Menurut Kontras, dari Oktober 2019 hingga September 2020, kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan atau melibatkan anggota TNI mencapai 76 kasus, mayoritas berupa penganiayaan, penembakan, dan intimidasi.
Iklan
Menjelang berakhirnya masa tugas Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Marsekal Hadi Tjahjanto yang akan pensiun pada November 2021, sejumlah pegiat HAM mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memilih panglima baru yang memahami hak asasi manusia (HAM), memiliki rekam jejak yang bersih dari dugaan terlibat kasus pelanggaran HAM, dan berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan anggota-anggotanya di masa lalu.
"Kita berharap panglima TNI yang terpilih akan aktif melakukan promosi tentang pentingnya pemajuan hak asasi manusia," kata Sandrayati Moniaga, Komisioner Komnas HAM, kepada DW Indonesia.
Kekerasan dan pelanggaran HAM oleh aparat masih terjadi
Di masa kepemimpinan Marsekal Hadi Tjahjanto, masih sering terjadi kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan anggota TNI di berbagai wilayah, terutama Papua. Pada 26 Juli 2021, misalnya, dua anggota TNI Angkatan Udara menganiaya seorang penyandang disabilitas di Merauke, Papua.
Pada 30 Juli 2021 di Kabupaten Timor Tengah Utara di Nusa Tenggara Timur, seorang anggota TNI berpangkat kopral dua berinisial EP dari kesatuan Koramil Biboki Selatan diduga melakukan tindakan kekerasan terhadap dua orang pelajar, MJ dan YN, yang masing-masing berusia 15 dan 17 tahun. Berdasarkan laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), EP diduga menganiaya dua pelajar tersebut untuk menegakkan protokol kesehatan.
Sejumlah insiden tersebut menambah panjang daftar kekerasan yang dilakukan aparat di masa pagebluk COVID-19. Pada April 2020 hingga Januari 2021, Kontras mencatat, setidaknya ada 17 peristiwa kekerasan yang melibatkan aparat keamanan, termasuk anggota TNI.
Sejak Oktober 2019 hingga September 2020, jumlah kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh atau melibatkan anggota TNI mencapai 76 kasus, meningkat dari 58 peristiwa di 2018-2019, menurut Kontras. Aksi kekerasan yang paling banyak dilakukan adalah penganiayaan, penembakan, intimidasi, dan penculikan.
Kontraproduktif agenda reformasi keamanan
Fatia Maulidiyanti, koordinator Kontras, berharap bahwa pemerintah memanfaatkan penggantian panglima TNI sebagai momentum untuk memperbaiki kinerja institusi TNI dan mengevaluasi berbagai praktik kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota-anggotanya.
"Yang juga penting ialah bagaimana pemerintah menuntut institusi militer untuk mengedepankan standar-standar hak asasi manusia dan demokrasi. Pemerintah juga perlu meminimalkan potensi terjadinya konflik kepentingan di dalam keterlibatan TNI di ranah-ranah sipil," kata Fatia kepada DW Indonesia.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
10 foto1 | 10
Menurut Fatia, penunjukan anggota TNI sebagai pemimpin di lembaga-lembaga negara merupakan bukti pelibatan TNI di ranah sipil, dan hal ini kontraproduktif dengan agenda reformasi keamanan di Indonesia.
M. Busyrol Fuad, manajer advokasi Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), berpendapat bahwa sosok ideal yang Presiden Jokowi perlu tunjuk sebagai pengganti Hadi Tjahjanto ialah orang yang berkomitmen melanjutkan agenda reformasi militer agar TNI menjadi institusi yang lebih profesional. Busyrol berpendapat bahwa calon panglima TNI harus berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu agar kasus serupa tidak terulang.
"ELSAM juga mendesak calon panglima TNI yang baru untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam tugas dan fungsinya," kata Busyrol kepada DW Indonesia.
Sandrayati dari Komnas HAM mengatakan bahwa jika berkomitmen menghormati HAM, panglima yang baru perlu menyampaikan komitmen tersebut secara terbuka kepada masyarakat. Busyrol sependapat dengan Sandrayati. Namun menurutnya, yang lebih penting ialah sesegera mungkin membuktikan komitmen tersebut dengan aksi nyata, seperti menarik pasukan-pasukannya dari Papua.
"Desakan agar TNI menarik pasukannya dari Papua jelas berbasis pada pengalaman kekerasan yang dialami hampir sebagian masyarakat Papua di wilayah-wilayah konflik.
Tetapi, (jika pasukan ditarik), harus ada jaminan dari pemerintah daerah bahwa tidak akan terjadi lagi kekerasan yang dilakukan (oleh kelompok-kelompok pemberontak)," ujar Adriana.
Oleh karena itu, Adriana berpendapat bahwa Jokowi perlu memilih calon panglima yang betul-betul memahami berbagai pendekatan untuk merangkul dan mendekati masyarakat di daerah konflik seperti Papua.
"Menurut saya, tidak cukup hanya dibekali pemahaman pentingnya HAM. Tetapi lebih penting ialah sosok tersebut memahami etnografi di wilayah konflik dan memahami cara berinteraksi dengan masyarakat yang berbeda secara kultur," kata Adriana kepada DW Indonesia.
Kopassus Dalam Pusaran Sejarah
Dalam sejarahnya Komando Pasukan Khsusus banyak terlibat menjaga keutuhan NKRI. Tapi di balik segudang prestasi, tersimpan aib yang menyeret Kopassus dalam jerat pelanggaran HAM.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Heroisme Baret Merah
Tidak ada kekuatan tempur lain milik TNI yang memancing imajinasi heroik sekental Kopassus. Sejak didirikan pada 16 April 1952 buat menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan, satuan elit Angkatan Darat ini sudah berulangkali terlibat dalam operasi mengamankan NKRI.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Kecil dan Mematikan
Dalam strukturnya yang unik, Kopassus selalu beroperasi dalam satuan kecil dengan mengandalkan serangan cepat dan mematikan. Pasukan elit ini biasanya melakukan tugas penyusupan, pengintaian, penyerbuan, anti terorisme dan berbagai jenis perang non konvensional lain. Untuk itu setiap prajurit Kopassus dibekali kemampuan tempur yang tinggi.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mendunia Lewat Woyla
Nama Kopassus pertamakali dikenal oleh dunia internasional setelah sukses membebaskan 57 sandera dalam drama pembajakan pesawat Garuda 206 oleh kelompok ekstremis Islam, Komando Jihad, tahun 1981. Sejak saat itu Kopassus sering dilibatkan dalam operasi anti terorisme di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu pasukan elit paling mumpuni di dunia.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Terjun Saat Bencana
Segudang prestasi Kopassus membuat prajurit elit Indonesia itu banyak dilirik negeri jiran untuk mengikuti latihan bersama, di antaranya Myanmar, Brunei dan Filipina. Tapi tidak selamanya Kopassus cuma diterjunkan dalam misi rahasia. Tidak jarang Kopassus ikut membantu penanggulangan bencana alam di Indonesia, seperti banjir, gempa bumi atau bahkan kebakaran hutan.
Foto: picture-alliance/dpa
Nila di Tanah Seroja
Namun begitu Kopassus bukan tanpa dosa. Selama gejolak di Timor Leste misalnya, pasukan elit TNI ini sering dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat. Tahun 1975 lima wartawan Australia diduga tewas ditembak prajurit Kopassus di kota Balibo, Timor Leste. Kasus yang kemudian dikenal dengan sebutan Balibo Five itu kemudian diseret ke ranah hukum dan masih belum menemukan kejelasan hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Pengawal Tahta Penguasa
Jelang runtuhnya ejim Orde Baru, Kopassus mulai terseret arus politik dan perlahan berubah dari alat negara menjadi abdi penguasa. Pasukan elit yang saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto ini antara lain dituding menculik belasan mahasiswa dan menyulut kerusuhan massal pada bulan Mei 1998.
Foto: picture-alliance/dpa
Serambi Berdarah
Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan hingga 12.000 orang tewas selama operasi militer TNI di Aceh antara 1990-1998. Sebagaimana lazimnya, prajurit Kopassus berada di garda terdepan dalam perang melawan Gerakan Aceh Merdeka itu. Sayangnya hingga kini belum ada kelanjutan hukum mengenai kasus pelanggaran HAM di Aceh.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Neraka di Papua
Papua adalah kasus lain yang menyeret Kopasus dalam jerat HAM. Berbagai kasus pembunuhan aktivis lokal dialamatkan pada prajurit baret merah, termasuk diantaranya pembunuhan terhadap Theys Eluay, mantan ketua Presidium Dewan Papua. Tahun 2009 silam organisasi HAM, Human Rights Watch, menerbitkan laporan yang berisikan dugaan pelanggaran HAM terhadap warga sipil oleh Kopassus.
Foto: Getty Images/AFP/A.Berry
8 foto1 | 8
Perlunya keberpihakan terhadap hak-hak perempuan
Selain peduli terhadap penegakan HAM pada umumnya, Dr. Bahrul Fuad yang menjabat sebagai komisioner di Komnas Perempuan berharap bahwa calon panglima TNI punya visi lebih kuat dalam melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan.
"Perempuan sangat rentan mengalami kekerasan. Oleh karena itu, visi tersebut harus dimiliki oleh panglima TNI supaya pasukan-pasukannya memiliki kesadaran tentang pentingnya hak-hak perempuan," kata Bahrul kepada DW Indonesia.
Bahrul mengapresiasi pernyataan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa melalui kanal Youtube Angkatan Darat yang mengindikasikan bahwa ia menolak tes keperawanan dilanjutkan. Walakin, Komnas Perempuan mendorong Andika untuk secara resmi menghapus tes ini di Angkatan Darat dengan menerbitkan kebijakan tertulis.
"Kita berharap, panglima TNI yang akan baru juga menjadikan kebijakan (penghapusan tes keperawanan) sebagai kebijakan resmi yang didokumentasikan secara tertulis sehingga bisa diikuti oleh ketiga matra (darat, laut, dan udara)," katanya.
Tes keperawanan merupakan bentuk serangan seksual terhadap perempuan karena merendahkan derajat kemanusiaan, tegas Bahrul. Karena itu, apa pun alasannya, praktik ini tidak dapat dibenarkan.
Selain itu, meskipun presiden merupakan Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia dan punya hak prerogatif dalam menunjuk calon panglima TNI, Dr. Adriana Elisabeth dari Universitas Pelita Harapan berpendapat bahwa Jokowi perlu mendengar aspirasi dari aktor nonnegara seperti akademisi, peneliti, dan aktivis.
"Presiden perlu mendengar masukan dari aktor nonnegara karena banyak dari mereka langsung berinteraksi dengan masyarakat di daerah-daerah konflik. Mereka sebetulnya jauh lebih tahu dinamika konflik di lapangan seperti apa," kata Adriana. (ae)