Bagaimana kamu akan bayar uang pinjaman studi?”. “Jual diri” jawab sang sahabat. “Kalau begitu saya akan jual ginjalku” tandas Nadya Karima Melati, ketika sampai titik frustrasi sulitnya jalan mengggapai cita.
Iklan
Sore itu kami duduk bersama di atap apartemennya, saya mengadahkan wajah ke langit. Usia kami menginjak seperempat abad dan kami mengalami apa yang disebut quarter life crisis.
Usia ‚sang sobat‘ yang bersama saya saat itu setahun lebih tua. Sebagai sahabat kami biasa untuk saling ngobrol tentang segala hal: percintaan, hubungan dengan orangtua, keuangan dan tentang apa yang kami inginkan tapi belum juga dicapai.
Saat langit mulai menjadi gelap, saya bergumam, "Saya ingin kuliah lagi, kuliah master di negara lain, tetapi saya tidak kunjung dapat beasiswa. Kalaupun di Indonesia aku tak punya cukup uang dari pekerjaan paruh waktu yang sekarang untuk membayar biaya per semesternya.”
Sahabat saya itu sendiri sedang menjalani kuliah master jarak jauh di negara asalnya dengan biaya berasal dari pinjaman negara. Lalu saya bertanya lagi kepadanya, "Bagaimana kamu akan bayar uang pinjaman studi itu?”. "Jual diri” jawabnya. "Kalau begitu aku akan jual ginjalku” tandasku. Kami lalu saling tertawa, bicara tentang masa depan yang masih tidak kami mengerti.
Tapi kami mencoba untuk mengerti. Sebelum masuk perbincangan soal memperdagangkan organ tubuh atau harga diri, sesungguhnya kami mengritik mengapa dan ada apa dengan sistem pendidikan.
Pendidikan, dibuat untuk melanggengkan kelas sosial, adalah sebuah kenyataan pahit yang harus diterima.
Ketika kecil kita bisa bercita-cita menjadi apapun, tetapi ketika menyelesaikan pendidikan atas (SMA) dan pendidikan universitas, akhirnya kita menyadari bahwa cita-cita tinggal mimpi, ada perut yang harus diisi, ada orangtua yang butuh dipuaskan, ada pacar yang menuntut dinikahkan.
Kenyataan menampar keras dan kita harus menentukan pilihan dengan risiko yang paling kecil dan paling mungkin ditanggung.
Lawan Kemiskinan dengan Suku Cadang Bekas
Fatemeh Safarpour pionir di dunia seni Iran. Dari suku cadang bekas mobil ia membuat karya seni dan membiayai keluarganya. Ia tinggal di Sistan-Baluchistan, provinsi paling melarat di perbatasan dengan Afghanistan.
Foto: Damun Pournemati
Seniman Hanya Sedikit
Karya seni dari barang bekas masih baru di Iran. Hanya sejumlah kecil seniman berkecimpung di bidang ini. Salah satunya Fatemeh Safarpour. Ia tinggal di Zahedan, kota kelahirannya di provinsi Sistan-Belutchistan. Provinsi ini terletak di Iran Tenggara, di dekat perbatasan dengan Afghanistan dan Pakistan.
Foto: Damun Pournemati
Tingkat Pengangguran: 45%
Di kampung Safarpour, orang hidup tradisional. Anak perempuan menikah usia muda dan jadi ibu rumah tangga saja. Tapi Fatemeh Safarpour pernah kuliah arsitektur. Dalam bidang itu ia tidak dapat pekerjaan. Tingkat pengangguran di provinsi itu (45%) sangat tinggi. Kekeringan dan kurangnya air mempersulit pertanian.
Foto: Damun Pournemati
Temukan Pekerjaan Karena Kegemaran
Fatemeh Safarpour menjadikan kegemarannya akan kesenian sebagai pekerjaan. Beberapa tahun lalu, ia mulai melas suku cadang bekas dari logam. Ia mencari bengkel kecil yang kemudian diperluas, dan ia mulai berkarya dengan suku cadang bekas.
Foto: Damun Pournemati
Pakai Hijab Walaupun Panas
Cuaca di kota Zahedan kering dan hangat. Kalau musim panas, subu bisa sampai 45 derajat. Fatemeh Safarpour harus pakai hijab jika keluar rumah, seperti halnya perempuan lain di Iran. Juga di bengkel, ketika memakai topeng spesial untuk mengelas.
Foto: Damun Pournemati
Seni atau Rombengan?
