1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

“Jokowi Menghina Presiden!”

Tri Agus S Siswowiharjo19 Agustus 2015

Rencana pemerintah menghidupkan kembali pasal 134 KUHP Sungguh ini merupakan kabar buruk bagi kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat. Oleh: Tri Agus S Siswowiharjo.

Indonesien Wahlen Joko Widodo 09.07.2014
Foto: Adek Berry/AFP/Getty Images

Dua puluh tahun lalu, 1995, saat Indonesia memperingati HUT RI ke 50 atau Tahun Indonesia Emas, saya ditahan dan diadili karena melanggar pasal 134 KUHP: menghina presiden. Sebagai reporter sebuah media alternatif, Kabar dari Pijar (KDP), saya mengutip pernyataan advokad senior Adnan Buyung Nasution, “Negeri ini telah dikacaukan oleh seorang bernama Soeharto”. Saya divonis penjara dua tahun.

Tahun ini, saat Indonesia memperingati HUT RI ke 70, ada rencana dari pemerintah untuk menghidupkan kembali pasal 134 KUHP yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Sungguh ini merupakan kabar buruk bagi kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat.

Tri Agus S SiswowiharjoFoto: privat

Saya tak mengerti mengapa Presiden Joko Widodo menyetujui menghidupkan pasal karet yang telah ‘dimatikan' MK. Pasal ini pada era Soeharto menelan banyak korban. Mereka yang kritis terhadap pemerintah dituduh menghina presiden, antara lain Sri Bintang Pamungkas, Nuku Soleiman, Yeni Rosa Damayanti, dan lain-lain.

Menurut Aliansi Jurnalis Indonesia ((AJI), korban pertama bila pasal ini kembali diberlakukan adalah pers. “Pasal penghinaan kepala negara ini lentur dan bisa ditafsirkan sesuai keinginan penguasa. Bila ada narasumber atau media kritis, dengan mudah, penguasa membungkam,” ucap Suwarjono, Ketua AJI.

Dari Soeharto sampai Jokowi

Setiap presiden tentu punya pengalaman berbeda mengenai penghinaan. Presiden Soeharto menjadikan pasal ini sebagai senjata untuk membungkam suara kritis. Saya, saat itu, menganggap Presiden Soeharto layak “dihina” karena ia dan sistem telah menyatu. Soeharto adalah sistem dan sistem adalah Soeharto. Kata yang biasa dipakai Soeharto kepada mereka yang kritis adalah, “Tak gebug!”

Presiden Abdurrahman Wahid dengan kalimat “Begitu saja kok repot” namun tak begitu bagi organ di bawah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Banser. Saat Gus Dur “dilecehkan” pada sebuah acara di TV, tak lama kemudian stasiun TV tersebut diduduki Banser. Pada era Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga jatuh korban karena pasal 134 ini. Mereka umumnya para wartawan dan aktivis. Meskipun demikian SBY mengaku ribuan kali dihina tapi tak melakukan apa-apa. Presiden Jokowi “sami mawon”. “Sejak saya walikota lalu gubernur, seiap hari saya dihina, kalau saya tuntut, penjara pasti penuh,” ujar Jokowi.

Kenapa Jokowi menghidupkan pasal 134? Siapa sebenarnya yang menghina? Mari kita renungkan. Soeharto dengan arogan mengatakan, “Tak gebug!” Gus Dur dengan sedikit bercanda, “Gitu aja kok repot!' SBY: “Saya prihatin”. Tentu kita berharap Jokowi akan mengatakan, “Aku rapopo”. Kenyataannya pada era Jokowi, setelah sembilan tahun pasal itu mati, malah dihidupkan.

"Saya Jokowi.."

Pada era Soeharto aktivis dan politisi yang “menghina” presiden. Pada era Gus Dur, Megawati dan SBY, aktivis dan awak media yang banyak dituduh “menghina” presiden. Kini di era Jokowi, ada seorang menteri yang banyak dibicarakan “menghina” presiden. Puncaknya, Presiden Jokowi menyetujui menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden. Sesungguhnya yang menghina presiden adalah Presiden Jokowi sendiri.

Jangan sampai terjadi seperti terjadi dalam lelucon berikut ini. Terjadi kebingungan nasional sehubungan rencana menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden yang telah dianulir MK. Masyarakat bingung, penegak hukum bingung, begitu juga pemerintah. Suatu saat terjadi demo besar-besaran menentang rencana pemerintah itu. Terjadi penangkapan di beberapa kota termasuk di Jakarta. Di sebuah rumah tahanan ada tiga orang di dalam satu sel. Orang pertama bertanya ke orang kedua, "Kenapa kamu ditahan?" "Saya menentang Jokowi menghidupkan pasal penghinaan presiden," jawab orang kedua. "Lho kok aneh, saya mendukung Jokowi menghidupkan pasal penghinaan presiden, kok juga ditahan," ujar orang pertama. Kedua orang itu bertanya ke orang ketiga yang duduk di pojok, "Anda siapa, kenapa ditahan di sini?" "Saya Jokowi," jawab orang ketiga.

Dirgahayu Indonesia!

Yogyakarta, 16 Agustus 2015

*Tri Agus S Siswowiharjo, Staf pengajar Prodi Ilmu Komunikasi STPMD "APMD" Yogyakarta