1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jokowi Perlu Pilih Panglima TNI yang Peduli HAM

A. Kurniawan Ulung
11 Agustus 2021

Menurut Kontras, dari Oktober 2019 hingga September 2020, kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan atau melibatkan anggota TNI mencapai 76 kasus, mayoritas berupa penganiayaan, penembakan, dan intimidasi.

Ilustrasi pasukan TNI
Ilustrasi pasukan TNIFoto: Reuters

Menjelang berakhirnya masa tugas Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Marsekal Hadi Tjahjanto yang akan pensiun pada November 2021, sejumlah pegiat HAM mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memilih panglima baru yang memahami hak asasi manusia (HAM), memiliki rekam jejak yang bersih dari dugaan terlibat kasus pelanggaran HAM, dan berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan anggota-anggotanya di masa lalu.

"Kita berharap panglima TNI yang terpilih akan aktif melakukan promosi tentang pentingnya pemajuan hak asasi manusia," kata Sandrayati Moniaga, Komisioner Komnas HAM, kepada DW Indonesia.

Kekerasan dan pelanggaran HAM oleh aparat masih terjadi

Di masa kepemimpinan Marsekal Hadi Tjahjanto, masih sering terjadi kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan anggota TNI di berbagai wilayah, terutama Papua. Pada 26 Juli 2021, misalnya, dua anggota TNI Angkatan Udara menganiaya seorang penyandang disabilitas di Merauke, Papua.

Pada 30 Juli 2021 di Kabupaten Timor Tengah Utara di Nusa Tenggara Timur, seorang anggota TNI berpangkat kopral dua berinisial EP dari kesatuan Koramil Biboki Selatan diduga melakukan tindakan kekerasan terhadap dua orang pelajar, MJ dan YN, yang masing-masing berusia 15 dan 17 tahun. Berdasarkan laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), EP diduga menganiaya dua pelajar tersebut untuk menegakkan protokol kesehatan.

Sejumlah insiden tersebut menambah panjang daftar kekerasan yang dilakukan aparat di masa pagebluk COVID-19. Pada April 2020 hingga Januari 2021, Kontras mencatat, setidaknya ada 17 peristiwa kekerasan yang melibatkan aparat keamanan, termasuk anggota TNI.

Sejak Oktober 2019 hingga September 2020, jumlah kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh atau melibatkan anggota TNI mencapai 76 kasus, meningkat dari 58 peristiwa di 2018-2019, menurut Kontras. Aksi kekerasan yang paling banyak dilakukan adalah penganiayaan, penembakan, intimidasi, dan penculikan.

Kontraproduktif agenda reformasi keamanan

Fatia Maulidiyanti, koordinator Kontras, berharap bahwa pemerintah memanfaatkan penggantian panglima TNI sebagai momentum untuk memperbaiki kinerja institusi TNI dan mengevaluasi berbagai praktik kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota-anggotanya.

"Yang juga penting ialah bagaimana pemerintah menuntut institusi militer untuk mengedepankan standar-standar hak asasi manusia dan demokrasi. Pemerintah juga perlu meminimalkan potensi terjadinya konflik kepentingan di dalam keterlibatan TNI di ranah-ranah sipil," kata Fatia kepada DW Indonesia.

Menurut Fatia, penunjukan anggota TNI sebagai pemimpin di lembaga-lembaga negara merupakan bukti pelibatan TNI di ranah sipil, dan hal ini kontraproduktif dengan agenda reformasi keamanan di Indonesia.

M. Busyrol Fuad, manajer advokasi Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), berpendapat bahwa sosok ideal yang Presiden Jokowi perlu tunjuk sebagai pengganti Hadi Tjahjanto ialah orang yang berkomitmen melanjutkan agenda reformasi militer agar TNI menjadi institusi yang lebih profesional. Busyrol berpendapat bahwa calon panglima TNI harus berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu agar kasus serupa tidak terulang.

"ELSAM juga mendesak calon panglima TNI yang baru untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam tugas dan fungsinya," kata Busyrol kepada DW Indonesia.

