Gedung Reichstag Pernah 'Raib', Siapa Biang Keladinya?
10 Juni 2025
Siapa pun yang berada di Berlin pada musim panas 1995 mungkin akan mengenangnya seumur hidup: Bagaimana Reichstag — gedung parlemen Jerman — "raib"!
Bukan meledak, bukan dihancurkan, tetapi dibungkus seluruhnya dengan kain berkelir perak dan diikat dengan tali tebal, hampir seperti sebuah kado.
Sebuah ide edan? Mungkin saja. Namun juga sebuah ide yang menggoreskan sejarah.
Di balik aksi spektakuler ini berdiri sepasang seniman yang berulang kali mengejutkan dunia dengan karya seni megah nonpermanen: Christo dan Jeanne-Claude.
Visi mereka tentang Reichstag yang dibungkus itu megah, nekat— dan memakan waktu 23 tahun untuk direncanakan.
2025: Tahun perayaan istimewa
Tahun 2025 adalah tahun ulang tahun yang sesungguhnya bagi para pengagum karya-karya Christo dan Jeanne-Claude.
Tidak hanya Berlin yang menandai ulang tahun ke-30 "Reichstag Terbungkus” dengan instalasi cahaya yang diproyeksikan ke fasad barat gedung Reichstag dari 9 hingga 22 Juni, tetapi juga kota-kota lain di dunia turut memberi penghormatan pada karya pasangan ini.
Paris memperingati pembungkusan Pont Neuf-nya yang terjadi 40 tahun lalu, sementara New York menandai ulang tahun ke-20 "The Gates,” sebuah instalasi di Central Park yang menampilkan ribuan gerbang dengan panel kain yang berkibar.
Dan yang paling istimewa, kedua seniman itu akan berusia 90 tahun di tahun ini: Mereka lahir pada hari yang sama, 13 Juni 1935.
Christo lahir di Bulgaria dan kemudian melarikan diri dari belahan timur komunis ke Eropa Barat, pertama ke Praha, kemudian ke Wina, Jenewa, dan akhirnya Paris.
Di sanalah ia bertemu Jeanne-Claude pada tahun 1958 — orang Prancis dengan akar keluarga berasal dari Maroko. Keduanya menjadi tim yang tak terkalahkan.
Christo adalah sang seniman, Jeanne-Claude adalah sang penyelenggara seni— namun keduanya memandang diri mereka sebagai mitra setara dan kemudian menandatangani semua proyek secara resmi bersama.
Keahlian mereka adalah instalasi seni raksasa yang spektakuler di ruang publik.
Mereka membungkus jembatan, bangunan, atau bahkan sepanjang garis pantai, dengan menjuntaikan tirai raksasa melalui lembah-lembah, atau mendirikan instalasi kain sepanjang kilometer.
Tidak ada yang permanen, dan semua itu dimodali sendiri, tanpa pengiklan atau sponsor. Dana untuk proyek mereka hanya dihasilkan dari penjualan gambar, kolase, dan desain.
‘Reichstag Terbungkus': Penantian panjang untuk izin
Ide membungkus Reichstag di Berlin lahir pada tahun 1971 — di tengah Perang Dingin.
Saat itu, Reichstag berdiri tepat di samping Tembok Berlin. Sebuah bangunan simbolis, tetapi sebenarnya saat itu tidak digunakan.
Kursi pemerintahan Republik Federal Jerman kala itu masih berlokasi di Bonn, dan Bundestag (parlemen Jerman) baru pindah ke Gedung Reichstag dengan kubah kaca khas yang direnovasi oleh arsitek Norman Foster pada tahun 1999.
Namun Christo dan Jeanne-Claude terpesona oleh simbolisme dan peran sejarah bangunan itu.
Berulang kali, tempat ini menjadi saksi momen penting dalam sejarah Jerman — selama Kekaisaran Jerman, Republik Weimar, "Reich Ketiga” NAZI dan Perang Dunia II, perpecahan Jerman pascaperang, dan akhirnya penyatuan kembali.
Christo dan Jeanne-Claude ingin membuat bangunan ini terlihat kembali dengan cara menyembunyikannya untuk sementara waktu.
Namun karya seni seperti ini membutuhkan izin — dan izinnya butuh waktu lama untuk mereka peroleh.
Barulah pada tahun 1994, setelah lebih dari 20 tahun lamanya perdebatan, Bundestag akhirnya memberikan persetujuan setelah diskusi sengit. Izin tersebut membuka jalan bagi salah satu proyek seni paling mengesankan di abad ini.
Musim panas 1995: Sebuah mimpi perak di tengah Berlin
Akhirnya, pada Juni 1995, Reichstag dibungkus seluruhnya dengan lebih dari 100.000 meter persegi kain perak dan 16 kilometer tali.
Pembungkusan bangunan penting ini berlangsung selama beberapa hari dan disaksikan di seluruh dunia.
Reichstag yang dibungkus tampak lembut, berkilau, penuh misteri, seperti karya seni di antara awan.
Dari tanggal 24 Juni hingga 7 Juli 1995, lebih dari lima juta orang tumpah ruah ke Berlin untuk menyaksikan keajaiban ini dengan mata kepala sendiri. Seperti festival rakyat raksasa: Orang-orang berleha-leha di rerumputan, berpiknik, berfoto, dan berdiskusi.
Banyak yang mengalami proses karya ini kemudian mengatakan bahwa mereka belum pernah melihat Reichstag sedekat dan seintens selama dua minggu itu.
Mengapa harus dibungkus?
Christo dan Jeanne-Claude bukan berniat menyembunyikan bangunan — justru sebaliknya. Mereka ingin memberi pengalaman baru. Pembungkusan dimaksudkan menghilangkan segala sesuatu yang bersifat superfisial. Kamu tidak bisa lagi melihat detail, hanya bentuk, siluet, dan volume.
Dan yang terpenting, karya seni ini juga sementara. Setelah dua minggu, keajaiban itu berakhir, kain dibongkar, dan tak ada jejak yang tersisa. Hanya kenangan. Bagi pasangan seniman itu, kefanaan adalah bagian sentral dari karya mereka.
"Keindahan terletak pada kefanaan,” begitu kata mereka sering kali. Kamu harus menikmati momen-momen itu karena kamu tahu hal ini akan segera berakhir.
Meski Reichstag adalah simbol politik, karya seni ini sendiri tidak dimaksudkan untuk bersifat politik.
Christo dan Jeanne-Claude tidak ingin mendiktekan pendapat. Mereka ingin seni mereka menjadi ruang terbuka bagi pemikiran, perasaan, dan interpretasi.
Namun demikian, banyak orang melihat pembungkusan ini sebagai simbol politik yang kuat: Untuk perubahan, rekonsiliasi, dan awal baru. Karya ini memberi efek khusus, terutama di Jerman yang telah bersatu kembali.
Jeanne-Claude meninggal tahun 2009, sedangkan Christo pada 2020, tapi seni mereka tetap hidup — dalam foto, kenangan, pameran, dan kini juga dalam tahun perayaan istimewa.
Pembungkusan Reichstag bukan hanya mahakarya logistik dan estetika, tetapi juga momen pesona kolektif. Itu menunjukkan apa yang bisa dicapai seni di ruang publik: Bisa mengejutkan, menghubungkan, menantang. Dan bisa saja membuat orang terpana.
Atau, seperti yang pernah dikatakan Christo: "Karya kami bukan milik siapa pun — dan sekaligus milik semua orang.”
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
Diadaptasi oleh: Ayu Purwaningsih
Editor: Hendra Pasuhuk