Presiden Joko Widodo mengusulkan kastrasi sebagai cara jitu menjawab masalah pedofilia di Indonesia. Para aktivis anak menyambut baik sanksi pengebirian sebagai solusi yang tepat.
Iklan
Presiden Joko Widodo hari Selasa (20/10/15) setuju sanksi hukum berupa kastrasi atau pengebirian untuk pelaku Pedofilia. Pengebirian itu akan dilakukan secara kimiawi dengan obat-obat khusus. Kejaksaan Agung menyebutkan, pengebirian secara kimia adalah dengan cara menyuntikkan hormon wanita kepada pelaku pria, sehingga gairah seksnya turun.
"Ini harus betul-betul nyata, konkrit serta terlihat," kata Presiden Jokowi dalam pengantar rapat terbatas tentang pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan terhadap anak di Kantor Kepresidenan di Jakarta.
Aktivis hak-hak anak menyambut baik rencana pemerintah Indonesia untuk menggunakan pengebirian kimia sebagai sanksi hukum pada pelaku pedofilia.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait menyatakan:"Indonesia sedang menghadapi darurat pelecehan anak."
"Anak yang jadi korban kasus pelecehan seksual terus meningkat, sementara kami tidak memiliki perlindungan anak yang tepat," tambahnya.
Data pemerintah Indonesia menunjukkan, kasus kekerasan terhadap anak melonjak dari 2.178 kasus pada 2011 menjadi 5.066 kasus pada tahun 2014.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, presiden mendukung pengebirian sebagai bentuk hukuman selain sanksi penjara.
Dia menambahkan, presiden segera akan menerbitkan peraturan yang memuat sanksi pengebirian kimia itu.
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan, pengebirian kimia bisa dilakukan dengan menyuntikkan hormon wanita untuk mengurangi gairah seks dari pelaku.
Di bawah Undang Undang Perlindungan Anak dari tahun 2002, pelanggaran seks terhadap anak-anak diancam sanksi hukum 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp. 300 juta.
Kekerasan terhadap Anak
Jumlah kekerasan terhadap anak-anak di Indonesia mengkhawatirkan. Sebagian terjadi di sekolah-sekolah. Memang sudah ada upaya penanganan tindak kriminal tersebut, tetapi kendala pelaksanaannya banyak.
Foto: picture alliance/abaca
Tujuh dari 10 Anak Alami Kekerasan
Menurut organisasi Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW), tujuh dari 10 anak di Asia alami kekerasan di sekolah. Situasi anak Indonesia sangat mengkhawatirkan, sekitar 84% alami kekerasan. Kekerasan Yang terjadi berupa kekerasan fisik, seksual, emosional dan ancaman kekerasan oleh guru, pegawai sekolah, antar murid dan dari anggota keluarga.
Foto: Reuters/B. Yip
Belajar tanpa Ancaman
Menurut pakar komunikasi Irsyad Hadi dari Plan International, laporan tersebut didasari riset yang melibatkan 1.742 murid, perempuan dan laki-laki, usia antara 12 dan 15 dari 30 SMP negeri di Jakarta, Serang dan Banten, dari Januari sampai Maret 2014. Mark Pierce dari Plan International seksi Asia mengatakan, tiap anak punya hak atas pendidikan yang bebas kekerasan dan ancaman.
Foto: picture alliance/Robert Harding World Imagery
Tidak Anggap Kekerasan Salah
Salah satu fakta menyedihkan yang juga disampaikan oleh Pierce dari Plan International: anak-anak kerap tidak melaporkan kekerasan yang mereka alami. Salah satu alasannya adalah karena merasa takut. Tapi sering juga karena mereka tidak menganggap kekerasan yang mereka alami sebagai sesuatu yang salah.
Foto: picture alliance/AP Photo/A. Nath
Laporan Tidak Sesuai Kenyataan
Sebagai contoh dari yang disampaikan Pierce: 339 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di Provinsi Gorontalo dalam rentang waktu 2013 hingga 2015. Wakil Gubernur Gorontalo Idris Rahim mengatakan, angka tersebut belum mencerminkan kenyataan di lapangan, karena banyak kasus tak dilaporkan. Masyarakat belum sepenuhnya pahami dampak kekerasan terhadap anak, kata Idris Rahim.
Foto: Fotolia/Gina Sanders
Takut Tekanan
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, mengungkapkan aspek lain: kendati banyak kasus dilaporkan, tidak semua kasus diusut hingga di bawa ke persidangan. Ia menduga, ada tekanan yang dialami korban maupun saksi. "Apalagi, tindak pidana yang melibatkan anak, biasanya dilakukan oleh kelompok atau disebut sebagai kejahatan terorganisir," sambung Haris.