Pemerintah Jerman tegaskan punya hak larang masuk politisi Turki yang ingin kampanye di Jerman. Tapi itu adalah langkah terakhir jika tidak ada alternatif lain. Demikian kepala staf kantor Kanselir Jerman.
Iklan
Pernyataan kepala staf kekanseliran, Peter Altmaier disampaikan beberapa hari setelah terjadinya eskalasi diplomatik antara Turki dan Jerman. Sejumlah politisi Turki dalam beberapa pekan terakhir berusaha berkampanye di Jerman untuk mendulang dukungan warga Turki di Jerman bagi referendum amandemen konstitusi April mendatang.
Turki berreaksi kalap pekan lalu, setelah sejumlah pemerintah lokal di Jerman menetapkan larangan terhadap beberapa menteri Turki yang ingin berkampanye di Jerman. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan kemudian menuduh Jerman melakukan praktik dari jaman NAZI.
Erdogan baru-baru ini juga menyebut Belanda "peninggalan NAZI". Pasalnya pemerintah negara tetangga Jerman itu menetapkan larangan kampanye dua menteri Turki di wilayah kedaulatannya.
Tidak ada larangan sepenuhnya
Sejauh ini pemerintah Jerman menyatakan tidak akan menetapkan larangan sepenuhnya. Tapi beberapa kota Jerman sudah menyatakan pelarangan dengan alasan khawatir akan keamanan. Selasa kemarin pemerintah negara bagian Saarland di Jerman barat daya menyatakan akan mencegah kampanye politisi Turki di wilayahnya. Pelarangan disampaikan, walaupun tampaknya tidak ada politisi Turki yang berniat berkampanye di Saarland.
Berkaitan dengan larangan dari Saarland, Peter Altmeier menekankan di depan wartawan, bahwa seperti negara-negara lain, pemerintah Jerman punya wewenang untuk mencegah anggota pemerintahan negara lain masuk ke wilayahnya. Ia menambahkan, sejauh ini pemerintah Jerman belum pernah melakukan hal itu. Tapi itu bukan berarti politisi asing boleh melakukan apapun sekehendak mereka. Pemerintah Jerman akan mengawasi. Demikian ditekankan Altmeier.
Sejarah Kudeta Militer di Turki
Sebanyak enam kudeta dilancarkan militer terhadap pemerintah sipil sepanjang sejarah Turki. Hampir semua bermotifkan politik. Militer menganggap diri sebagai pengawal sekularisme Atatürk dan tidak jengah mengintervensi.
Foto: Reuters/O. Orsal
1960: Kudeta Demokrasi
Kepala pemerintahan pertama di Turki yang dipilih langsung oleh rakyat tidak berusia lama. Kekuasaan Adnan Menderes dan Partai Demokrat diwarnai pelanggaran HAM dan upaya untuk mengembalikan Syariat Islam ke pemerintahan Turki. Militer kemudian melancarkan upaya kudeta pertama. Setahun berselang Menderes dihukum mati oleh junta militer.
Foto: picture-alliance/AP Photo
1971: Berakhir Lewat Memorandum
Selang 11 tahun setelah kudeta terakhir, militer melayangkan memorandum yang menyebut pemerintah telah "menyeret negara dalam anarki dan kerusuhan sosial." Surat yang ditandatangani semua perwira tertinggi militer itu mengultimatum pemerintahan untuk segera membubarkan diri dan membentuk pemerintahan kesatuan.
Foto: Imago/ZUMA/Keystone
1980: Kudeta Mengakhiri Perang Proksi
Muak dengan pertikaian antara kaum kanan dan komunis kiri, panglima militer Jendral Kenan Evren melancarkan kudeta buat menyingkirkan pemerintahan sipil. Turki pada dekade 80an ikut terseret dalam arus perang dingin yang ditandai dengan konflik berdarah di level akar rumput. Hingga akhir 70an negeri dua benua itu mengalami 10 pembunuhan per hari terhadap aktivis komunis atau sayap kanan
Foto: imago/Zuma/Keystone
Darah Berbayar Duit
Kudeta 1980 membuahkan pertumbuhan ekonomi buat Turki yang nyaris bangkrut. Namun kekuasaan Jendral Evren hingga 1989 banyak diwarnai oleh penculikan dan penyiksaan terhadap oposisi dan kelompok anti pemerintah. Tahun 2014 Evren akhirnya divonis penjara seumur hidup oleh sebuah pengadilan di Ankara. Namun lantaran faktor usia, vonis tersebut cuma bersifat simbolis.
Foto: AP
1997: Intervensi Senyap
Kembali militer bereaksi ketika pemerintahan Necmettin Erbakan dinilai menanggalkan prinsip sekulerisme Ataturk. Saat itu dewan jendral, termasuk Panglima Militer Jendral Ismail Hakki Karadayi, mengultimatum pemerintah untuk melaksanakan enam butir tuntutan yang membatasi gerak kelompok Islam. Kudeta itu berhasil menjatuhkan Erbakan. Tapi para jendral yang terlibat kemudian diadili tahun 2012
Foto: Adem Altan/AFP/Getty Images
2016: Kudeta Setengah Hati
Pada Jumat malam, 15 Juli 2016, militer tiba-tiba mendeklarasikan kudeta dan mengklaim telah merebut pemerintahan dari tangan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Saat itu Erdogan sedang berlibur di luar negeri. Militer lalu bergerak merebut tempat-tempat strategis, termasuk kantor stasiun televisi CNN Turki di Istanbul
Foto: Getty Images/G.Tan
Balas Dendam Erdogan
Lewat pesan ponsel Erdogan memerintahkan pendukungnya untuk turun ke jalan. Aparat kepolisian dan pasukan pemerintah dikerahkan buat menghalau kelompok makar. Hasilnya ratusan orang tewas dan ribuan lain luka-luka. Kudeta di Turki dinilai berlangsung tanpa perencanaan matang. Erdogan lalu memanfaatkannya buat memberangus musuh politik yang sebagian besar simpatisan kelompok Gulen
Foto: Reuters/O. Orsal
7 foto1 | 7
Menurut Altmaier, dalam 10 tahun terakhir, kampanye politisi Turki sejalan dengan undang-undang Jerman. Politisi Turki, termasuk Presiden Turki memang mengecam dan menyamakan pemerintah Jerman saat ini dengan NAZI, tetapi kecaman itu dilakukan di luar wilayah Jerman, demikian Altmeier.
Sejumlah negara Eropa sudah melarang
Politisi Turki punya minat besar untuk menjangkau jutaan warga Turki yang tinggal di Eropa. Mereka ingin menggerakkan warga untuk menyetujui amandemen konstitusi dalam referendum 16 April mendatang.
Sejauh ini beberapa negara Eropa sudah memberikan reaksi yang menunjukkan keresahan jika kampanye politik Turki dilaksanakan di wilayahnya. Terutama bagi referendum yang banyak dinilai merusak demokrasi Turki dan memusatkan kekuasaan kepada Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan.
Beberapa hari lalu, pemerintah Belanda memblokir masuknya politisi Turki ke wilayahnya untuk berkampanye. Austria dan Swis juga sudah memblokir kampanye para politisi Turki.
Setiap langkah menolak dari negara-negara Eropa menyulut reaksi kalap Erdogan dan politisi Turki lainnya. Kanselir Jerman Angela Merkel disebut NAZI dan di berbagai media Turki fotonya ditampilkan dengan kumis seperti milik Hitler.
ml/as (dpa, rtr, ap)
Kilas Balik Politik Asia 2016
Tahun ini Asia banyak mencatat peristiwa penting dalam bidang politik, antara lain kudeta di Turki, korupsi di jiran Malaysia dan pembantaian etnis Rohingya di Myanmar.
Foto: Getty Images/Afp/C. Archambault
Turki
Gagalnya kudeta militer Turki pada 15 Juli silam menandai pergeseran kekuasaan di negeri dua benua ini. Sejak itu Presiden Recep Tayyip Erdogan membetoni kekuasaanya lewat amandemen konstitusi dan penangkapan terhadap puluhan ribu pendukung rival politiknya Fethullah Gulen. Tercatat sebanyak 45.000 pegawai negeri ditangkap atau dipecat, diantaranya adalah guru, perwira militer dan jaksa.
Foto: Getty Images/AFP/A. Messinis
Myanmar
Sejak peralihan kekuasaan pada awal tahun Myanmar giat menggulirkan proses demokratisasi setelah lima dekade pemerintahan junta militer. Namun jiran Indonesia itu dihujani kecaman menyusul pembantaian terhadap minoritas Rohingya. Militer Myanmar tercatat telah membunuh lebih dari 200 orang sejak awal 2016 dan diduga melakukan pemerkosaan massal dan penyiksaan terhadap etnis Rohingya.
Foto: DW/C. Kapoor
Malaysia
Puluhan ribu orang turun ke jalan November silam buat menuntut mundur Perdana Menteri Najib Razak menyusul dugaan korupsi. Razak ditengarai menilap uang dari dana investasi Malaysia 1MDB. Juli lalu Wall Street Journal menemukan aliran dana gelap sebesar 700 juta Dollar AS ke rekening pribadi Razak. Namun sang perdana menteri bersikeras dirinya tidak bersalah dan uang tersebut merupakan sumbangan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/V. Thian
Laut Cina Selatan
Juli silam Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag mengabulkan gugatan Filipina atas klaim Cina di Laut Cina Selatan. Beijing sontak menolak putusan tersebut. Namun konstelasi konflik di perairan kaya sumber daya itu berubah setelah kemenangan Rodrigo Duterte dalam pemilu kepresidenan di Filipina. Duterte memilih menjauh dari sekutu lama Amerika Serikat dan mendekat ke Cina.
Foto: imago/Westend61
Korea Selatan
Gejolak politik membekap Korea Selatan menyusul skandal korupsi yang melibatkan teman terdekat Presiden Park Geun-Hye. Akibatnya puluhan ribu penduduk berdemonstrasi November silam buat menuntut pengunduran dirinya. Namun Park berusaha mengulur waktu lewat jalur konstitusi. Ia diyakini ingin bertahan hingga pemilu kepresidenan Desember 2017.
Foto: Reuters/K. Hong-Ji
Filipina
Sejak kemenangan Rodrigo Duterte dalam pemilu kepresidenan bulan Juli, Filipina menjelma menjadi ladang pembantaian bagi pengguna dan pengedar narkoba. Meski mendapat kecaman dunia internasional, Duterte bersikeras mempertahankan kebijakan kontroversialnya itu. Sejak pertengahan tahun polisi dan pembunuh bayaran tercatat telah melumat 6.000 nyawa terduga pengedar narkoba tanpa proses pengadilan.
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Thailand
Kematian raja Bhumibol Adulyadey pada 13 Oktober menggoyang Thailand yang tengah dibelit krisis politik. Sang raja pergi meninggalkan bangsa yang sedang terbelah. Pada Agustus sekitar 61% penduduk mendukung konstitusi baru yang dibuat oleh junta militer melalui referendum. Konstitusi baru itu membetoni pengaruh militer di panggung politik Thailand.