1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikJerman

Jerman Hadapi Ragam Hambatan Hidupkan Industri Pertahanan

2 April 2024

Meningkatnya ancaman perang mencuatkan permintaan terhadap senjata berat dan amunisi. Kanselir Jerman Olaf Scholz ingin menambah kapasitas produksi alutsista dalam negeri. Tapi realitanya tidak semudah itu.

Olaf Scholz di pabrik Rheinmetall
Kanselir Olaf Scholz di pabrik baru milik RheinmetallFoto: Fabian Bimmer/AFP/Getty Images

Kanselir Olaf Scholz yang biasanya bicara berputar-putar, secara mengejutkan pada Februari lalu, menyatakan dengan tegas soal politik alutsista Jerman saat meletakkan batu pertama pembangunan pabrik amunisi milik Rheinmetall, produsen senjata Jerman .

Menurut kanselir Jerman itu, politik alat utama sistem pertahanan di Jerman "terlalu lama” berlandaskan asumsi, bahwa pengadaan senjata serupa pembelian mobil. "Dengan gampang pesan, dan mobl disuplai beberapa bulan kemudian. Tapi produksi senjata berbeda. Tank, artileri, helikopter atau sistem pertahanan udara tidak tersedia begitu saja seperti rak toko,” kata Scholz menandaskan.

Produk persenjataan hanya bisa dipesan oleh pemerintah. "Barang siapa cukup lama tidak memesannya, maka barangnya juga tidak lagi diproduksi," ujar kanselir Jerman itu.

Pertahanan negara kembali direaktifasi

Kebutuhan atas senjata dan amunisi di Eropa sangat besar, dan itu bukan hanya untuk bisa terus membantu militer Ukraina menghalau invasi Rusia.

"Kita tidak bisa berharap, Amerika Serikat akan selalu menyuplai semua kebutuhannya atau menyediakan bahan bakunya,” timpal Wakil Kanselir Robert Habeck, Maret silam. "Artinya, ekspansi produksi milter dan industri pertahanan, skenaro pertahanan negara, semuanya harus dihidupkan kembali,” imbuhnya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Kanselir Scholz memformulasikannya secara simpel; "Kita harus segera meningkatkan produksi.” Dengan kebijakan baru itu Scholz sekaligus mengakhiri tren pelucutan senjata di Jerman sejak berakhirnya Perang Dingin 1989 dan Reunifikasi 1990 Jerman terjebak dalam "Status Quo" perdamaian. Jumlah serdadu Bundeswehr dikurangi drastis dan anggaran belanja senjata dipangkas. 

Menurut studi Friedrich Ebert Stiftung, yayasan politik Partai Sosial Demokrat, SPD, industri teknik pertahanan di Jerman menyusut hingga 60 persen dalam tiga dekade terakhir. Dari sekitar 290.000 pekerja di industri persenjataan,  kini hanya tersisa kurang dari 100.000 pegawai.

Jerman tidak mau 'bisnis kematian' 

Situasi menyusutnya industri teknik pertahanan selaras dengan "semangat zaman" era tersebut. Tren zaman itu mendorong politisi Jerman untuk menjaga jarak dari industri senjata. Mereka tidak ingin dikaitkan dengan "bisnis kematian,” seperti yang diungkapkan bekas Wakil Kanselir Sigmar Gabriel pada 2014.

Juga kanselir Jerman saat itu, Angela Merkel tidak tertarik pada bisnis besar industri persenjataan.  Surutnya dukungan politik dan demi menghindari pembatasan ekspor pemerintah Jerman, sejumlah perusahaan, termasuk Rheinmetall, memindahkan sarana produksi ke luar negeri.

Ketika memenangka pemilu pada tahun 2021, koalisi SPD, Partai Hijau dan Partai Liberal Demokrat, FDP, juga berniat untuk tetap memperketat pembatasan ekspor senjata. Namun belum sempat legislasinya dibuat, Rusia kadung menginvasi Ukraina pada Februari 2022.

Surutnya produksi 'Made in Germany' 

Betapa sulitnya membalikan lagi kebijakan pembuatan senjata di Jerman terlihat pada alutsita yang dimiliki Bundeswehr. Walaupun disiapkan "dana khusus pertahanan” sebesar 100 miliar euro. yang secara kilat disepakati parlemen Jerman, Bundestag, untuk memperkuat persenjataan dalam tempo cepat, namun pesanan senjata baru akan datang beberapa tahun ke depan. 

Juga peralatan tempur dan pertahanan tidak berasal dari industri Jerman sendiri. Sebagian besar dana dibelanjakan kepada produsen di Amerika Serikat. Adapun pesanan sebanyak lebih dari 120 kendaraan lapis baja kepada produsen dalam negeri, Rheinmetall, rencananya akan diproduksi di Australia.

Partai oposisi CDU dan CSU sebabnya mengkritik, pemerintah telah gagal meningkatkan kapasitas produksi di Jerman

"Sementara Rusia telah menuntaskan transisi menuju ekonomi perang, pemerintah Jerman belum mengambil langkah yang cukup untuk segera memperkuat industri pertahanan," demikian bunyi mosi dari fraksi-fraksi oposisi di Bundestag pada pertengahan Maret lalu.

Ruang bagi ketakutan dan kekhawatiran

Ketika Scholz menekankan "betapa pentingnya memiliki industri pertahanan yang fleksibel, modern dan efisien”, oposisi di parlemen mengritik, pemerintah belum memperbaharui Strategi Pertahanan dan Industri Senjata dan masih menggunakan program pertahanan dari tahun 2020, sebelum invasi Rusia. 

Kealpaan itu diakui pemerintah pada pertengahan tahun 2023, dengan janji akan merevisi strategi tersebut.

"Nyatanya, ketiga partai koalisi belum sepenuhnya sepakat dalam hal ini," ujar Wakil Kanselir Robert Habeck dari Partai Hijau. Menurutnya, penting untuk memberikan ruang diskusi untuk menjawab "pertanyaan, kekhawatiran dan ketakutan mengenai produksi senjata.”

Senjata bukan bisnis biasa

Apa yang dimaksud Habeck menjadi jelas di Bundestag. Dalam perdebatan soal industri senjata, misalnya, Partai Hijau menuntut, setelah produksi senjata berhasil ditingkatkan, "kita harus bisa mengurangi kapasitas produksi jika situasi keamanan memungkinkan,” kata anggota legislatif Merle Spellerberg.

DIa menuntut agar produksi senjata dikelola selaras dengan nilai dan kepentingan negara. "Dan masih banyak pertanyaan yang belum terjawab," kata anggota perlemen perempuan berusia 27 tahun itu. "Apakah diperbolehkan mengambil keuntungan dengan berdagang senjata, atau lebih tepatnya, apa sebenarnya yang seharusnya terjadi dengan keuntungan tersebut? Kita memerlukan kebijakan yang memprioritaskan perdamaian dan keamanan kita dan bukan keuntungan perusahaan senjata.”

Kendati demikian, industri senjata saat ini menikmati dukungan besar dari pemerintah. "Ketika menjelang Paskah, perwakilan industri bertemu dengan pemerintah, mereka mendiskusikan jaminan yang dibutuhkan industri pertahanan untuk meningkatkan produksi," kata Habeck setelah pertemuan selama lebih dari dua jam itu.

Sederhananya, perusahaan menginginkan kontrak jangka panjang dengan kuota pembelian tetap. Namun uangnya harus berasal dari anggaran federal dan di situlah letak masalahnya. "Dana pertahanan khusus" milik Bundeswehr akan habis pada tahun 2027.  Setelah itu, para ahli memperkirakan defisit anggaran militer akan berjumlah sekitar 50 miliar euro per tahun.

Kesulitan lain muncul dari kalangan akar rumput. Ketika perusahaan Jerman, Diehl Defence, berniat memproduksi amunisi di sebuah kota kecil di barat Jerman, penduduk ramai menolak, "tidak ada pabrik amunisi di Troisdorf. Kami tidak tunduk pada tekanan dari Berlin,” begitu bunyi slogan para demonstran.

Warga merujuk pada jarak aman yang diwajibkan dalam pembangunan kompleks pembuatan senjata. Pasalnya, lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi syarat tersebut sudah diperuntukkan sebagai area pemukiman baru, demi mengatasi masalah kelangkaan rumah tinggal.

rzn/as

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait