1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikGlobal

Jika Rusia Invasi Ukraina, Biden: Tak Ada Lagi Nord Stream 2

8 Februari 2022

Presiden AS Joe Biden mengatakan tidak mungkin Nord Stream 2 berjalan jika Rusia melakukan invasi. Ditanya soal proyek pipa gas tersebut, Kanselir Jerman Olaf Scholz tidak memberikan jawaban yang eksplisit.

Presiden AS Joe Biden dan Kanselir Jerman Olaf Scholz
Konferensi pers Presiden AS Joe Biden dan Kanselir Jerman Olaf Scholz di Gedung Putih, Senin (07/02)Foto: Alex Brandon/AP Photo/picture alliance

Presiden Amerika Serikat Joe Biden berjanji tidak akan ada kemajuan proyek pipa gas Nord Stream 2, jika Moskow melancarkan invasi ke Ukraina. Hal itu diungkapkannya kepada media usai bertemu dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz, membahas situasi tegang di perbatasan Ukraina dengan Rusia, di mana sekitar 100.000 tentara Rusia telah dikerahkan.

Inti dari perselisihan antara Washington dan Berlin adalah pembangunan pipa yang diatur untuk memompa gas alam Rusia langsung ke Jerman, melewati Ukraina. Menanggapi pertanyaan tentang Nord Stream 2, Biden menyebut tidak akan ada peluang proyek itu berlanjut jika tank dan pasukan Rusia melintasi perbatasan Ukraina.

"Tidak akan ada lagi Nord Stream 2. Kami akan mengakhirinya. Saya berjanji kami akan bisa melakukannya," tegas Biden.

Apa yang dikatakan Scholz?

Scholz, dalam kunjungan perdananya ke Gedung Putih sebagai kanselir Jerman, mengatakan "langkah-langkah luas" telah disepakati dengan sekutu dan mitra Jerman, termasuk AS.

"Kami akan mengambil semua langkah yang diperlukan. Anda dapat yakin tidak akan ada tindakan di mana kami memiliki pendekatan yang berbeda. Kami akan bertindak bersama-sama," ucapnya.

Ketika ditanya soal Nord Stream 2, Scholz menghindari jawaban secara eksplisit, tetapi justru mengulangi pesan solidaritasnya.

Sebelumnya, Departemen Luar Negeri AS mengatakan akan bekerja sama dengan Jerman untuk memastikan Nord Stream 2 tidak jadi beroperasi jika terjadi invasi. Biden juga memuji hubungan dekat antara Washington dan Berlin, seraya menambahkan bahwa mereka "bekerja bersama-sama" untuk mencegah agresi Rusia.

Scholz pernah ke Gedung Putih saat menjabat sebagai menteri keuangan dan wakil kanselir Angela Merkel, tetapi dia mendapat kritik karena menunda kunjungan perdananya ke AS sebagai kanselir.

Dia menjabat 60 hari yang lalu. Sebelum Scholz, mantan Kanselir Merkel dan pendahulunya Gerhard Schröder tidak butuh waktu lama untuk menyeberangi Atlantik.

Masalah apa yang ada antara Berlin dan Washington?

Sementara kedua negara tersebut telah menjadi sekutu setia sejak akhir Perang Dunia II, Jerman semakin dipertanyakan atas komitmennya dalam mencegah agresi Rusia.

Jerman mendapat kecaman atas ketergantungannya yang besar pada pasokan energi Rusia dan penolakannya untuk mengekspor senjata mematikan ke Ukraina. Pakar Rusia dan Eropa Timur di Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman Stefan Meister mengatakan kepada DW pada hari Senin (07/02) bahwa Jerman mungkin akan mengalah.

"Saya pikir Jerman akan mendukung pada akhirnya, sanksi ekonomi juga sanksi pada Nord Stream 2," katanya.

Namun terkait masalah besar lainnya, seperti penolakan Jerman untuk menjual senjata ke Ukraina, Meister menilai "mereka tidak akan setuju. Jelas tidak. Saya pikir Scholz menjelaskan lagi bahwa Jerman tidak akan mengirim senjata."

Upaya diplomatik untuk menenangkan krisis Ukraina

Perjalanan Scholz terjadi di saat sejumlah pihak mengupayakan diplomasi tentang krisis Ukraina. Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock berada di Kiev dan Presiden Prancis Emmanuel Macron mengunjungi Moskow.

Scholz dijadwalkan kembali ke Berlin pada hari Selasa (08/02) untuk melakukan pembicaraan dengan Macron dan Presiden Polandia Andrzej Duda. Kanselir Jerman juga telah mengundang dua pemimpin Eropa lainnya untuk "mendiskusikan khususnya situasi di dalam dan sekitar Ukraina," kata juru bicara pemerintah Christiane Hoffman.

Ketiga mitra telah mempertahankan hubungan khusus yang dikenal sebagai "segitiga Weimar" selama 30 tahun.

"Saya pikir ini juga tentang menunjukkan bahwa akhirnya, Jerman dan Uni Eropa lebih aktif dalam konflik ini," kata pakar Rusia Meister kepada DW. "Jadi tidak hanya AS, tapi ini tentang keamanan Eropa. Dan juga untuk menunjukkan persatuan dengan negara-negara kecil, terutama di Eropa Tengah dan Timur."

ha/pkp (dpa, AP)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait