Jerman Tolak Kirim Kembali Bundeswehr ke Afganistan
10 Agustus 2021
Taliban merebut kembali kota Kunduz yang dulu menjadi markas pasukan Jerman di Afganistan. Menhan Jerman dengan tegas menolak seruan pengiriman kembali pasukan Bundeswehr ke negara itu.
Iklan
MilisiTaliban hari Senin (9/8) mengumumkan perebutan kota Aybak, ibu kota provinsi Samangan di Afganistan utara. Inilah ibu kota provinsi keenam yang jatuh ke tangan kelompok itu hanya dalam empat hari.
Berita itu menyusul laporan-laporan kemenangan milisi Taliban merebut kota-kota di seluruh negeri secara berurutan, setelah penarikan semua tentara asing dari negara di Hindu Kush itu, termasuk Kunduz - kota strategis yang menghubungkan jalur transportasi Afganistan utara dan selatan.
Kunduz dulunya adalah markas besar militer Jerman Bundeswehr di Afganistan selama 10 tahun terakhir dari 20 tahun penempatannya, sebelum seluruh pasukan ditarik kembali bulan Juni lalu.
Jerman tidak akan kirim kembali pasukan ke Afganistan
Menteri Pertahanan Jerman Annegret Kramp-Karrenbauer menolak berbagai seruan agar Jerman kembali mengirimkan pasukan militer ke Afganistan untuk melindungi warga sipil. Di Twitter dia menekankan perbaikan positif yang berhasil dicapai misi militer Jerman di negara itu, namun juga mengakui kegagalan.
"Apa yang tampak jelas gagal kami lakukan adalah mempengaruhi perubahan positif jangka panjang di Afganistan. Kita harus belajar dari pengalaman itu ketika menentukan tujuan penempatan (militer) ke luar negeri di masa depan," tulisnya di Twitter.
Selanjutnya Annegret Kramp Karrenbauer mempertanyakan kesiapan masyarakat dan parlemen untuk pengerahan kembali militer Jerman ke Afganistan: "Apakah masyarakat dan parlemen siap untuk mengirim Bundeswehr ke dalam perang dan mempertahankan sejumlah besar pasukan di sana setidaknya selama satu generasi? Jika tidak, maka penarikan bersama dengan mitra kami tetap merupakan keputusan yang tepat."
Iklan
Keterlibatan Bundeswehr berawal dari solidaritas dengan AS
Invasi Oktober 2001 ke Afganistan dilancarkan AS di bawah pemerintahan George W. Bush setelah serangan 11 September, sebagai upaya untuk menghancurkan basis-basis persembunyian para teroris Al-Qaida, termasuk pemimpinnya Osama bin Laden. Invasi itu kemudian menjadi perang terpanjang militer AS di luar negeri dalam sejarah.
AS ketika itu menjalin aliansi internasional dan meminta dukungan penuh NATO untuk misi militer di Afganistan. Pasukan Jerman pun dikerahkan dalam rangka misi militer NATO. Selama misi 20 tahun, Jerman menyediakan kontingen militer terbesar kedua di Afganistan setelah Amerika Serikat. Setelah Joe Biden terpilih sebagai presiden AS, dia melanjutkan rencana pendahulunya Donald Trump untuk menarik semua pasukan AS dari Afganistan sebelum 11 September 2021.
Pakistan: Bagaimana Militan Hancurkan Kehidupan Seorang Perempuan
Baswaliha, perempuan berusia 55 tahun yang tinggal di kawasan adat di perbatasan dengan Afganistan, kehilangan suami dan anaknya dalam konflik dengan kelompok Taliban. Sekarang dia khawatir kekerasan akan kembali.
Foto: Saba Rehman/DW
Kehidupan yang sulit
Bertahan hidup merupakan hal yang sulit bagi perempuan Pakistan di kawasan perbatasan. Hidup Baswaliha, seorang janda 55 tahun, makin memilukan setelah kehilangan anaknya tahun 2009, dan suaminya pada 2010. Baswaliha tinggal di Galanai, sebuah desa adat di kawasan Mohmand, yang berbatasan dengan Afghanistan.
Foto: Saba Rehman/DW
Serangan dari segala penjuru
Imran Khan, anak sulung Baswaliha, terbunuh pada usia 23 tahun oleh kelompok lokal anti-Taliban karena dituduh membantu gerakan teroris, jelasnya pada tim DW. Operasi militer Pakistan memang menciptakan suasana tenang untuk beberapa kawasan, namun penarikan pasukan NATO dari Afghanistan meningkatkan kekhawatiran bahwa kelompok Taliban akan kembalio berkuasa.
Foto: dapd
Fase penuh kekerasan
Abdul Ghufran, suami Baswaliha, tewas setahun kemudian akibat dua bom bunuh diri yang meledakkan gedung pemerintahan, 6 Desember 2010. Saat itu suaminya hendak mengambil uang duka anaknya yang tewas dibunuh, kata Bawaliha kepada DW. Banyak yang tewas dalam serangan itu. Baswaliha mengatakan, seorang perempuan yang hidup tanpa suami atau laki-laki dewasa di kawasan adat penuh risiko dan berbahaya.
Foto: Getty Images/AFP/A. Majeed
Belum menyerah
Abdul Ghufran, suami Baswaliha, tewas setahun kemudian akibat dua bom bunuh diri yang meledakkan gedung pemerintahan, 6 Desember 2010. Saat itu suaminya hendak mengambil uang duka anaknya yang tewas dibunuh, kata Bawaliha kepada DW. Banyak yang tewas dalam serangan itu. Baswaliha mengatakan, seorang perempuan yang hidup tanpa suami atau laki-laki dewasa di kawasan adat penuh risiko dan berbahaya.
Foto: Saba Rehman/DW
Jahit dan jual
Baswaliha ingin anak-anaknya mendapat pendidikan yang layak. “Tidak mudah. Saya merasa hidup saya tidak ada gunanya lagi, dan saya tidak bisa bertahan hidup di lingkungan seperti ini,” katanya. Dia menceritakan perempuan di desanya dilarang berbelanja sendiri ke pasar. Saat ini, pendapatan utamanya menjahit. Dia mematok harga sekitar 13 ribu hingga 15 ribu rupiah untuk satu setel pakaian wanita.
Foto: Saba Rehman/DW
Wajib didampingi lelaki
“Setelah ditinggal suami, saya biasa membuat jajanan roti dan anak perempuan saya yang kecil menjualnya kepada warga di jalanan utama. Namun ketika dia sudah mulai cukup besar, anak perempuan yang berkeliaran dicap jelek di sini,” jelasnya. “Saat itulah saya mulai membuat berbagai macam selimut.” Tetapi untuk ke pasar, dia harus ditemani seorang laki-laki, berapapun umur laki-laki tersebut.
Foto: Saba Rehman/DW
Akan ada lebih banyak kekerasan?
Ribuan keluarga di kawasan adat di utara dan barat laut Pakistan menjadi korban kekejaman kelompok ekstrem di daerahnya. Abdur Razaq, saudara ipar Baswaliha, mengatakan bahwa dia masih ingat saat Abdul Ghufran terbunuh dalam sebuah serangan kelompok Taliban. Dia berharap kawasan adat tidak berubah lagi menjadi daerah kerusuhan dan keganasan. (Teks S. Rehman/mh/hp)
Foto: Saba Rehman/DW
7 foto1 | 7
Kementerian pertahanan AS Pentagon hari Senin (9/8) mengakui, situasi keamanan di Afganistan "tidak berjalan ke arah yang benar". Tetapi Pentagon juga menyebutkan "pasukan Afganistan mampu bertahan".
PBB mengatakan lebih dari 1.000 orang tewas atau terluka di Afganistan selama sebulan terakhir. PBB juga mencatat peningkatan besar-besaran dalam jumlah orang yang melarikan diri dari Taliban.