Ketua Parlemen Jerman mengatakan negara itu belum menanggapi ancaman teror sayap kanan dengan serius. Serangan di Hanau tidak terjadi secara tiba-tiba.
Iklan
Jerman harus mengakui bahwa negara ini telah terlalu lama meremehkan ancaman teror ekstrem kanan, ujar Ketua Parlemen Jerman Bundestag, Wolfgang Schäuble, di hadapan anggota parlemen, Kamis (05/04).
Jerman juga dinilai perlu berbuat lebih banyak untuk menghancurkan jaringan teror sayap kanan, sambil mengatasi masalah Islamofobia di masyarakat, ujar Wolfgang Schäuble.
Schäuble, yang berbicara di parlemen terkait serangan di Hanau, menyerukan "ketulusan negara untuk mengakui bahwa mereka telah terlalu lama meremehkan ancaman ekstremis sayap kanan."
"Jawaban yang menentukan untuk masalah ini haruslah dengan cara mengungkap jaringan radikal secara konstitusional dan menghancurkan asosiasi ekstremis sayap kanan," kata Schäuble. Ia menambahkan bahwa negara harus "menjadi lebih baik dalam menegakkan hukum secara konsisten."
Michaela Küfner dari DW yang mengikuti proses persidangan di Bundestag mengatakan bahwa ini adalah saat ketika ancaman ekstrem kanan diakui jauh lebih besar daripada apa yang selama ini menjadi perdebatan.
"Tidak terjadi begitu saja"
Pelaku serangan di Hanau pada Rabu (19/02) malam waktu setempat membunuh sembilan orang dengan latar belakang migran di kafe dan bar shisha. Pihak berwenang menilai pembunuhan itu memiliki motif rasisme.
Schäuble mengatakan bahwa kejahatan semacam itu "tidak terjadi dalam begitu saja" melainkan terjadi dalam "iklim sosial yang beracun, yang dipicu oleh kebencian terhadap 'sesuatu yang berbeda' - dan teori konspirasi yang paling tidak masuk akal."
Kaum minoritas telah digambarkan sedemikian rupa dengan citra yang buruk, kata Schäuble, sehingga ujaran kebencian - dan bahkan pembunuhan - "disambut meriah di jejaring media sosial."
Dia juga membahas topik Islamofobia. "Tidak ada yang bisa membenarkan tindakan meremehkan, merendahkan, menganiaya, menyerang orang lain berdasarkan asal-usul ataupun kepercayaan mereka," kata Schäuble. Ia menambahkan bahwa kekhawatiran masyarakat terhadap imigrasi dan perubahan sosial perlu ditanggapi dengan serius.
Serangan di Hanau yang terletak dekat kota Frankfurt berakhir ketika sang pelaku bunuh diri. Usai membantai orang-orang, pelaku yang adalah pria Jerman berusia 43 tahun kembali ke rumah, membunuh ibunya, sebelum akhirnya menembak diri sendiri.
Ribuan orang telah lancarkan protes atas kekerasan sayap kanan setelah serangan di Hanau. Banyak yang menuduh partai ekstrem kanan Alternative für Deutschland, AfD, telah memicu kebencian. AfD menduduki 91 dari 709 kursi di Majelis Rendah Parlemen Jerman.
Sebuah upacara peringatan bagi para korban juga digelar pada hari Rabu (04/03) dan dihadiri oleh Kanselir Jerman Angela Merkel serta Presiden Frank-Walter Steinmeier.
ae/rap
Serangan Teror Ekstremis Kanan: Sebuah Rentang Sejarah
Dalam 10 tahun terakhir telah terjadi banyak serangan terhadap komunitas Muslim dan Yahudi, serta orang non-kulit putih. DW merangkum beberapa serangan teror ekstremis kanan terbesar di dunia.
Foto: picture-alliance/empics/PA Wire/D. Lawson
Jerman 2009: Penusukan terhadap wanita di pengadilan Dresden
Marwa El-Sherbini, seorang apoteker yang tinggal di Dresden bersama dengan suami dan putranya dibunuh di pengadilan Dresden pada 1 Juli 2009. Ia ditusuk seorang pria berusia 28 tahun keturunan Jerman-Rusia, tak lama setelah memberikan kesaksian terhadap pria ini untuk kasus kekerasan verbal. El-Sherbini adalah korban pembunuhan yang pertama dalam serangan Islamophobic di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Hiekel
Norwegia 2011: Breivik, pembunuh massal dengan serangan teror.
Dua aksi terror dilakukan sendirian oleh extremis sayap kanan, Anders Behring Breivik tewaskan 77 orang tanggal 22 Juli 2011. Aksi pertamanya adalah pemboman di sebuah kantor pemerintahan di Oslo. Aksi dilanjutkan dengan pembantaian anak-anak muda yang berkemah di pulau Utoya. Sebelum, Breivik mengeluarkan manifestasi yang mengecam multikulturalisme dan islamisasi Eropa.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Berit
AS 2015: Penembakan di Chapel Hill
Tiga mahasiswa, yakni Deah Barakat, istrinya Yusor Abu-Salha dan saudara perempuannya Razan Abu-Salha ditembak mati oleh tetangga mereka yang berusia 46, 10 Februari 2015. Penembak menggambarkan dirinya sebagai penantang agama dan telah berulang kali dilaporkan karena ancaman dan penghinaan terhadap korbannya. Peristiwa ini viral di media sosial dan bertagar #MuslimLivesMatter.
AS 2015: Pembunuhan massal di gereja di Charleston
17 Juni 2015: Seorang teroris kulit putih melepaskan tembakan di gereja Emanuel African Methodist Episcopal di Charleston, Carolina Selatan. Sembilan orang anggota jemaat Afrika-Amerika terbunuh, termasuk seorang pendeta. Pelaku yang berusia 21 tahun ini dijatuhi hukuman mati akibat melakukan kejahatan berdasarkan kebencian.
Foto: Getty Images/J. Raedle
Jerman 2016: Penembakan massal di München
Sebuah penembakan massal di pusat perbelanjaan di München pada 22 Juli 2016 memakan setidaknya 36 korban luka dan 10 korban jiwa – termasuk pelaku penembakan yang baru berusia 18 tahun. Pelaku adalah warga Jerman keturunan Iran. Menurut keterangan kepolisian, ia banyak membuat komentar bersifat xenofobia dan rasis, serta yang memuja pelaku penembakan sekolah.
Foto: Getty Images/J. Simon
Inggris 2017: Serangan di masjid Finsbury Park
19 Juni 2017, seorang pria berusia 47 tahun membunuh satu orang dan melukai 10 orang lainnya dalam serangan yang menggunakan mobil van. Pelaku menabrakkan mobil ke arah oarang-orang di jalur pejalan kaki dekat masjid Finsbury Park di utara London. Semua korban adalah muslim yang sedang bejalan menuju masjid untuk salat Tarawih. Pelaku dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Foto: picture-alliance/AP Photo/F. Augstein
AS 2017: Serangan mobil saat gerak jalan neo-Nazo di Charlottesville
Satu orang wanita terbunuh dan puluhan lainnya terluka ketika seorang nasionalis kulit putih menabrakkan mobilnya ke arah kerumunan demonstran di Charlottesville, Virginia pada 12 Agustus 2017. Para demonstran menentang aksi protes bernama Unite the Right, yakni pertemuan antar para supremasi kulit putih, nasionalis kulit putih, serta neo-Nazi. Pelaku dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Foto: Getty Images/AFP/P.J. Richards
Kanada 2017: Serangan masjid di Quebec
Seorang pria bersenjata menembaki jamaah di Islamic Cultural Center di Quebec, akhir Januari 2017. Peristiwa ini menewaskan enam orang dan melukai puluhan lainnya. Penembakan itu terjadi di malam hari, saat salat berlangsung. Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau mengutuk penembakan itu sebagai "serangan teroris terhadap Muslim di rumah ibadah dan perlindungan."
Foto: Reuters/M. Belanger
AS 2018: Penembakan Sinagoge Tree of Life
Pada 27 Oktober 2018, seorang pria bersenjata berusia 46 tahun melepaskan tembakan di sebuah sinagoga di kota Pittsburgh, AS. Peristiwa ini menewaskan 11 orang dan melukai tujuh lainnya. Dia dilaporkan meneriakkan ejekan anti-Semit selama serangan dan sebelumnya memposting teori konspirasi di internet. Itu adalah serangan paling mematikan terhadap orang Yahudi dalam sejarah AS.
Foto: picture-alliance/AP/M. Rourke
Jerman 2019: Serangan tahun baru di Bottrop and Essen
Tak lama setelah tengah malam ketika orang-orang merayakan tahun baru, seorang pria berusia 50 tahun melakukan serangan yang ditargetkan terhadap imigran di kota Bottrop dan Essen, Jerman barat - melukai delapan orang dan satu luka serius. Dia sengaja menabrakkan mobilnya ke arah keluarga Suriah dan Afghanistan yang sedang merayakan dengan anak-anak mereka di Bottrop.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Kusch
Selandia Baru 2019: Serangan masjid menara kembar di Christchurch
Setidaknya 50 tewas dan puluhan lainnya terluka dalam serangan. Pihak berwenang sebut ini sebagai "serangan ekstremis sayap kanan" dan peristiwa penembakan paling mematikan dalam sejarah negara itu. Salah seorang pelaku siarkan langsung serangan itu dan tuliskan manifesto rasis di internet. Perdana Menteri Jacinda Ardern menyebutnya "salah satu hari paling gelap di Selandia Baru." (Ed.: ga/ml)