Sandrayati dari Komnas HAM mengatakan bahwa jika berkomitmen menghormati HAM, panglima yang baru perlu menyampaikan komitmen tersebut secara terbuka kepada masyarakat. Busyrol sependapat dengan Sandrayati. Namun menurutnya, yang lebih penting ialah sesegera mungkin membuktikan komitmen tersebut dengan aksi nyata, seperti menarik pasukan-pasukannya dari Papua.

Pahami etnografi di wilayah konflik

Sementara Dr. Adriana Elisabeth, dosen hubungan internasional dan resolusi konflik di Universitas Pelita Harapan yang selama ini intens meneliti Papua, mengingatkan Jokowi bahwa TNI terlibat di dalam sejarah kekerasan di Papua, dan sebagian masyarakat Papua masih belum bisa melupakan pengalaman kelam tersebut.

"Desakan agar TNI menarik pasukannya dari Papua jelas berbasis pada pengalaman kekerasan yang dialami hampir sebagian masyarakat Papua di wilayah-wilayah konflik.

Tetapi, (jika pasukan ditarik), harus ada jaminan dari pemerintah daerah bahwa tidak akan terjadi lagi kekerasan yang dilakukan (oleh kelompok-kelompok pemberontak)," ujar Adriana.

Oleh karena itu, Adriana berpendapat bahwa Jokowi perlu memilih calon panglima yang betul-betul memahami berbagai pendekatan untuk merangkul dan mendekati masyarakat di daerah konflik seperti Papua. 

"Menurut saya, tidak cukup hanya dibekali pemahaman pentingnya HAM. Tetapi lebih penting ialah sosok tersebut memahami etnografi di wilayah konflik dan memahami cara berinteraksi dengan masyarakat yang berbeda secara kultur," kata Adriana kepada DW Indonesia.

Perlunya keberpihakan terhadap hak-hak perempuan

Selain peduli terhadap penegakan HAM pada umumnya, Dr. Bahrul Fuad yang menjabat sebagai komisioner di Komnas Perempuan berharap bahwa calon panglima TNI punya visi lebih kuat dalam melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan.

"Perempuan sangat rentan mengalami kekerasan. Oleh karena itu, visi tersebut harus dimiliki oleh panglima TNI supaya pasukan-pasukannya memiliki kesadaran tentang pentingnya hak-hak perempuan," kata Bahrul kepada DW Indonesia.

Menurut catatan Komnas Perempuan, masih sering terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan yang melibatkan aparat TNI, salah satunya adalah tes keperawanan dalam proses rekrutmen prajurit perempuan.

Bahrul mengapresiasi pernyataan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa melalui kanal Youtube Angkatan Darat yang mengindikasikan bahwa ia menolak tes keperawanan dilanjutkan. Walakin, Komnas Perempuan mendorong Andika untuk secara resmi menghapus tes ini di Angkatan Darat dengan menerbitkan kebijakan tertulis.

"Kita berharap, panglima TNI yang akan baru juga menjadikan kebijakan (penghapusan tes keperawanan) sebagai kebijakan resmi yang didokumentasikan secara tertulis sehingga bisa diikuti oleh ketiga matra (darat, laut, dan udara)," katanya.

Tes keperawanan merupakan bentuk serangan seksual terhadap perempuan karena merendahkan derajat kemanusiaan, tegas Bahrul. Karena itu, apa pun alasannya, praktik ini tidak dapat dibenarkan.

Selain itu, meskipun presiden merupakan Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia dan punya hak prerogatif dalam menunjuk calon panglima TNI, Dr. Adriana Elisabeth dari Universitas Pelita Harapan berpendapat bahwa Jokowi perlu mendengar aspirasi dari aktor nonnegara seperti akademisi, peneliti, dan aktivis.

"Presiden perlu mendengar masukan dari aktor nonnegara karena banyak dari mereka langsung berinteraksi dengan masyarakat di daerah-daerah konflik. Mereka sebetulnya jauh lebih tahu dinamika konflik di lapangan seperti apa," kata Adriana. (ae)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait