1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jual Diri Atau Jual Ginjal?

Nadya Karima Melati
13 Agustus 2018

Bagaimana kamu akan bayar uang pinjaman studi?”. “Jual diri” jawab sang sahabat. “Kalau begitu saya akan jual ginjalku” tandas Nadya Karima Melati, ketika sampai titik frustrasi sulitnya jalan mengggapai cita.

Symbolbild Menschliche Niere Grafik
Foto: Colourbox

Sore itu kami duduk bersama di atap apartemennya, saya mengadahkan wajah ke langit. Usia kami menginjak seperempat abad dan kami mengalami apa yang disebut quarter life crisis.

Usia ‚sang sobat‘ yang bersama saya saat itu setahun lebih tua. Sebagai sahabat kami biasa untuk saling ngobrol tentang segala hal: percintaan, hubungan dengan orangtua, keuangan dan tentang apa yang kami inginkan tapi belum juga dicapai.

Saat langit mulai menjadi gelap, saya bergumam, "Saya ingin kuliah lagi, kuliah master di negara lain, tetapi saya tidak kunjung dapat beasiswa. Kalaupun di Indonesia aku tak punya cukup uang dari pekerjaan paruh waktu yang sekarang untuk membayar biaya per semesternya.”

Penulis: Nadya Karima Melati Foto: N. K. Melati

Sahabat saya itu sendiri sedang menjalani kuliah master jarak jauh di negara asalnya dengan biaya berasal dari pinjaman negara. Lalu saya bertanya lagi kepadanya, "Bagaimana kamu akan bayar uang pinjaman studi itu?”. "Jual diri” jawabnya. "Kalau begitu aku akan jual ginjalku” tandasku. Kami lalu saling tertawa, bicara tentang masa depan yang masih tidak kami mengerti.

Tapi kami mencoba untuk mengerti. Sebelum masuk perbincangan soal memperdagangkan organ tubuh atau harga diri, sesungguhnya kami mengritik mengapa dan ada apa dengan sistem pendidikan.

Pendidikan, dibuat untuk melanggengkan kelas sosial, adalah sebuah kenyataan pahit yang harus diterima.

Ketika kecil kita bisa bercita-cita menjadi apapun, tetapi ketika menyelesaikan pendidikan atas (SMA) dan pendidikan universitas, akhirnya kita menyadari bahwa cita-cita tinggal mimpi, ada perut yang harus diisi, ada orangtua yang butuh dipuaskan, ada pacar yang menuntut dinikahkan.

Kenyataan menampar keras dan kita harus menentukan pilihan dengan risiko yang paling kecil dan paling mungkin ditanggung.

Apakah pendidikan membebaskan?

Konon katanya, pendidikan adalah sarana mobilitas sosial naik ke atas. Dengan mengakses pendidikan dasar sampai atas kemudian di lanjutkan dengan universitas maka seseorang dapat naik kelas sosialnya.

Untuk itu, banyak orang berlomba-lomba daftar ke sekolah terbaik, perguruan tinggi terbaik. Pada tahun 2017 saja, Universitas Indonesia sebagai universitas bergengsi di Indonesia diminati 65705 pendaftar melalui jalur SBMPTN dan diprediksi bakal memperebutkan 3367 kursi yang disediakan.

Biasanya, universitas sekelas UI akan membuka tiga sampai lima jalur pendaftaran mahasiswa, lewat jalur bersama seperti SBMPTN, jalur ujian mandiri SIMAK dan jalur prestasi atau rapot yang pada tahun angkatan saya 2011 bernama jalur undangan. Saya lulus empat tahun kemudian dengan ekspetasi mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang bagus.

Louis Altusser menyatakan bahwa institusi pendidikan adalah Ideological State Apparatus yang justru mencetak anak-anak untuk menjadi penurut dan mengikuti sistem. "The government and teachers control the masses by injecting millions of children with a set of ideas which keep people unaware of their exploitation and make them easy to control”.

Kajian kritis mencurigai bahwa pendidikan tidak pernah membebaskan, justru mencetak pekerja-pekerja yang patuh melalui kurikulum dan metode pengajaran. Kurikulum dibuat untuk mencetak calon pekerja yang patuh dan dengan metode reward-punishment. Ekspetasinya adalah ketika lulus, para murid mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang diinginkan dan bukan menikmati pekerjaannya.

Menurut kajian kritis, pendidikan tidak pernah jadi pembebasan, justru mereproduksi kelas sosial. Sebagai contohnya untuk tingkat sekolah menengah SMP saja terdapat tiga jenjang kualitas pendidikan yang bergantung dengan kemampuan finansial orangtua untuk membiayainya.

Saya ambil contoh besaran pendidikan kelas menengah SMP yang sangat berbeda kualitas dan pembiayaannya per bulan. Seorang ibu yang menyekolahkan anaknya di sekolah internasional berbahasa Inggris menghabiskan sekitar Rp 5 juta, sedangkan orangtua kelas menengah menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta di pinggiran kota membayarkan hampir 1 juta perbulan dan bayangkan berapa banyak yang harus dibayarkan oleh kelas bawah?