Ciri khas karya Safarpour adalah kecintaan pada hal-hal kecil. Berapa harga karya seninya jika dijual, tidak jelas. Seni dari barang bekas belum berhasil menerobos minat banyak orang di Iran. Sampai sekarang hanya ada satu pameran tentang karya seni dari barang bekas di ibukota Teheran.
Foto: Damun Pournemati
Mengintip Bengkelnya
Seorang fotografer dan pembaca DW, Damoun Pournemati, berkunjung ke bengkel Fatemeh Safarpour dan membuat foto beberapa karyanya.
Foto: Damun Pournemati
Batu Sandungan di Pasar Kesenian
Fatemeh Safarpour bercerita dalam wawancara dengan fotografer DW bagaimana sulitnya menapakkan kaki di pasaran seni sebagai perempuan yang independen. Ia satu-satunya yang mencari nafkah di keluarganya. Yang menikmati karyanya, terutama orang-orang di daerah asalnya, tapi mereka tidak punya uang untuk membeli barang seni. Safarpour mengeluhkan diskriminasi perempuan di pasar seni.
Foto: Damun Pournemati
Bintang Tenar di Internet asal Zahedan
Setelah DW membuat laporan dan geleri gambar tentang Safarpour, banyak situs internet Persia lain yang ikut mengangkat kisahnya. Sekarang, jika orang menulis di google "seni suku cadang bekas mobil", nama Safarpour bisa dilihat di bagian depan. Apa terobosan sekarang sudah dibuat? Penulis: Shabnam von Hein (ml/hp)
Foto: Damun Pournemati
8 foto1 | 8
Apakah pendidikan membebaskan?
Konon katanya, pendidikan adalah sarana mobilitas sosial naik ke atas. Dengan mengakses pendidikan dasar sampai atas kemudian di lanjutkan dengan universitas maka seseorang dapat naik kelas sosialnya.
Untuk itu, banyak orang berlomba-lomba daftar ke sekolah terbaik, perguruan tinggi terbaik. Pada tahun 2017 saja, Universitas Indonesia sebagai universitas bergengsi di Indonesia diminati 65705 pendaftar melalui jalur SBMPTN dan diprediksi bakal memperebutkan 3367 kursi yang disediakan.
Biasanya, universitas sekelas UI akan membuka tiga sampai lima jalur pendaftaran mahasiswa, lewat jalur bersama seperti SBMPTN, jalur ujian mandiri SIMAK dan jalur prestasi atau rapot yang pada tahun angkatan saya 2011 bernama jalur undangan. Saya lulus empat tahun kemudian dengan ekspetasi mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang bagus.
Louis Altusser menyatakan bahwa institusi pendidikan adalah Ideological State Apparatus yang justru mencetak anak-anak untuk menjadi penurut dan mengikuti sistem. "The government and teachers control the masses by injecting millions of children with a set of ideas which keep people unaware of their exploitation and make them easy to control”.
Kajian kritis mencurigai bahwa pendidikan tidak pernah membebaskan, justru mencetak pekerja-pekerja yang patuh melalui kurikulum dan metode pengajaran. Kurikulum dibuat untuk mencetak calon pekerja yang patuh dan dengan metode reward-punishment. Ekspetasinya adalah ketika lulus, para murid mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang diinginkan dan bukan menikmati pekerjaannya.
Inilah Komoditas Penyumbang Kemiskinan di Indonesia
Jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2017 mencapai 27,7 juta orang. Demikian laporan Badan Pusat Statistik (BPS). Komoditas apa yang turut berkontribusi pada tingkat kemiskinan di Indonesia?
Foto: Getty Images/AFP/O. Siagian
Beras
Komoditas utama yang menyumbang indikator kemiskinan di Indonesia adalah beras dan rokok. Menurut BPS, beras berkontribusi sebesar 18,31 persen di perkotaan dan di pedesaan sebesar 25,35 persen.
Foto: Fotolia/Rhombur
Rokok
Sementara produk rokok -- baik di perkotaan maupun pedesaan -- berkontribusi sebesar 10,7 persen terhadap angka kemiskinan. Penyebabnya, harga rokok yang semakin mahal.
Foto: Getty Images/AFP/O. Siagian
Daging sapi
Konsumsi daging sapi juga berperan pada angka kemiskinan. Faktor daging sapi menyumbang 4,94 persen untuk kemiskinan di perkotaan dan untuk kemiskinan di pedesaan 3,47 persen.
