Jerman Perlu Lebih Banyak Mahasiswa Internasional
15 November 2019Ada 2,87 juta mahasiswa di Jerman dan satu dari 10 mahasiswa berasal dari luar negeri.
Ketua Dinas Pertukaran Akademis Jerman (DAAD), Margret Wintermantel, puas dengan jumlah ini. "Mobilitas lintas batas dari mahasiswa, peneliti dan proyek kerja sama internasional yang dipromosikan DAAD adalah kesuksesan hebat," katanya kepada DW.
Setelah Amerika Serikat, Inggris dan Australia, Jerman adalah tujuan kuliah paling populer di seluruh dunia, dan negara tujuan yang berbahasa non Inggris terpopuler bagi mahasiswa asing.
Tetapi menurut Wintermantel, Jerman kurang memiliki strategi keseluruhan untuk mengintegrasikan mahasiswanya dengan lebih baik.
Membuka banyak kesempatan
Maimouna Ouattara datang dari Pantai Gading dan tengah mengambil program S3 di Univerisitas Potsdam, di dekat Berlin. Ia merasa mampu beradaptasi dengan baik sekarang, tetapi ia masih bisa ingat betapa sulitnya dulu ketika ia mulai kuliah di Jerman. "Saya sudah les bahasa, tetapi saya merasa bingung di kelas pertama saya," katanya kepada DW. "Misalnya, saya tidak tahu bagaimana cara mencatat atau membuat transkrip dari kuliah."
Sebagai ketua Ikatan Mahasiswa Asing Jerman, ia tahu kentungan kuliah di Jerman. "Mahasiswa antara lain datang karena mereka bisa menikmati pendidikan yang bagus di sini, dan gelar dari Jerman memberikan mereka lebih banyak kesempatan di dunia internasional," kata Quattara. Selain itu, kuliah di Jerman tidak dipungut biaya di kebanyakan universitas.
Tetapi Ouattara juga paham dengan masalah-masalah yang ada. Bersama perhimpunannya, ia memberikan bantuan kepada mahasiswa-mahasiswa internasional yang menghadapi masalah hukum dan berjuang menentang pemberlakukan biaya kuliah bagi mahasiwa dari luar Eropa.
Angka putus kuliah terlalu tinggi
Berurusan dengan budaya asing, bahasa yang berbeda, serta masalah birokrasi bukanlah hal mudah. Banyak yang merasa kesulitan. Angka putus kuliah bagi mahasiswa asing di Jerman sekitar 41%. Ini terlalu tinggi, menurut Wintermantel.
"Kita harus memastikan, bahwa tingkat kesuksesan bagi mahasiswa-mahasiswa asing meningkat. Kita tidak bisa melanjutkan kenyataan, bahwa anak muda datang ke Jerman, tapi kemudian meninggalkan kuliahnya dan pulang dengan frustrasi," katanya.
"Para mahasiswa ini membutuhkan lebih banyak dukungan, konseling dan oleh karena itu universitas-universitas membutuhkan sumber keuangan yang sesuai," tambahnya.
Salah satu masalah yang dihadapi adalahnya tingginya peminat kelas bahasa namun tidak sebanding dengan kuota yang tersedia.
Seperti di Universitas Otto-von-Guericke di Magdeburg, di negara bagian Sachsen-Anhalt. Akram Elborashi, yang datang dari Mesir, menempuh kuliah jurusan kedokteran di sini. Ia juga membantu mahasiswa-mahasiswa lain agar mampu beradaptasi melalui aktivitasnya di ikatan antar budaya IKUS.
Contohnya, Elborashi menkoordinasikan berbagai darmawisata dengan mahasiswa-mahasiswa internasional dan Jerman. "Saya juga mengurusi masalah-masalah perihal budaya di asrama dan membantu dengan menerjemahkan bahasa antara penjaga gedung dan penghuni," ujarnya. Sayangnya, tidak banyak dari mereka berbicara Bahasa Jerman. "Kursus-kursus Bahasa Jerman yang gratis selalu penuh. Ada daftar tunggu yang panjang."
Rektor universitas, Jens Strackeljan, tahu persis masalah ini. Ia berkomitmen bahwa universitasnya mendukung penuh mahasiswa-mahasiswa asing dengan bantuan program kerja sama DAAD. Salah satu program universitas ini adalah untuk menyambut mahasiswa yang merupakan pengungsi dari Suriah. Sebanyak sepuluh pengungsi bisa mulai kuliah di sana setelah mengikuti kelas-kelas persiapan.