Oleh karena itu rakyat miskin di Indonesia rata-rata hanya mampu mengakses sekolah negeri atau pesantren yang biayanya relatif lebih murah. Perbandingan kualitas lulusannya hampir tidak mungkin setara begitu juga akses untuk kualitas pendidikan lanjutannya.

Kesenjangan sengaja diciptakan

Mobilitas sosial naik melalui pendidikan hampir jadi ilusi, kemampuan finansial dan asal kelas sosial sangat menentukan kualitas pendidikan yang diraih.

Sejarah mencatatkan ilusi mobilitas sosial ini. Sistem pendidikan berdasarkan kemampuan finansial orangtua ini telah diproduksi sejak masa Hindia Belanda ketika Politik Etis (1902) diterapkan dan sekolah-sekolah dibangun, sekolah dasar dibagi menjadi dua jenis; sekolah kelas satu Europesche Lager School (ELS) untuk pembesar pribumi dan orang-orang Belanda dan sekolah kelas dua Hollandsche Inlandsche School (HIS) yang berisi anak-anak pegawai negeri sipil pribumi.

Segregasi antar kelas sosial berdasarkan warna kulit dan kelas sosial di bentuk dan sekolah kelas dua memang segaja diperuntukan untuk keterampilan dan bukan ilmu murni melainkan melanjutkan pekerjaan bapaknya sebagai juru ketik, tukang listrik, pegawai di pengadilan atau mantri cacar.

Jebakan setan bernama Otonomi Kampus

Kini masa berganti dan Indonesia hadir sebagai negara bekas jajahan Belanda dengan orientasi pembangunan berdasarkan kehendak pasar. Tren pasar dan kebijakan neoliberalisme melahirkan privatisasi pendidikan mulai merambah dunia pendidikan Indonesia sejak tahun 2003 melalui Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan perubahan status empat Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Empat PTN yang berubah statusnya tersebut adalah UI, ITB, IPB, dan UGM.

Otonomi kampus, nama populer dari program tersebut mengalihkan tujuan utama pendidikan yang konon demi perkembangan Ilmu Pengetahuan yang berguna untuk kemajuan negara, menjadi berorientasi profit dan komersialisasi pendidikan.

Tren otonomi kampus dan komersialisasi pendidikan itu menuai masalah dengan keutamaan Universitas mengejar profit.

Universitas berkompetisi menjadi yang paling bergengsi dan mengedepankan nama baik agar orangtua menyekolahkan anaknya ke universitas tersebut. Akibat dari marketisasi pendidikan ini adalah universitas mencari mahasiswa sebanyak-banyaknya dan "mendorong” mahasiswa (dan juga dosen) melakukan publikasi jurnal ilmiah banyak-banyak.

Mengapa? karena kualitas pendidikan dihitung melalui gengsi universitas dalam publikasi jurnal ilmiah. Orientasi pasar juga mempengaruhi orientasi penelitian, karena dihitung berdasarkan kuantitas dan kegunaan penelitian secara praktis. Dalam setiap sidang skripsi, tesis ataupun disertasi di Universitas akan ditanya, "apa manfaat praktis penelitian ini?”. Karena penelitian sudah mendapatkan sebuah beban untuk bisa diterapkan secara praktis demi keuntungan pasar.

Masalah lagi dari orientasi profit adalah pembukaan program studi yang diminati pasar tenaga kerja yang berarti kita tidak pernah beranjak dari masa politik etis karena pendidikan lagi-lagi memang untuk keterampilan dan bukan kecakapan berpikir.

Sedangkan di sisi lain, institut di Indonesia sedang berlomba-lomba menjadi universitas guna meluaskan dan memperbanyak program studi agar semakin banyak calon mahasiswa yang bisa ditampung, dengan begitu keuntungan semakin banyak.

Wacana lain yang harus diwaspadai adalah pinjaman mahasiswa atau student loan. Karena student loan pada dasarnya adalah merampok negara demi keuntungan universitas.

Ada bunga yang membebani kedua pihak dan ada bank yang diuntungkan.  Alhasil yang tersisa adalah mahasiswa-mahasiswa seperti sahabat saya terlunta-lunta melunasi utang bank kepada negara yang hampir Rp 400 juta.

Hari semakin gelap dan kami berdua mengantuk. Seperti anak sekolah yang berjanji akan bertemu lagi keesokan hari, kami berpisah dan saya pamit pulang.

Pada perbincangan kami tentang pendidikan ini, saya masih berpikir apakah masih harus menjual ginjal untuk melunasi utang ataukah membuat sebuah esai agar orang-orang mulai menyadari kesalahan dalam sistem pendidikan kita, agar saya dan kita semua tidak perlu jual organ tubuh demi melanjutkan pendidikan.

Penulis:

@Nadyazura

Essais dan pengamat masalah sosial.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

Bagaimana  komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam  kolom komentar di bawah ini.