghancuran ladang dan desa secara sistematis.
Berbicara tentang "rasa malu" yang dirasakan terhadap peristiwa tersebut, Steinmeier mengatakan bahwa Jerman siap untuk bekerja sama dengan Tanzania untuk "memproses komunal" masa lalu.
Presiden berjanji untuk membagikan cerita yang ia pelajari di Museum Maji Maji kepada masyarakat Jerman, dan menambahkan, "Apa yang terjadi di sini adalah sejarah kita bersama, sejarah nenek moyang Anda dan sejarah nenek moyang kami di Jerman."
Pada hari Selasa (31/10/2023), di hari kedua dari tiga hari lawatan Steinmeier ke Tanzania, presiden Jerman itu mengatakan bahwa Jerman akan mempertimbangkan "pemulangan properti budaya dan jenazah."
Sejarah Kebiadaban Kolonial Jerman
Jejak kolonialisme Jerman sudah banyak dilupakan. Namun kebiadaban pemerintahan kolonial lebih dari seabad silam masih menghantui hingga kini. Inilah penggalan sejarah kelam Jerman yang tak tuntas.
Foto: public domain
'Masa depan di Samudera'
Di Bawah kanselir Otto von Bismarck, Jerman menjajah Namibia, Kamerun, Togo dan sebagian wilayah Tanzania dan Kenya. Warisan Bismarck dilanjutkan Kaisar Wilhelm II (gambar) dengan membangun armada laut untuk memperluas wilayah kolonial Jerman. Bismarck sebenarnya bukan "pria kolonial." Agresi Jerman dilakukan cuma buat "melindungi rute perdagangan."
Foto: Hulton Archive/Getty Images
Jajahan Jerman
Jerman lalu membeli sejumlah wilayah jajahan di Pasifik, antara lain wilayah utara Papua Nugini, Kepulauan Bismarck, Kepulauan Marshall dan Solomon serta Qingdao di Cina. Sebuah konfrensi negara kolonial Eropa di Brussels tahun 1890 juga menelurkan hak buat Jerman untuk menduduki kerajaan Rwanda dan Burundi. Hingga akhir abad ke-19, perluasan wilayah kolonial Jerman resmi berakhir.
Foto: picture-alliance / akg-images
Manusa Kelas Dua
Populasi "kulit putih" di wilayah jajahan Jerman tidak lain adalah sekelompok kecil warga Eropa yang menikmati berbagai hak dan imunitas. Tahun 1914 sebanyak 25 ribu warga Jerman hidup di wilayah kolonial, hampir separuhnya menetap di Namibia. Sementara 13 juta penduduk lokal dianggap sebagai manusia kelas dua tanpa hak sipil.
Foto: picture-alliance/dpa/arkivi
Genosida Pertama Abad ke-20
Pembantaian terhadap etnis Herero dan Nama di Namibia adalah kejahatan terbesar Jerman di era kolonialisme. Pada pertempuran Waterberg, 1904, pasukan Jerman memblokir akses terhadap air buat pemberontak Herero yang melarikan diri ke gurun Namib. Akibatnya 60.000 orang mati kehausan.
Foto: public domain
Kejahatan yang Terlupakan
Cuma sekitar 16.000 anggota etnis Herero yang hidup setelah pemberontakan gagal. Mereka ditahan di kamp konsentrasi. Hasilnya sebagian meninggal dunia. Hingga kini jumlah pasti korban masih diliputi misteri. Berbeda dengan kejahatan NAZI di Perang Dunia II, Jerman belum pernah membayar ganti rugi atas pelanggaran HAM di era kolonialisme.
Foto: public domain
Alergi Masa Lalu
Antara 1905 dan 1907 berbagai kelompok etnis di wilayah yang kini bernama Burundi, Tanzania dan Rwanda bersatu untuk melawan Jerman setelah penduduk dipaksa menanam kapas untuk diekspor. Sekitar 100.000 pasukan pemberontak tewas dalam perang Maji-Maji. Hingga kini sejarah kelam tersebut jarang dibahas di Jerman. Sebaliknya pemberontakan itu adalah bagian penting dalam sejarah Tanzania.
Foto: Downluke
Reformasi Dernburg
Setelah berbagai perang pemberontakan, Jerman akhirnya merestrukturisasi pemerintahan kolonial untuk memperbaiki situasi penduduk di wilayah jajahan. Bernhard Dernburg (gambar) yang seorang pengusaha itu diangkat sebagai Menteri Kolonial dan menggulirkan reformasi untuk memperbaiki kebijakan Jerman di wilayah jajahannya. Dernburg terutama membidik manfaat ekonomi dari kolonialisme.
Foto: picture alliance/akg-images
Akhir Kolonialisme
Takluk di Perang Dunia I, Jerman lalu menandatangani perjanjian damai di Versailles tahun 1919. Dalam proses negosiasi Berlin harus menarik diri dari semua wilayah jajahannya. Akibatnya kas negara yang hampir kosong akibat perang semakin menciut. Jerman pun memasuki dekade penuh ketidakpastian ekonomi.
Foto: ullstein bild - histopics
Perundingan Alot
Negosiasi seputar pembantaian etnis Herero dan Nama kini memasuki fase tersulir. Jerman masih enggan memberikan uang ganti rugi. Perwakilan Herero akhirnya mengajukan keberatan resmi kepada PBB setelah tidak dilibatkan dalam proses perundingan.
Foto: Dagmar Wöhrl
9 foto1 | 9
Bagaimana posisi Tanzania di benua Afrika?
Pada tahun 2021, Jerman secara resmi mengakui melakukan genosida selama pendudukan kolonialnya di Namibia. Mereka mengumumkan kompensasi finansial untuk menebus kejahatan tersebut.
Jerman memiliki beberapa koloni dari tahun 1884 hingga akhir Perang Dunia I. Ini termasuk wilayah-wilayah yang sekarang dikenal sebagai Tanzania, Burundi, Rwanda, Namibia, Kamerun, Togo, dan Ghana.
Jerman dan Tanzania bertujuan untuk memperkuat hubungan mereka, dengan Presiden Tanzania Samia Suluhu Hassan sebagai satu-satunya kepala negara perempuan yang memiliki kekuasaan eksekutif di benua Afrika.
Wanita berusia 63 tahun ini telah mengubah banyak kebijakan pendahulunya, termasuk larangan demonstrasi, memulihkan izin surat kabar dan membebaskan para pemimpin oposisi yang dipenjara.
Namun, Amnesty International masih mencatat bahwa masih banyak kekurangan hak asasi manusia di negara ini, termasuk pembatasan pers dan kebebasan berkumpul.
Tanzania adalah salah satu negara dengan perekonomian terkuat di sub-Sahara Afrika dan diperkirakan akan mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 4,9% pada tahun ini, lebih tinggi dari yang diantisipasi oleh Jerman.