Foto: Imago/F. Abraham
Kebutuhan pangan lain
Sementara itu, komoditas lain yang juga punya andil berkontribusi pada tingkat kemiskinan antara lain mie instan, daging ayam ras, gula pasir, bawang merah, kopi, tempe, tahu dan telur ayam ras, serta bahan makanan lainnya.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Non-makanan
Komoditas di luar makanan yang berperan juga pada tingkat kemiskinan di Indonesia adalah faktor perumahan, pendidikan, listrik, bensin, dan perlengkapan mandi.
Foto: DW/Robina
5 foto1 | 5
Menurut kajian kritis, pendidikan tidak pernah jadi pembebasan, justru mereproduksi kelas sosial. Sebagai contohnya untuk tingkat sekolah menengah SMP saja terdapat tiga jenjang kualitas pendidikan yang bergantung dengan kemampuan finansial orangtua untuk membiayainya.
Saya ambil contoh besaran pendidikan kelas menengah SMP yang sangat berbeda kualitas dan pembiayaannya per bulan. Seorang ibu yang menyekolahkan anaknya di sekolah internasional berbahasa Inggris menghabiskan sekitar Rp 5 juta, sedangkan orangtua kelas menengah menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta di pinggiran kota membayarkan hampir 1 juta perbulan dan bayangkan berapa banyak yang harus dibayarkan oleh kelas bawah?
Oleh karena itu rakyat miskin di Indonesia rata-rata hanya mampu mengakses sekolah negeri atau pesantren yang biayanya relatif lebih murah. Perbandingan kualitas lulusannya hampir tidak mungkin setara begitu juga akses untuk kualitas pendidikan lanjutannya.
Kesenjangan sengaja diciptakan
Mobilitas sosial naik melalui pendidikan hampir jadi ilusi, kemampuan finansial dan asal kelas sosial sangat menentukan kualitas pendidikan yang diraih.
Sejarah mencatatkan ilusi mobilitas sosial ini. Sistem pendidikan berdasarkan kemampuan finansial orangtua ini telah diproduksi sejak masa Hindia Belanda ketika Politik Etis (1902) diterapkan dan sekolah-sekolah dibangun, sekolah dasar dibagi menjadi dua jenis; sekolah kelas satu Europesche Lager School (ELS) untuk pembesar pribumi dan orang-orang Belanda dan sekolah kelas dua Hollandsche Inlandsche School (HIS) yang berisi anak-anak pegawai negeri sipil pribumi.
Segregasi antar kelas sosial berdasarkan warna kulit dan kelas sosial di bentuk dan sekolah kelas dua memang segaja diperuntukan untuk keterampilan dan bukan ilmu murni melainkan melanjutkan pekerjaan bapaknya sebagai juru ketik, tukang listrik, pegawai di pengadilan atau mantri cacar.
Di Negara-negara Ini Jurang Antara Kaya - Miskin Amat Dalam
Indonesia di posisi keempat negara dengan tingkat kesenjangan tertinggi di dunia. Inilah laporan Global Wealth Report 2016 lembaga riset Credit Suisse yang meneliti jurang kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin.
Foto: picture alliance/blickwinkel/McPHOTO
1. Rusia
Rusia tempati posisi pertama negara dengan ketimpangan ekonomi terbesar sejagad. Dalam penelitian Credit Suisse ditemukan 74,5% kekayaan negara dikuasai 1% orang-orang termakmur di negeri itu. Di negara ini terdapat sekitar 96 milyarder - total yang hanya dilampaui oleh Cina dengan 244 orang dan Amerika Serikat dengan 582 orang.
Foto: picture-alliance/dpa/RIA Novosti/A. Kudenko
2. India
India berada di posisi ke-2 negara yang kesenjangan ekonominya terbesar. 58,4% kekayaan dimiliki 1% orang terkaya. Kekayaan pribadi didominasi oleh properti & aset riil lainnya. Meski kekayaan perorangan telah meningkat di India, tidak semua orang mendapat bagian dari pertumbuhan ekonominya. 2260 orang diketahui memiliki kekayaan lebih dari US$ 50 juta dan 1.040 orang lebih dari US$ 100 juta.
Foto: DW/J. Akhtar
3. Thailand
Dalam laporan Global Wealth Report 2016 lembaga riset Credit Suisse, negara di Asia Tenggara ini berada di urutan ketiga negara ketimpangan ekonomi terbesar sedunia, dimana hanya satu persen orang terkaya yang menguasai 58 persen aset kekayaan di negara gajah putih ini.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Yongrit
4. Indonesia
Kekayaan per orang meningkat 6 kali lipat selama periode 2000- 2016. Namun menurut standar internasional, kekayaan rata-rata orang di Indonesia masih rendah. Setengah aset kekayaan di Indonesia dikuasai hanya 1% orang terkaya. Kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin di Indonesia mencapai 49%, yang menempatkan Indonesia di posisi keempat negara dengan tingkat kesenjangan tertinggi di dunia.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
5. Brazil
Untuk melindungi diri dari inflasi, banyak warga Brasil mempertahankan aset riil, khususnya dalam bentuk tanah. Kesenjangan pendapatan di negara ini berhubungan dengan ketidakmerataan akses pendidikan serta pembagian tajam antara sektor ekonomi formal dan informal. 47,9 persen kekayaan di negara ini hanya dimiliki satu persen kelompok orang paling tajir di negara ini.
Foto: DW/J.P. Bastien
6. Cina
Di Cina terdapat 1,6 juta jutawan. Negara ini paling banyak punya penduduk dengan kekayaan di atas US$ 50 juta dibanding negara manapun, kecuali Amerika Serikat. Namun ketimpangan ekonomi di negara tirai bambu ini tinggi yakni 43,8% kekayaannya dikuasai 1 persen orang terkaya. Ketimpangan ekonomi semakin tinggi sejak tahun 2000.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Reynolds
7. Amerika Serikat
Perekonomian dan pasar keuangan AS terus membaik di tahun 2015 – 2016. Dibandingkan dengan banyak negara OECD lainnya, AS memiliki lebih banyak aktivitas ekonomi di sektor swasta dibanding publik. Jumlah individu dengan kekayaan di atas US% 50 juta enam kali lebih banyak dibanding Cina. Satu persen orang terkaya di negara adi daya ini menguasai aset kekayaan sebesar 42,1%.
Foto: picture alliance/U. Baumgarten
8. Afrika Selatan
Sejak tahun 2007 kemajuan ekonomi melambat. Namun pertumbuhan segera pulih dan rata-ratanya meningkat 9,4% per tahun sejak tahun 2010. Di negara ini, 41,9% kekayaaan negara dikendalikan oleh hanya satu persen total orang terkaya, yang menempatkan negara ini di posisi nomor 8 negara dengan tingkat kesenjangan tertinggi di dunia. Ed: ap/rzn(Credit Suisse/independent)
Kini masa berganti dan Indonesia hadir sebagai negara bekas jajahan Belanda dengan orientasi pembangunan berdasarkan kehendak pasar. Tren pasar dan kebijakan neoliberalisme melahirkan privatisasi pendidikan mulai merambah dunia pendidikan Indonesia sejak tahun 2003 melalui Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan perubahan status empat Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Empat PTN yang berubah statusnya tersebut adalah UI, ITB, IPB, dan UGM.
Otonomi kampus, nama populer dari program tersebut mengalihkan tujuan utama pendidikan yang konon demi perkembangan Ilmu Pengetahuan yang berguna untuk kemajuan negara, menjadi berorientasi profit dan komersialisasi pendidikan.
Tren otonomi kampus dan komersialisasi pendidikan itu menuai masalah dengan keutamaan Universitas mengejar profit.
Universitas berkompetisi menjadi yang paling bergengsi dan mengedepankan nama baik agar orangtua menyekolahkan anaknya ke universitas tersebut. Akibat dari marketisasi pendidikan ini adalah universitas mencari mahasiswa sebanyak-banyaknya dan "mendorong” mahasiswa (dan juga dosen) melakukan publikasi jurnal ilmiah banyak-banyak.
Mengapa? karena kualitas pendidikan dihitung melalui gengsi universitas dalam publikasi jurnal ilmiah. Orientasi pasar juga mempengaruhi orientasi penelitian, karena dihitung berdasarkan kuantitas dan kegunaan penelitian secara praktis. Dalam setiap sidang skripsi, tesis ataupun disertasi di Universitas akan ditanya, "apa manfaat praktis penelitian ini?”. Karena penelitian sudah mendapatkan sebuah beban untuk bisa diterapkan secara praktis demi keuntungan pasar.
Masalah lagi dari orientasi profit adalah pembukaan program studi yang diminati pasar tenaga kerja yang berarti kita tidak pernah beranjak dari masa politik etis karena pendidikan lagi-lagi memang untuk keterampilan dan bukan kecakapan berpikir.
Sedangkan di sisi lain, institut di Indonesia sedang berlomba-lomba menjadi universitas guna meluaskan dan memperbanyak program studi agar semakin banyak calon mahasiswa yang bisa ditampung, dengan begitu keuntungan semakin banyak.
Wacana lain yang harus diwaspadai adalah pinjaman mahasiswa atau student loan. Karena student loan pada dasarnya adalah merampok negara demi keuntungan universitas.
