John Lee Umumkan Niat Jadi Kepala Eksekutif Hong Kong Baru
7 April 2022
Sekretaris Kepala Hong Kong John Lee mengumumkan niatnya untuk mencalonkan diri sebagai kepala eksekutif Hong Kong. Para pengamat menilai jika Lee terpilih akan semakin membuat Beijing leluasa "mencengkeram" Hong Kong.
Iklan
Sekretaris kepala untuk pemerintahan Hong Kong John Lee telah mengumumkan niatnya untuk mencalonkan diri sebagai pejabat tertinggi di wilayah semiotonom tersebut.
Lee pada hari Rabu (06/04) telah mengundurkan diri dari jabatannya dalam pemerintahan saat ini. Pengunduran diri Lee muncul hanya dua hari setelah Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengumumkan bahwa dirinya mengundurkan diri pada Juni 2022 mendatang, mengakhiri masa jabatan lima tahun. Lam mengatakan enggan mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua.
John Lee, orang nomor 2 di Hong Kong, dikenal sebagai loyalis tindakan keras yang didukung Beijing terhadap aktivis pro-demokrasi di Hong Kong.
"Jika pengunduran diri saya disetujui oleh Pemerintah Rakyat Pusat, saya akan merencanakan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala eksekutif mendatang," kata Lee dalam konferensi persnya.
"Telah berada di pemerintahan selama lebih dari 40 tahun, untuk melayani rakyat Hong Kong adalah suatu kebanggaan,” lanjutnya.
Lee diyakini menjadi satu-satunya kandidat untuk kepala eksekutif yang didukung oleh Beijing dan difavoritkan menjadi suksesor Lam.
Iklan
Cina semakin memainkan peran di Hong Kong?
Jika pria berusia 64 tahun ini nantinya terpilh menjadi kepala eksekutif, hal ini dinilai akan menjadi sinyal bahwa Beijing akan semakin mempererat "cengkeramannya" terhadap Hong Kong. Aktivis Hong Kong yang sekarang tinggal di Inggris, Nathan Law, menjelaskan bahwa Lee lebih agresif dan keras terhadap mereka yang pro-demokrasi dibandingkan Lam.
"Ini adalah proses 'seleksi', bukan proses 'pemilihan'," kata Law kepada kantor berita AFP. "Beijing yang menentukan siapa yang menjadi pemimpin selanjutnya Hong Kong, bukan rakyat Hong Kong."
Pekerja Seni Hong Kong dan Cina yang Dipersekusi Beijing
Seniman Hong Kong yang mengekspresikan sikap pro-demokrasi, kreativitasnya dibungkam, sama seperti para musisi di Cina. Berikut daftar seniman yang jadi target persekusi Beijing.
Foto: Richard Shotwell/Invision/AP/picture alliance
Menamakan diri ‘pemadam kebakaran budaya’
Kacey Wong baru saja hengkang dari Hong Kong ke Taiwan, dengan alasan kurangnya ruang untuk ekspresi artistik. Terkenal dengan seni pertunjukan satire politiknya, musisi lulusan Cornell ini memilih isu seperti Pembantaian Tiananmen atau sensor di Cina. Dalam konser “The Patriot” tahun 2018, ia menyanyikan lagu kebangsaan Cina di dalam jeruji besi berwarna merah.
Foto: ANTHONY WALLACE/AFP
Lagu tentang pilihan
Pendukung gerakan pro-demokrasi Hong Kong, Anthony Wong (kiri) menyanyikan lagu “A Forbidden fruit per day” pada saat pemilu 2018. “Lagu ini menceritakan pilihan, entah masyarakat punya pilihan atau tidak,” ucapnya. Ia ditangkap aparat belum lama ini dan pejabat Komisi independen anti Korupsi Hong Kong mendakwanya karena “perilaku korup.” Wong terancam hukuman penjara cukup lama.
Foto: Alvin Chan/SOPA/Zuma/picture alliance
Tirani tidak bisa mengalahkan kreativitas
Penyanyi Kanton Pop, aktris, dan aktivis pro-demokrasi Denise Ho masuk daftar hitam karena bergabung dengan Gerakan Payung Hong Kong 2014. Saat TEDTalk tahun 2019 dia mengatakan, tirani tidak akan bisa mengalahkan kreativitas. “Apakah itu protes turun ke jalan yang menciptakan gejolak baru atau saat warga menemukan kembali jati dirinya, sistem butuh waktu untuk melawannya dengan mencari solusi.”
