Pencitraan, Tabir Asap Atau Strategi Politik Menjelang 2019?
2 Februari 2018
Jelang pemilu, semua pemimpin berusaha melakukan berbagai upaya peningkatan pencitraan demi meningkatkan elektibilitasnya, tak terkecuali Presiden Joko "Jokowi” Widodo. Simak ulasan Julia Suryakusuma.
Iklan
Umum diketahui, semua pemimpin yang menghadapi pemilihan umum, akan berusaha melakukan berbagai upaya peningkatan pencitraan demi meningkatkan elektibilitasnya, tak terkecuali Presiden Joko "Jokowi” Widodo. Wajar sebenarnya. Namun belakangan ini santer suara-suara yang mengatakan bahwa pencitraan ini dilakukan berlebihan, sehingga mengorbankan kinerjanya.
Beberapa pollster melakukan pengumpulan suara yang menunjukkan peringkat kepuasan Jokowi terus mengalami penurunan hingga sekitar 35-40 persen saja. Padahal di puncak popularitasnya, mencapai 69 persen, bahkan pada tahun 2016 dalam sebuah laporan Bloomberg, Jokowi dinilai sebagai pemimpin terbaik se-Asia.
Namun peringkat popularitas pemimpin pasti akan turun-naik, tergantung penilaian dan persepsi pemilih. Yang bisa dijadikan patokan kinerja adalah janji semasa kampanye. Jokowi-JK (Jusuf Kalla), ketika itu membuat 66 janji yang cukup muluk. Mari kita lihat kasus yang berkaitan dengan beberapa janjinya.
Terlewatkan oleh Jokowi
Menjaga paham Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI): ketika jemaat gereja Yasmin demo di depan istana, Jokowi tak mau menemui mereka. Mereka sudah menang di pengadilan, namun tetap tidak bisa membuka gereja mereka yang disegel. Para pengritik mengatakan ini bukan hanya bertentangan dengan paham NKRI tapi juga denganPancasila dan UUD 45.
Indonesia sebagai negara maritim: para pengritik mengatakan, terkait proyek reklamasi yang begitu dekat lokasinya dengan Istana Negara saja, Jokowi membisu. Padahal reklamasi ini akan merugikan rakyat serta kebudayaan lokal, belum lagi kerusakan ekologis yang bukan saja akan membahayakan wilayah itu, melainkan juga Jakarta secara keseluruhan.
Membangun Indonesia dari pinggir, yaitu dari desa. Namun dalam kasus pabrik semen versus petani dan lingkungan hidup di Pegunungan Kendeng, kebisuan Jokowi pun terdengar nyaring, dan pabrik semen akhirnya tetap berdiri meskipun petani menang di pengadilan.
Jokowi di Tengah Pemimpin Dunia
Pertemuan APEC di Beijing menjadi kesempatan pertama Joko Widodo berkiprah di panggung internasional. Di tengah konflik antara Vladimir Putin dan Barack Obama, Shinjo Abe dan Xi Jinping, ia masih mampu mencuri perhatian
Foto: picture-alliance/dpa/Sergei Ilnitsky
Penampilan Perdana di Panggung Internasional
Kehadiran Presiden RI Joko Widodo di pertemuan puncak Asian Pacific Economic Cooperation di Beijing, Cina, termasuk yang paling ditunggu. Untuk pertama kalinya kecakapan diplomasi Jokowi diuji di panggung internasional. Selain kepala negara dan pemerintahan, ia juga bertemu dengan nama-nama tersohor dari dunia bisnis.
Foto: Reuters/K. Lamarque
Antara Obama dan Putin...
Padahal pertemuan APEC kali ini penuh bumbu konflik. Presiden AS, Barack Obama misalnya untuk pertama kali bertatap muka dengan Presiden Rusia Vladimir Putin sejak konflik meletus di Ukraina Timur.
Foto: Reuters
Atau Shinzo Abe dan Xi Jinping
Sumber prahara lain adalah pertemuan PM Jepang Abe dan tuan rumah Xi Jinping. Ketegangan antara Jepang dan Cina terkait kepulauan Diaoyu alias Senkaku terasa pada pertemuan kedua kepala pemerintahan tersebut. Di antara dua konflik besar itulah Joko Widodo mencari tempat di atas panggung internasional pertamanya sejak terpilih.
Foto: Reuters
Mencuri Perhatian
Kendati dirundung konflik yang mengintai, pemimpin dunia tetap menyempatkan diri bertemu dengan presiden baru Indonesia itu. Bersama Cina, Rusia, Vietnam dan beberapa negara lain, Jokowi berbicara mengenai investasi di bidang kelautan. Sementara Barack Obama lebih banyak mengangkat isu keamanan dan terorisme.
Foto: Reuters/Kevin Lamarque
"Ini kesempatan buat kalian"
Tanpa basa basi Jokowi mengundang dunia bisnis agar berinvestasi di Indonesia. Pidatonya yang dalam bahasa Inggris sederhana tanpa naskah itu mendapat pujian dari berbagai pihak. Antara lain karena ia berjanji mengentaskan masalah terbesar yang dihadapi para investor asing di Indonesia. "Ini kesempatan buat kalian," ujarnya.
Foto: picture-alliance/Photoshot
Selanjutnya di Brisbane
Setelah melawat ke Cina, Jokowi dijadwalkan akan menapaki panggung diplomasi lain di Australia, yakni pada pertemuan negara-negara G20 di Brisbane. Serupa dengan APEC 2014, agenda utama pertemuan G20 yang melibatkan AS, Rusia, Jerman dan Jepang itu akan lebih banyak membahas program pemulihan ekonomi, investasi di bidang infrastruktur dan masalah keamanan regional.
Foto: picture-alliance/dpa/Sergei Ilnitsky
6 foto1 | 6
Revolusi fisik atau mental?
Jokowi menjanjikan revolusi mental, namun akhirnya yang didahulukan adalah "revolusi fisik” – mengejar penyelesaian berbagai proyek infrastruktur sebelum habis masa tugasnya sebagai presiden periode 2014-2019. Kalau dibangun tergesa-gesa, bukankah tidak mengandung risiko ambruk seperti yang terjadi di Gedung Bursa Efek (BEJ) baru-baru ini dan juga robohnya beberapa infrastruktur jalan tol dan jembatan tahun yang lalu?
Tak mengherankan kritik mengalir deras, bahwa Jokowi yang mengaku wong ndeso initidak lagi berpihak pada rakyat kecil, bahkan dengan Undang-undang Ormas,yang bisa membubarkan ormas yang “anti-Pancasila” begitu saja, bahwa ia menjadi diktator. Belum lagi pengangguran semakin banyak, penegakan hukum belum adil, kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) belum tertangani dengan baik, serta pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan masih jauh dari memuaskan.
Siapa Calon Pemimpin Indonesia?
Hasil survey Saiful Mujani Research Centre belum banyak mengubah peta elektabilitas tokoh politik di Indonesia. Siapa saja yang berpeluang maju ke pemilu kepresidenan 2019.
Foto: Imago/Zumapress
1. Joko Widodo
Presiden Joko Widodo kokoh bertengger di puncak elektabilitas dengan 38,9% suara. Popularitas presiden saat ini "cendrung meningkat," kata Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan.
Foto: Reuters/Beawiharta
2. Prabowo Subianto
Untuk sosok yang sering absen dari kancah politik praktis pasca pemilu, nama Prabowo masih mampu menarik minat pemilih. Sebanyak 12% responden mengaku akan memilih mantan Pangkostrad itu sebagai presiden RI.
Foto: Reuters
3. Anies Baswedan
Selain Jokowi dan Prabowo, nama-nama lain yang muncul dalam survey belum mendapat banyak dukungan. Gubernur terpilih DKI Jakarta, Anies Baswedan, misalnya hanya mendapat 0,9%.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Agung Rajasa
4. Basuki Tjahaja Purnama
Nasib serupa dialami bekas Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama. Sosok yang kini mendekam di penjara lantaran kasus penistaan agama itu memperoleh 0,8% suara. Jumlah yang sama juga didapat Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Foto: Getty Images/T. Syuflana
5. Hary Tanoesoedibjo
Pemilik grup MNC ini mengubah haluan politiknya setelah terbelit kasus hukum berupa dugaan ancaman terhadap Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto. Hary yang tadinya beroposisi, tiba-tiba merapat ke kubu Presiden Joko Widodo. Saat inielektabilitasnya bertengger di kisaran 0,6%
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
6. Agus Yudhoyono
Meski diusung sebagai calon pemimpin Indonesia masa depan, saat ini popularitas Agus Yudhoyono masih kalah dibanding ayahnya Soesilo Bambang Yudhoyono yang memperpoleh 1,9% suara. Agus yang mengorbankan karir di TNI demi berpolitik hanya mendapat 0,3% dukungan.
Foto: Getty Images/AFP/M. Naamani
7. Gatot Nurmantyo
Jumlah serupa didapat Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang belakangan terkesan berusaha membangun basis dukungan. Nurmantyo hanya mendapat 0,3%. Meski begitu tingkat elektabilitas tokoh-tokoh ini akan banyak berubah jika bursa pencalonan sudah mulai dibuka, klaim SMRC.
Foto: Imago/Zumapress
7 foto1 | 7
Ada beberapa hal yang dianggap tabir asap, misalnya kasus Freeport. Tahun lalu, perusahaan pertambangan Amerika itu dipaksa melepaskan 51 persen sahamnya kepada anak perusahaan lokal. Kesepakatan ini dianggap kemenangan besar untuk Indonesia, maka bendera nasionalis Indonesia dapat dikibarkan bukan? Dalam kenyataannya, kontrak Freeport tetap diperpanjang – jadi, tetap anasionalis - dan rakyat Papuapun tetap saja menderita.
Tak bisa dipungkiri, di dalam perpolitikan Indonesia, Islam adalah faktor yang menentukan. Ini nyata dengan dikalahkannya Basuki "Ahok” Tjahaja Purnama dalam pilkada DKI tahun lalu melawan Anies Baswedan. Bahkan Ahok dipenjara karena tuduhan penghinaan terhadap Islam yang "terbukti” di pengadilan, tapi tidak di mata banyak ulama terpandang di Indonesia dan mungkin sebagian besar warga Jakarta.
Tak heran jika pencitraan Jokowi banyak diarahkan kepada umat Islam karena kartu Islam-lah salah satu kartu utama yang akan digunakan untuk menjegalnya di pilpres 2019.
Jokowi Jadi Presiden Kedua yang Kunjungi Afghanistan Setelah Sukarno
Setelah 57 tahun, Presiden Republik Indonesia kembali melawat ke Afghanistan.
Foto: Bey Machmudin
Setelah Sukarno
Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana tiba di Bandara Internasional Hamid Karzai, Kabul, Afghanistan, Senin 29 Januari 2018 pukul 11.40 waktu setempat. Kunjungan Kenegaraan Presiden Jokowi ke Afghanistan merupakan kunjungan kedua Presiden Republik Indonesia ke Afghanistan setelah Kunjungan Kenegaraan Presiden Sukarno pada tahun 1961.
Foto: Bey Machmudin
Hujan salju
Udara dingin bahkan hujan salju yang selimuti Kabul tidak mengurangi hangatnya penyambutan yang dilakukan pemerintah Afghanistan. Pejabat Afghanistan yang menyambut: Wakil Presiden Sarwar Danish, Menteri Luar Negeri Salahudin Rabbani, Menteri Keuangan Eklil Hakimi, Dubes Afghanistan untuk Indonesia Roya Rahmani, Gubernur Kabul Mohammad Yaqoub Haidan, Walikota Kabul Abdullah Habibzal.
Foto: Bey Machmudin
Kunjungan pasca teror
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani mengucapkan terima kasih kepada pemimpin Indonesia atas kunjungannya dan belasungkawa yang diungkapkan Widodo untuk korban rangkaian serangan di Kabul sebelum kedatangannya.
Foto: Bey Machmudin
Soal keamanan
Joko Widodo mengadakan pembicaraan dengan para pejabat tinggi tingkat tinggi lainnya di Afghanistan dan membahas masalah bilateral. Ghani mengatakan bahwa dia berharap Afghanistan dapat memanfaatkan pengalaman Indonesia dalam mendapatkan dukungan para ulama untuk menghadapi ekstremisme.
Foto: Bey Machmudin
Konflik berkepanjangan
Afghanistan dililt konflik berkepanjangan. Ledakan bom di penghujung Januari ini bahkan menewaskan lebih dari 100 orang. Baru-baru ini delegasi Dewan Perdamaian Tinggi Afganistan, yang bertugas mempromosikan upaya perdamaian dengan Taliban dan kelompok gerilyawan lainnya, melakukan perjalanan ke Indonesia. Indonesia menegaskan kembali dukungan terhadap proses perdamaian Afghanistan.
Perjalanan Jokowi ke beberapa negara Islam seperti Afghanistan, Iran, Suriah dan tahun lalu ke Saudi Arabia misalnya, dan tentunya pembelaannya terhadap Palestina dan Rohingya adalah salah satu cara Jokowi merayu pemilih Islam, meski jelas bukan satu-satunya alasan dan bukan semata-mata pencitraan . Dalam lawatannya terakhir ke Afghanistan, ia pun meneguhkan keinginannya agar Indonesia jadi tuan rumah panel ulama internasional.
Pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di Depok adalah proyek pencitraan lainnya untuk umat Islam. Proyek ini dikritik karena sudah ada 378 perguruan tinggi Islam di seluruh Indonesia dan di Depok sendiri terdapat 12 perguruan tinggi. Bukankah Jokowi menganjurkan penghematan? Dikhawatirkan juga bahwa situs bersejarah Rumah Cimanggis yang terletak di lahan dimana UIII akan dibangun, akan dirubuhkan untuk mendirikan universitas tersebut. Jika terjadi, maka warisan sejarah menjadi korban pencitraan.
Memang Jokowi berada di dalam posisi yang sulit. Tak mudah memimpin negara Indonesia yang begitu majemuk dengan berbagai kepentingan politik dan kekuasaan yang berbeda. "Kesatuan” Indonesia adalah sesuatu yang membutuhkan pengelolaan yang terus menerus, apalagi kelompok ABJ (Asal Bukan Jokowi) akan menggunakan kampanye yang sekotor atau seabsurd apapun untuk menjatuhkannya. Ketika pilpres 2014 saja Jokowi dituduh PKI lah, Cina lah, bukan Islam lah dan berbagai kampanye hitam lainnya.
Bantuan Indonesia bagi Rohingya
Rabu 13 September, Indonesia kirim bantuan tahap pertama bagi warga Rohingya yang berada di daerah perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh. Bantuan berikutnya akan menyusul pekan-pekan mendatang.
Foto: Biro Pers Setpres
Presiden Lepas Bantuan Kemanusiaan
Presiden Joko Widodo berbicang sejenak tentang masalah pengiriman bantuan yang dibawa oleh pesawat milik Angkatan Udara Indonesia, dari bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, 13 September 2017.
Foto: Biro Pers Setpres
Ditujukan Agar Secepat Mungkin Diterima
Barang bantuan diberangkatkan dengan menggunakan empat pesawat Hercules. Berbeda dengan bantuan lain yang sudah pernah diberikan Indonesia bagi Rohingya akhir tahun lalu, yang dibawa dengan kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Foto: Biro Pers Setpres
Membawa Barang Yang Diperlukan
Dalam empat pesawat Hercules diangkut beras, makanan siap saji, family kit, tangki air, tenda pengungsi, pakaian anak dan selimut. Demikian dikatakan Presiden Joko Widodo saat melepas keberangkatan pesawat.
Foto: Biro Pers Setpres
Mendekati Lokasi Pengungsi
Presiden mengatakan juga, diharapkan bantuan bisa dibawa hingga sedekat mungkin dengan pesawat ke lokasi tempat pengungsi berada di perbatasan antara Bangladesh dan Myanmar. Dari pesawat barang bantuan akan diangkut dengan truk.
Foto: Biro Pers Setpres
Sokongan Semua Pihak
Saat melepas bantuan, Presiden didampingi Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Kepala Staf TNI AU Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala BNPB Willem Rampangilei. (Penulis: ml/hp)
Foto: Biro Pers Setpres
5 foto1 | 5
Bisa dikatakan Jokowi menghadapi buah simalakama. Saya tak ragu sebenarnya bahwa nuraninya sangat ingin memenuhi janji-janji yang dibuatnya di awal kepresidenannya. Sering dikatakan "politics is the art of compromise”, bahwa politik adalah mengenai menegosiasikan konsensus dan kerjasama di antara berbagai faksi.
Apakah Jokowi telah melakukan kompromi yang terlalu banyak dan mendasar? Nanti di tahun 2019 akan terbukti apakah pencitraan yang dilakukannya sekarang harus dibayar dengan kekalahan. Semoga tidak, karena dengan segala cacatnya, Jokowi masih merupakan pilihan presiden terbaik bagi Indonesia. Siapa tahu di periode kedua, lepas dari tekanan pilpres, ia dapat lebih leluasa memenuhi janji-janjinya.