Tenaga ahli banyak dibutuhkan di Jerman
Universitas Magdeburg terkenal akan kemajuannya di bidang sains dan teknologi. Dari 14.000 mahasiswa, lebih dari 3.000 berasal dari 106 negara. "Ini tidak membuat proses penggabungan para mahasiswa berjalan dengan mudah," kata Strackeljan kepada DW. Ada kelompok mahasiswa berisikan 950 mahasiswa asal India, dan mereka punya komunitas sendiri di Magdeburg.
Strackeljan pun berharap agar mereka lebih berbaur dengan mahasiswa-mahasiswa dari negara-negara lain. Karena itu universitas berupaya untuk menarik minat lebih banyak orang India untuk mengambil program S1, dimana mahasiswa dapat belajar Bahasa Jerman sedari awal. Sementara, bahasa yang digunakan dalam program S2 adalah Bahasa Inggris.
"Jika kami tidak bisa menyediakan kursus bahasa yang cukup, pengaruh kami untuk menyalurkan tenaga-tenaga siap kerja di Sachsen-Anhalt akan menghilang", kata Strackeljan. Di wilayah Jerman bagian timur, diketahui bahwa tenaga ahli sangatlah dicari.
"Masyarakat kami membutuhkan lebih banyak orang-orang yang berpendidikan tinggi dan pendatang yang berkualifikasi tinggi di banyak bidang, misalnya di bidang teknologi baru seperti kecerdasan buatan dan secara umum di bidang teknik," kata Wintermantel dari DAAD. "Karena itu mereka harus bisa menemukan jalan agar dapat diterima di dunia kerja Jerman."
Toleransi di Magdeburg
Tetapi beradaptasi tidak hanya terjadi melalui kursus bahasa. Ini juga tentang menemukan tempat dan merasa nyaman di masyarakat.
Strackeljan mempunyai pengalaman baik bekerja dengan pemerintah kota Magdeburg. Sebuah lembaga informasi dan pelayanan bagi mahasiswa internasional, yang dikenal di Jerman sebagai Welcome Center, sedang dibangun di tengah kota untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para pendatang baru. "Ini diharapkan menjadi sebuah tempat bertemu terbuka para pendatang untuk menunjukkan, bahwa kamu disambut di sini," kata Strackeljan. "Ini juga akan membuat mahasiswa-mahasiswa asing semakin terlihat."
Strackeljan ingin membuat Magdeburg menjadi tempat yang lebih beragam. Ia melihat ini tidak hanya sebagai tanggung jawab universitas, tetapi juga sebagai cara untuk menarik orang-orang muda datang ke kota ini dan agar mereka menetap di sana, katanya.
Tetapi ini bukan tugas yang mudah, karena partai ekstrem kanan di Jerman seperti Partai AfD yang sangat populer di Sachsen-Anhalt dan negara bagian tetangga, Thüringen.
Tekanan dari ekstrem kanan
Sikap xenofobia atau fobia terhadap orang-orang asing, mengintimidasi baik mahasiswa internasional maupun mahasiswa Jerman. Dalam sebuah acara yang diselenggarakan sebuah univeristas di tahun 2017, yang seharusnya mengikutsertakan pembicara dari organisasi anak muda milik Partai AfD menimbulkan perselisihan antara pendukung dan penentang partai.
Strackeljan mengaku mendapatkan ancaman pembunuhan dari pendukung partai kanan. "Situasinya sangat tegang," katanya. Mobil Strackeljan dirusak hingga ban depannya di lepas. Rumahnya juga dicoreng dengan grafiti. Ini sampai ke poin, dimana sang rektor bertanya-tanya apakah ia "seharusnya tetap mempertahankan posisinya." Akhirnya ia memutuskan untuk tidak terintimidasi oleh hal ini dan tetap mempertahankan kebijakan universitasnya.
Elborashi sampai sekarang tidak pernah mengalami kejadian xenofobia. Ia senang tinggal di Jerman dan ingin tinggal setelah selesai kuliah. Ia punya teman-teman di Magdeburg dan ia melihat banyak keuntungan kerja di negara ini.
"Walaupun gaji dokter di Amerika Serikat lebih tinggi, Jerman menawarkan asurasi yang lebih baik," katanya, sambil menjelaskan bahwa di Jerman ada asuransi kesehatan, asuransi perawatan jangka panjang, dan sistem pensiun. Satu-satunya yang ia takuti adalah ia tidak akan pernah mengerti birokrasi di Jerman.
Namun iat tetap yakin untuk tinggal di Jerman. "Jerman kekurangan dokter. Jerman membutuhkan saya. Jadi kenapa saya harus pergi?"
ag/rap