Foto: Asanka Ratnayake/Getty Images
Dianugerahi Nobel Perdamaian saat di penjara
Mendiang Liu Xiaobo dianugerahi Nobel Perdamaian tahun 2010 atas “perjuangan panjang dan tanpa kekerasan demi hak asasi manusia di Cina” saat ia menjalani masa tahanan keempatnya. Dia adalah penulis, kritikus sastra, aktivis hak asasi manusia, dan filsuf yang ditangkap berkali-kali, dicap sebagai pembangkang Cina, dan dikenal sebagai tahanan politik.
Foto: picture-alliance/dpa/L. Xia
Seni sebagai alat bantu untuk kebebasan
Seniman kontemporer dan pembangkang politik Ai Weiwei dipenjara tahun 2011 karena dituduh mengemplang pajak. Dibebaskan setelah 81 hari, dan diorama ini menggambarkan kisah menyedihkan dari penahanannya. Ai menjelaskan makna karyanya: “Jika karya saya bermakna, itu adalah alat kebebasan. Jika saya melihat korban otoritarianisme, saya adalah tentara pembela kebebasan mereka.”
Foto: Federico Gambarini/dpa/picture alliance
Saat kebenaran jadi tabu
Pembuat film dan penulis Zhou Qing harus membayar mahal karena menulis hal tabu. Saat wawancara 2011 lalu, dia mengatakan “di Cina mengungkap kebenaran membuat orang menderita selamanya. Warga biasa yang tahu dan menyebarkannya akan kehilangan keluarga atau pekerjaan. Penulis yang mengungkap kebenaran diadili dengan ancaman penjara. Pejabat yang memilih kebenaran, kemungkinan kehilangan nyawanya.”
Foto: Ai Weiwei/Zhou Qing
Gunakan budaya pop lawan propaganda
Lahir dan besar di Shanghai, Badiucao beken sebagai kartunis politik, seniman, dan aktivis yang "pergi belajar" ke Australia tahun 2009 dan menetap di sana. Dia menggunakan nama penanya untuk melindungi identitasnya. Ia melontarkan pernyataan politiknya berupa penggabungan lelucon politik, satir, dan budaya pop dengan gambar khas propaganda partai komunis. Presiden Xi Jinping sering jadi objeknya.
Foto: Libor Sojka/Ctk/dpa/picture alliance
Dari pahlawan jadi musuh negara
Mulanya Chloe Zhao dielu-elukan media resmi Cina sebagai “kebanggan Cina” setelah menyabet predikat Sutradara Terbaik versi Golden Globe 2021. Namun, kemenangan Oscar ini tidak lagi dianggap, dan pujian di media sosial juga dihapus. Spekulasinya, saat wawancara dengan majalah Filmmaker tahun 2013, dia menghina Cina dengan mendeskrpsikan Cina sebagai “negara dengan kebohongan di mana-mana.” (mh/as)
Foto: Richard Shotwell/Invision/AP/picture alliance
8 foto1 | 8
Pengamat politik dari Universitas Hong Kong, Ivan Choy, mengatakan pemerintahan di bawah Lee nantinya akan mencerminkan keinginan Beijing untuk mencari "kesetiaan, kedisiplinan, dan keamanan nasional."
"Jika (Lee) menjadi pemimpin eksekutif berikutnya, itu berarti masalah keamanan nasional akan menimbulkan kekhawatiran lain dalam lima tahun Hong Kong ke depan," ujar Choy.
Lee dinilai akan memiliki pengalaman pembuatan kebijakan yang jauh lebih sedikit karena telah menghabiskan sebagian besar karier pegawai negerinya di kepolisian dan mengawasi masalah keamanan. Choy mengatakan, mengingat kurangnya pengalaman tersebut, Beijing dapat memainkan peran yang lebih penting dalam urusan lokal dan domestik Hong Kong.
Periode pencalonan kepala eksekutif Hong Kong akan dimulai pada tanggal 10 April dan akan berlangsung sampai 16 April mendatang. Pemilihan dijadwalkan pada tanggal 8 Mei oleh sebuah komite yang terdiri dari sekitar 1.500 orang, yang sebagian besar pro-Beijing.
Kandidat lain yang diprediksi oleh media lokal sebagai calon pesaing Lee adalah Menteri Keuangan Hong Kong Paul Chan. Meskipun hingga kini Chan belum menyatakan niat untuk maju dalam pencalonan.