Ada bunga yang membebani kedua pihak dan ada bank yang diuntungkan. Alhasil yang tersisa adalah mahasiswa-mahasiswa seperti sahabat saya terlunta-lunta melunasi utang bank kepada negara yang hampir Rp 400 juta.
Hari semakin gelap dan kami berdua mengantuk. Seperti anak sekolah yang berjanji akan bertemu lagi keesokan hari, kami berpisah dan saya pamit pulang.
Pada perbincangan kami tentang pendidikan ini, saya masih berpikir apakah masih harus menjual ginjal untuk melunasi utang ataukah membuat sebuah esai agar orang-orang mulai menyadari kesalahan dalam sistem pendidikan kita, agar saya dan kita semua tidak perlu jual organ tubuh demi melanjutkan pendidikan.
Penulis:
@Nadyazura
Essais dan pengamat masalah sosial.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.
Potret Kemiskinan di Jerman
Kehilangan tempat tinggal, tidak cukup uang untuk membeli makanan dan anak-anak yang kekurangan - secara statistik hampir 30 persen warga Jerman terancam kemiskinan. Foto-foto Shamsan Anders tentang kemiskinan di Jerman.
Foto: DW/Shamsan Anders
Perspektif buram
Perumahan Grohner Düne adalah salah satu kawasan miskin di kota Bremen. Penduduk di kota ini menurut statistik yang punya "resiko kemiskinan" paling tinggi. Lebih 20% penduduk kota terancam kemiskinan. Yang dianggap "miskin" di Jerman adalah mereka yang pendapatannya masih di bawah 60% pendapatan rata-rata.
Foto: DW/Shamsan Anders
Pembagian makanan
Di kota Bremen ada tiga tempat pembagian makanan bagi warga miskin. Di tempat pembagian Burg, setiap hari ada sekitar 125 orang yang datang. Makanan yang dibagikan di sini sebagian besar berasal dari supermarket atau toko roti yang menyumbangkan bahan makanan yang hampir kadaluwarsa atau tidak bisa dijual lagi.
Foto: DW/Shamsan Anders
Bertoleransi dan bersyukur
Yang datang ke tempat pembagian makanan adalah keluarga, pensiunan, warga migran atau pengungsi. "Bremen tempat yang multikultural", kata koordinator pembagian makanan, Hannelore Vogel. "Di sini tidak ada konflik. Suasananya dipenuhi toleransi dan rasa bersyukur."
Foto: DW/Shamsan Anders
Para relawan yang rajin
Pekerjaan sosial ini dilaksanakan oleh tenaga relawan, seperti Werner Dose, pensiunan berusia 80 tahun. Selain itu ada juga tenaga bantuan yang sedang magang dan tenaga kerja yang dikirim dari Dinas Kerja.
Foto: DW/Shamsan Anders
Penjualan murah
Di "toko sosial" di kota Halle ditawarkan bahan makanan, perabot rumah, pakaian dan banyak barang-barang keperluan sehari-hari dengan harga rendah. Tempat ini hanya bisa dikunjungi warga yang kekurangan. Toko ini terutama menawarkan keperluan anak-anak dan orang berusia lanjut. Halle adalah salah satu kota termiskin di Jerman.
Foto: DW/Shamsan Anders
Perabotan rumah tangga
"Toko sosial" seperti ini makin banyak dikunjungi orang. Barang-barang di sini berasal dari sumbangan warga. "80 persen pelanggan di sini adalah warga asing, banyak dari mereka pengungsi", kata pegawai toko Gabi Croll. "Orang Jerman yang miskin segan datang ke sini, mungkin karena mereka malu," tambahnya.
Foto: DW/Shamsan Anders
Makin banyak warga tunawisma
Di Berlin diperkirakan ada sekitar 6000 warga tunawisma. Di kota-kota besar Eropa, jumlahnya bertambah dari tahun ke tahun. Sekitar 60 persen tunawisma di Berlin adalah warga asing. Kebanyakan berasal dari negara-negara Eropa timur.
Foto: DW/Shamsan Anders
Memimpikan masa depan yang lebih baik
Jörg adalah tukang mesin yang sejak 6 tahun hidup di jalan. Dia kehilangan satu kaki dalam sebuah kecelakaan. Dia mengatakan, makin banyak warga tunawisma sekarang di Berlin, sehingga "persaingan jadi makin ketat". Impian besar pria berusia 38 tahun ini adalah sekali waktu bisa bermain drum lagi. "Itu sangat menyenangkan," katanya. (Teks: Viola Röser/hp/yf)