Penulis: Julia Suryakusuma (ap/vlz)
Pengamat sosial-politik, penulis, kolumnis, dan intelektual publik Indonesia yang membahas berbagai isu sosial, politik, budaya, agama, gender, seksualitas dan lingkungan hidup. Karyanya yang dianggap paling berpengaruh adalah "State Ibuisme/Ibuisme Negara". Ia juga menulis beberapa buku lainnya, yang terakhir adalah "Julia's Jihad" (2013), antologi kolomnya di harian The Jakarta Post.
@JihadJulia
Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Catatan 3 Tahun Kepemimpinan Jokowi
Sebanyak 68% penduduk mengaku puas atas kinerja Joko Widodo. Namun setelah tiga tahun berkuasa, catatan kepemimpinan Jokowi banyak menyisakan pekerjaan rumah yang belum dituntaskan, terutama masalah HAM.
Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
Terrorisme
Pemerintah mengklaim sebanyak 999 eks-jihadis berhasil mengikuti program deradikalisasi. Sejumlah pengamat juga menghargai satuan anti teror Densus 88 yang kini lebih sering menangkap terduga teroris, dan tidak lagi menembak di tempat. Pendekatan lunak ala Indonesia juga mengundang pujian dunia. Tantangan terbesar adalah RUU Anti Terorisme yang bakal melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme.
Foto: Reuters/W. Putro/Antara Foto
Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur sejak awal menjadi jurus pamungkas Jokowi. Berbagai proyek yang tadinya mangkrak kembali dihidupkan, antara lain jalan Trans-Papua, infrastruktur kelistrikan berkapasitas 35.000 megawatt yang baru tuntas 40% dan transportasi. Di bawah pemerintahannya anggaran infrastruktur digandakan dari 177 triliun Rupiah pada 2014 menjadi 401 triliun untuk tahun anggaran 2017.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Demokrasi
Indeks demokrasi Indonesia banyak menurun di era Jokowi. Pemerintah berkilah, berlangsungnya pilkada ikut mempengaruhi peringkat Indonesia. Sejumlah pengamat menyoroti wacana Ambang Batas Kepresidenan sebesar 20% dan Perppu Ormas yang dinilai bermasalah. Selain itu Indeks Kebebasan Pers selama tiga tahun terakhir juga mencatat kemerdekaan media di Indonesia cenedrung berjalan di tempat.
Foto: picture alliance/abaca/J. Tarigan
Intoleransi
Ujaran kebencian dan kabar hoax menemani kepresidenan Jokowi sejak Pemilu 2014 dan memuncak pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Sejak itu dia mulai aktif memberangus media-media hoax, mengeluarkan Perppu yang membidik organisasi intoleran seperti HTI, menggandeng Facebook dan Twitter buat menghalau fitnah dan membentuk unit anti intoleransi.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Hubungan Internasional
Sejauh ini Istana Negara banyak menitikberatkan kerjasama internasional untuk membantu program pembangunan di dalam negeri seperti diplomasi maritim. Namun tantangan terbesar Indonesia adalah menjadi poros penyeimbang antara kekuatan regional Cina dan negara ASEAN, terutama menyangkut konflik Laut Cina Selatan.
Foto: Reuters/R. A. Tongo
Hak Azasi Manusia
Ada masanya ketika Jokowi menggariskan penuntasan pelanggaran HAM sebagai prioritas utama. Namun cita-cita tersebut menyurut seiring berjalannya roda pemerintahan. RUU Penyiaran misalnya mendiskriminasi kaum minoritas seksual. Sementara rekonsiliasi pembantaian 1965 cendrung berjalan di tempat dan penggunaan hukuman mati yang masih marak menjadi catatan hitam pemerintahan Jokowi.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Ekonomi
Banyak hal positif yang dicatat dari pemerintahan Joko Widodo di bidang ekonomi, meski tidak membuahkan target pertumbuhan yang dipatok 7%. Selain 16 paket kebijakan, pemerintah juga dinilai sukses meningkatan pemasukan pajak, memperbaiki kemudahan berbisnis, rating investasi dan mempertahankan inflasi. Namun begitu rendahnya konsumsi domestik menjadi catatan muram perekonomian Indonesia.
Foto: Reuters
Lingkungan
Konflik agraria yang kian meruncing membutuhkan reformasi untuk mendamaikan kebijakan lingkungan, tanah adat dan kebutuhan industri. Tahun 2016 saja pemerintah mencatat 400 konflik yang melibatkan 1,2 juta hektar lahan, kebanyakan akibat ekspansi perkebunan. Reformasi agraria masih menjadi agenda besar Indonesia, terutama menyangkut penanggulangan perubahan iklim yang kian mendesak.