Rencana pemerintah menghidupkan kembali pasal 134 KUHP Sungguh ini merupakan kabar buruk bagi kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat. Oleh: Tri Agus S Siswowiharjo.
Iklan
Dua puluh tahun lalu, 1995, saat Indonesia memperingati HUT RI ke 50 atau Tahun Indonesia Emas, saya ditahan dan diadili karena melanggar pasal 134 KUHP: menghina presiden. Sebagai reporter sebuah media alternatif, Kabar dari Pijar (KDP), saya mengutip pernyataan advokad senior Adnan Buyung Nasution, “Negeri ini telah dikacaukan oleh seorang bernama Soeharto”. Saya divonis penjara dua tahun.
Tahun ini, saat Indonesia memperingati HUT RI ke 70, ada rencana dari pemerintah untuk menghidupkan kembali pasal 134 KUHP yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Sungguh ini merupakan kabar buruk bagi kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat.
Saya tak mengerti mengapa Presiden Joko Widodo menyetujui menghidupkan pasal karet yang telah ‘dimatikan' MK. Pasal ini pada era Soeharto menelan banyak korban. Mereka yang kritis terhadap pemerintah dituduh menghina presiden, antara lain Sri Bintang Pamungkas, Nuku Soleiman, Yeni Rosa Damayanti, dan lain-lain.
Menurut Aliansi Jurnalis Indonesia ((AJI), korban pertama bila pasal ini kembali diberlakukan adalah pers. “Pasal penghinaan kepala negara ini lentur dan bisa ditafsirkan sesuai keinginan penguasa. Bila ada narasumber atau media kritis, dengan mudah, penguasa membungkam,” ucap Suwarjono, Ketua AJI.
Dari Soeharto sampai Jokowi
Setiap presiden tentu punya pengalaman berbeda mengenai penghinaan. Presiden Soeharto menjadikan pasal ini sebagai senjata untuk membungkam suara kritis. Saya, saat itu, menganggap Presiden Soeharto layak “dihina” karena ia dan sistem telah menyatu. Soeharto adalah sistem dan sistem adalah Soeharto. Kata yang biasa dipakai Soeharto kepada mereka yang kritis adalah, “Tak gebug!”
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Presiden Abdurrahman Wahid dengan kalimat “Begitu saja kok repot” namun tak begitu bagi organ di bawah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Banser. Saat Gus Dur “dilecehkan” pada sebuah acara di TV, tak lama kemudian stasiun TV tersebut diduduki Banser. Pada era Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga jatuh korban karena pasal 134 ini. Mereka umumnya para wartawan dan aktivis. Meskipun demikian SBY mengaku ribuan kali dihina tapi tak melakukan apa-apa. Presiden Jokowi “sami mawon”. “Sejak saya walikota lalu gubernur, seiap hari saya dihina, kalau saya tuntut, penjara pasti penuh,” ujar Jokowi.
Kenapa Jokowi menghidupkan pasal 134? Siapa sebenarnya yang menghina? Mari kita renungkan. Soeharto dengan arogan mengatakan, “Tak gebug!” Gus Dur dengan sedikit bercanda, “Gitu aja kok repot!' SBY: “Saya prihatin”. Tentu kita berharap Jokowi akan mengatakan, “Aku rapopo”. Kenyataannya pada era Jokowi, setelah sembilan tahun pasal itu mati, malah dihidupkan.
"Saya Jokowi.."
Pada era Soeharto aktivis dan politisi yang “menghina” presiden. Pada era Gus Dur, Megawati dan SBY, aktivis dan awak media yang banyak dituduh “menghina” presiden. Kini di era Jokowi, ada seorang menteri yang banyak dibicarakan “menghina” presiden. Puncaknya, Presiden Jokowi menyetujui menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden. Sesungguhnya yang menghina presiden adalah Presiden Jokowi sendiri.
Jangan sampai terjadi seperti terjadi dalam lelucon berikut ini. Terjadi kebingungan nasional sehubungan rencana menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden yang telah dianulir MK. Masyarakat bingung, penegak hukum bingung, begitu juga pemerintah. Suatu saat terjadi demo besar-besaran menentang rencana pemerintah itu. Terjadi penangkapan di beberapa kota termasuk di Jakarta. Di sebuah rumah tahanan ada tiga orang di dalam satu sel. Orang pertama bertanya ke orang kedua, "Kenapa kamu ditahan?" "Saya menentang Jokowi menghidupkan pasal penghinaan presiden," jawab orang kedua. "Lho kok aneh, saya mendukung Jokowi menghidupkan pasal penghinaan presiden, kok juga ditahan," ujar orang pertama. Kedua orang itu bertanya ke orang ketiga yang duduk di pojok, "Anda siapa, kenapa ditahan di sini?" "Saya Jokowi," jawab orang ketiga.
Dirgahayu Indonesia!
Yogyakarta, 16 Agustus 2015
*Tri Agus S Siswowiharjo, Staf pengajar Prodi Ilmu Komunikasi STPMD "APMD" Yogyakarta