1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jokowi, Putra Tulen Demokrasi dan Kontradiksinya

Indonesien Geger Riyanto Autor, Essayist und Aktivist
Geger Riyanto
14 September 2022

Apa masalah dari Jokowi? Tak bekerja keras sebagai seorang presiden? Simak opini Geger Riyanto berikut ini.

Presiden Joko Widodo dalam acara HUT RI.Foto: Tatan Syuflana/AP Photo/picture alliance

Belakangan, satu meme semarak di antara warganet. Meme itu cuma bergambar gorong-gorong terbuka didampingi pesan singkat. "Andai pada saat itu, lubang sialan ini tidak pernah ada,” demikian bunyi pesan singkatnya.

Sebagaimana nyaris semua meme, tidak semua langsung menangkap makna di balik pesan tersebut. Namun, buat mereka yang menangkapnya, meme ini begitu menggelitik. Tanpa pernah ada gorong-gorong terbuka tersebut, Jokowi tidak akan pernah masuk ke dalamnya. Bila Jokowi tidak masuk ke gorong-gorong tersebut, Jokowi mungkin tidak akan pernah dielu-elukan. Bila Jokowi tak dielu-elukan? Kita tidak akan pernah memasuki era kepresidenannya.

Apa masalah dari Jokowi? Tak bekerja keras sebagai seorang presiden? Tentu saja tidak. Hanya saja, setiap presiden bekerja keras. BJ Habibie hanya tidur empat jam ketika menjabat sebagai orang nomor satu negara ini. SBY harus mengikuti acara kenegaraan yang berderet tak habis-habis.

Banyak yang membenci Jokowi lantaran sentimen belaka. Karenanya, saya akan merunut satu-dua dari permasalahan kepresidenannya yang objektif dan tak terbantahkan: ia menumpuk utang untuk proyek-proyek infrastruktur spektakuler. Tak sedikit dari antaranya yang sepertinya tak didahului kajian, prosesnya dipintas secara ajaib, dan akan terus-menerus merugikan negara.

Ia memberikan lampu hijau kepada para pengusaha untuk menggodok kebijakan hukum yang melucuti semua kebijakan hukum masa silam yang melindungi pekerja, petani, nelayan, dan lingkungan. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia menjadi negara polisi. Kini bukan saja negara menganggarkan triliunan untuk memantau aktivitas digital warganya melainkan juga memaksa penyedia jasa elektronik membagi data pribadi penggunanya kepada mereka, selagi bekerja tak lebih baik dari anak 14 tahun dalam melindungi data digital warga.

Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Dielu-elukan pada Masanya

Meme "gorong-gorong Jokowi” segera diduplikasi oleh akun-akun meme lainnya. Dan kalau ini isyarat bahwa ia kocak buat banyak orang, ia kocak karena ironi demokrasi yang ditunjukkannya. Ia mengingatkan bahwa demokrasi merupakan sistem yang pedih: ia semu bak kontes popularitas, belum lagi biayanya yang mahal.

Jokowi bisa disebut anak paling tulen dari demokrasi di Indonesia, bahkan terlepas ia terpilih di pemilihan demokratis keempat kita. Sosok-sosok yang mendahuluinya berangkat dari latar belakang politik yang jelas, entah itu militer, ormas agama, ataupun partai politik. Jokowi? Sampai jadi presiden sekalipun, ia masih disebut sebagai petugas partai dan cuma bisa  tersenyum melihat ketua partainya melontarkan candaan yang elitis dan rasis.

Jokowi adalah presiden pertama yang berasal dari latar belakang non-politik dan kita pernah begitu mencintainya karena itu. Masih ingatkah Anda seperti apa hari-hari kita sebelum Jokowi terpilih menjadi presiden? Media tak henti membuntuti setiap blusukannya. Itu memang karena dahaga kita tak pernah terpuaskan untuk mendapatkan informasi tentangnya. Setiap hal remeh terkait Jokowi menjadi berita yang mengundang pembaca, dari kegemarannya terhadap Metalica hingga kebijakannya melarang topeng monyet. Citra Jokowi yang menelusuri gorong-gorong lahir di masa-masa ini—dan citra ini memang berkontribusi terhadap ketenarannya.

Saya masih ingat dengan tulisan yang beredar tentang Jokowi dan membuat saya meringis. Dalam tulisan itu, sang penulis bilang ia sempat tak sengaja melihat Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta mengawasi perbaikan gorong-gorong, malam-malam, di tengah hujan lebat, tanpa ada media yang mendampingi.

Tulisan itu menggambarkan Jokowi sebagai pemimpin yang amanah. Ia bekerja meski tak ada yang melihat agar warganya tidak kebanjiran. Gambaran itu mendayu-dayu, berlebihan, dan kelewat romantis. Tapi, dalam suasana saat itu, saya rasa nyaris tak ada yang merasa bakal membantah gambaran tersebut, pun kendati pesan itu bisa jadi hoaks karena tidak ada sumber yang bisa mempertanggungjawabkannya.

Anda bisa membayangkan suasana seperti apa yang menjadikan gambaran semacam itu diterima dengan wajar: betapa kesengsemnya warga Indonesia dengan Jokowi saat itu. Selepas sepuluh tahun dipimpin SBY yang selalu menjaga citranya dan berhati-hati, orang-orang menginginkan presiden yang tampak berasal dari rakyat. Jokowi memenuhi stereotipe pemimpin rakyat yang mereka bayangkan.

Jokowi pun menang dengan dramatis sebagai kekuatan demokrasi ketika saat pemilihan tiba. Sebagai seseorang yang awalnya bukan siapa-siapa, ia menantang sederet konglomerat dan politisi veteran. Ia menang atas mereka.

Paradoks Demokrasi

Kita tahu apa yang terjadi selanjutnya terhadap pemimpin rakyat ini. Namun, izinkan saya memperjelas bahwa apa yang dilakukannya adalah kontradiksi: kebijakan dan manuver Jokowi menjadi langkah-langkah mundur dalam demokrasi kita.

Beberapa hal yang sudah disebutkan di atas menjadi contohnya. Contoh lainnya? Banyak, bahkan yang lebih kentara dan vulgar. Pemerintahannya memperkuat peraturan-peraturan yang bakal mencekal kritik dan melemahkan pemberantasan korupsi. Ia menunjuk menteri-menteri pengabdi partai yang korup dan melanggengkan dinasti politik. Ia membuka ruang buat kembalinya dwifungsi TNI yang sudah dihapus reformasi lewat perjuangan mati-matian.

Belum lama ini, sejumlah pejabat, politik, dan ormas tiba-tiba menggadang-gadang Jokowi untuk menjabat tiga periode. Bila ini terjadi, demokrasi di Indonesia mungkin sudah tak terselamatkan lagi. Jokowi sendiri tidak ikut mendukung wacana ini. Namun, beberapa dari antara para pendukung wacana ini jelas-jelas orang-orang terdekat Jokowi. Dan bila orang-orang ini menari serentak, bukankah seharusnya ada pihak yang menabuh simfoninya?

Mungkin betul bila kita bilang, sosok merakyat yang pernah identik dengan gorong-gorong itu kini membawa demokrasi ke gorong-gorong.

Apa pilihan kita dihadapkan dengan situasi semacam ini? Apakah demokrasi perlu kita anggap sebagai sistem yang menghasilkan pemimpin acak, buruk, dan bisa menghancurkan sistem ini sendiri? Boleh saja. Sayangnya, otoritarianisme yang mungkin muncul dari situasi kita sekarang tetap bukan ujung kisah yang lebih baik.

Masih ingatkah Anda ketika kepemimpinan Suharto menciptakan sistem yang paling korup di dunia dan memperdalam krisis ekonomi yang dialami negara ini pada tahun 1999? Bahwa utang-utang asing yang buruk acap dilakukan untuk membesarkan bisnis-bisnis sanak-saudara dan kroni presiden? Persis.

Ia bukan kekacauan yang sejauh itu. Bayangkan kekeraskepalaan pemerintah membangun ibu kota negara baru di tengah-tengah perekonomian yang rentan ini. Bayangkan utang yang berpotensi kian menumpuk karenanya. Kondisi ini bisa jauh lebih buruk bila tidak ada pengawasan politik sama sekali. Sang putra tulen demokrasi kita itu kini sedang mengarahkan kita ke sana.

 

@gegerriy 
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg. 


*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait