Apa yang dialami Presiden Joko Widodo sebagai korban hoaks masih belum ada apa-apanya. Bandingkan dengan korban-korban hoaks lainnya, yang sendirian. Opini Geger Riyanto.
Iklan
Hoaks tak butuh masuk akal. Kurang masuk akal apa lagi, katakanlah, hoaks Jokowi ada di depan D.N. Aidit ketika sang pimpinan PKI berpidato pada September 1955? Bahwa Jokowi merupakan anggota PKI—dan bisa jadi orang dekat pimpinannya—bahkan sebelum presiden kita itu lahir?
Selanjutnya? Jokowi diisukan tak beragama Islam, keluarganya berasal dari Tiongkok, dibekingi Yahudi? Oh, maaf, kabar-kabar tak masuk akal ini juga sudah lama beredar. Beberapa orang masih percaya hingga saat ini bahwa nama asli Jokowi adalah Hubertus Jokowi. Bahwa kabar tentang kepergian hajinya adalah bohong. Bahwa ia diam-diam beragama Nasrani.
Dan presiden kita, nampaknya, sudah naik pitam karenanya.
Namun, presiden kita harus sabar-sabar dengan kepandiran spektakuler semacam itu. Pasalnya, memang, demikianlah watak alami kita. Kita lebih menghargai martabat ketimbang akal sehat. Mereka yang sudah memijakkan kaki di kubu yang berseberangan dengan presiden kita tak akan mungkin diyakinkan dengan fakta-fakta yang gamblang, jelas, bahkan sederhana.
Mereka bukan program komputer yang akan merevisi kekeliruannya sesegera perintah baru dimasukkan.
Presiden kita seyogianya mendengar cerita yang satu ini. Seorang ibu rumah tangga dari Michigan, Marian Keech, suatu hari memperoleh pesan dari Planet Clarion. Dunia akan dihancurkan oleh banjir bandang. Ia harus mempersiapkan satu jemaat kecil berisi orang-orang percaya yang akan diselamatkan oleh piring terbang dari Clarion pada 21 Desember 1954.
Dini hari 21 Desember 1954, tidak ada apa pun yang terjadi tentu saja. Akan tetapi, apa kata Marian Keech dari tengah malam hingga dini hari digentayangi kegusaran lantaran tidak terjadi apa-apa? "Tuhan,” katanya, "menyelamatkan dunia dari kehancuran!” Berkat kelompok kecil mereka yang sudah bersekutu dengan begitu khusyuk sepanjang malam.
Terdengar tidak asing? Tentu saja. Kurang-lebih, hal tersebut juga yang akan kita lakukan bila kita adalah orang tua yang dibuktikan salah oleh anaknya atau guru yang didebat oleh seorang murid yang brilian.
"Bu guru, jawaban saya buat soal matematika ini betul. Rumus yang saya ikuti juga sudah betul. Kenapa saya salah?”
"Kamu tidak pakai rumus yang saya contohkan!”
Namun, presiden kita seyogianya bukan saja perlu mendengar kisah barusan. Ia juga sebaiknya mendengar kisah-kisah bagaimana negara yang dipimpinnya merupakan entitas megah yang harga dirinya berpijak di atas pelbagai bohong-bohongan ringkih.
6 Kabar Hoax yang Menyulut Perang
Ia bisa memicu konflik, menggulingkan pemerintahan dan memecah belah satu bangsa: kabar bohong alias Hoax sejak lama ikut menggerakkan sejarah peradaban manusia. Inilah kisahnya:
Foto: Fotolia
Fenomena Beracun
Kabar bohong kembali mengalami kebangkitan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pada hakikatnya, berita palsu yang marak di media-media sosial saat ini tidak berbeda dengan propaganda hitam yang disebar buat memicu perang dan kebencian pada abad silam. Fenomena itu mengandalkan jumlah massa untuk membumikan sebuah kebohongan. Karena semakin banyak yang percaya, semakin nyata juga sebuah berita
Foto: Fotolia/svort
Oplah Berganda buat Hearst
Pada 1889 pengusaha AS William Hearst ingin agar AS mengobarkan perang terhadap Spanyol di Amerika Selatan. Untuk itu ia memanfaatkan surat kabarnya, Morning Journal, buat menyebar kabar bohong dan menyeret opini publik, antara lain tentang serdadu Spanyol yang menelanjangi perempuan AS. Hearst mengintip peluang bisnis. Karena sejak perang berkecamuk, oplah Morning Journal berlipat ganda
Kebohongan Memicu Perang Dunia
Awal September 1939, Adolf Hitler mengabarkan kepada parlemen Jerman bahwa militer Polandia telah "menembaki tentara Jerman pada pukul 05:45." Ia lalu bersumpah akan membalas dendam. Kebohongan yang memicu Perang Dunia II itu terungkap setelah ketahuan tentara Jerman sendiri yang membunuh pasukan perbatasan Polandia. Karena sejak 1938 Jerman sudah mempersiapkan pendudukan terhadap jirannya itu.
Foto: Getty Images/H.Hoffmann
Kampanye Hitam McNamara
Kementerian Pertahanan AS mengabarkan bahwa kapal perang USS Maddox ditembaki kapal Vietnam Utara pada 2 dan 4 Agustus 1964. Insiden di Teluk Tonkin itu mendorong Kongres AS menerbitkan resolusi yang menjadi landasan hukum buat Presiden Lyndon B. Johnson untuk menyerang Vietnam. Tapi tahun 1995 bekas menhan AS, Robert McNamara, mengakui insiden tersebut adalah berita palsu.
Foto: NATIONAL ARCHIVES/AFP/Getty Images
Kesaksian Palsu Nariyah
Seorang remaja putri Kuwait, Nariyah, bersaksi di depan kongres AS pada 19.10.1990 tentang kebiadaban prajurit Irak yang membunuh puluhan balita. Kesaksian tersebut ikut menyulut Perang Teluk. Belakangan ketahuan Nariyah adalah putri duta besar Kuwait dan kesaksiannya merupakan bagian dari kampanye perusahaan iklan, Hill & Knowlton atas permintaan pemerintah Kuwait.
Foto: picture alliance/CPA Media
Operasi Tapal Besi
April 2000 pemerintah Bulgaria meneruskan laporan dinas rahasia Jerman tentang rencana pembersihan etnis ala Holocaust oleh Serbia terhadap etnis Albania dan Kosovo. Buktinya adalah citra udara dari lokasi kamp konsentrasi. Laporan tersebut menggerakkan NATO untuk melancarkan serangan udara terhadap Serbia. Rencana yang diberi kode "Operasi Tapal Besi" itu tidak pernah terbukti hingga kini.
Foto: Yugoslav Army/RL
Bukti Kosong Powell
Pada 5 Februari 2003 Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell, mengklaim memiliki bukti kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak pada sebuah sidang Dewan Keamanan PBB. Meski tak mendapat mandat PBB, Presiden AS George W. Bush, akhirnya tetap menginvasi Irak buat meruntuhkan rejim Saddam Hussein. Hingga kini senjata biologi dan kimia yang diklaim dimiliki Irak tidak pernah ditemukan.
Foto: AFP/Getty Images
7 foto1 | 7
Tudingan-tudingan PKI untuk membungkam
Tudingan-tudingan PKI untuk membungkam dan memenjarakan para aktivis, katakanlah, di mana yang terakhir menjadi korbannya adalah Budi Pego. Sebagai insan yang sama-sama didakwa PKI, presiden kita tentu insaf PKI sudah hancur lebur. Gelombang pembantaian, penangkapan, dan penyiksaannya di 1965-1969 sudah tidak menyisakan apa pun dari partai ini kecuali ketakutan dan trauma. Kemungkinannya untuk tumbuh kembali sudah patah setelah puluhan tahun Orde Baru melanggengkan negara polisi yang matanya ada di mana-mana.
Akan tetapi, sewaktu-waktu ada orang bersuara miring terhadap tambang, semen, atau pusparagam proyek investasi—yang keuntungannya turut menyejahterakan aparat negara, tentu—PKI tahu-tahu hidup kembali. Orang-orang yang sekadar memperjuangkan haknya sekonyong-konyong saja menjadi orang-orang yang hendak makar dan mengkhianati pemerintahan yang sah.
PKI masih terus hidup. Bukan karena faktanya demikian tetapi karena martabat sebuah lembaga besar yang tak selalu berpihak kepada warganya perlu dijaga dan dipupuk. Ada negara yang merasa harga dirinya dipertaruhkan pada stabilitas dan investasi, dan kebenaran serta kemasukakalan tak lebih dari arak-arakan yang mengiringi harga dirinya itu.
Keterlibatan Asing dalam Pembantaian 1965
Sejarah mencatat pembantaian simpatisan PKI 1965 adalah buah kotor percaturan politik dunia di era Perang Dingin. Bahkan propaganda anti komunis yang disebarkan di Indonesia pun dirancang dan disusun di luar negeri
Foto: Yoichi Robert Okamoto
Dunia Terbelah Dua
Pada dekade 60an dunia didera konflik ideologi antara Amerika dan Uni Sovyet. Akibatnya perang proksi menjalar ke berbagai belahan Bumi. Jerman terbelah dua dan negara berkembang menjadi lahan lain perseteruan dua adidaya tesebut. Tahun 1963 Amerika Serikat gagal menjatuhkan benteng Komunisme di Kuba. Presiden baru AS, Lyndon B. Johnson, lalu beralih menginvasi Vietnam Utara.
Foto: Getty Images/P. Christain
Adu Jotos di Negeri Orang
Bagaimana kedua adidaya menjadikan negara berkembang sebagai catur politik terlihat dari banyaknya perang proksi. Dekade 1960an mencatat sedikitnya 50 konflik semacam itu, yang terbanyak selama Perang Dingin. Uni Sovyet dan Cina terutama getol memasok senjata buat pemberontak komunis. (Gambar: Pemimpin Cina Mao Tse Tung dan penguasa Sovyet Nikita Khrushchev di Beijing, 1959)
Foto: AP
Pemberontakan Komunis Malaysia
Lima tahun sebelum peristiwa G30S, Malaysia telah mendahului lewat perang antara Malayan National Liberation Army yang didukung Partai Komunis dan tentara persemakmuran pimpinan Inggris. Konflik serupa terjadi di Kongo, India, Bolivia dan Kolombia.
Foto: Public Domain
Primadona Perang Dingin
Indonesia adalah medan perang lain antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Mulai dekade 50an, Presiden Soekarno menjadi primadona politik yang diperebutkan oleh Presiden AS John F. Kennedy dan penguasa Uni Sovyet, Nikita Khrushchev. Saat itu Indonesia sudah menjadi salah satu kekuatan terbesar di Asia Tenggara dan mulai diperhitungkan di dunia.
Foto: Central Press/Hulton Archive/Getty Images
Petualangan di Timur
Soekarno yang mulai menua justru merasa Indonesia cukup kuat untuk menanggalkan asas netralitas dan menghidupkan poros Moskow-Beijing-Jakarta. Memasuki dekade 1960an, Uni Sovyet tercatat sebagai pemberi bantuan terbesar ke Indonesia, melebihi negara lain. Petualangan politik itu kemudian ternyata berujung fatal buat Indonesia
Foto: picture-alliance/Everett Collection
Manuver Sukarno
Hubungan Indonesia dan barat remuk setelah Amerika Serikat membantu pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1958. Sebagai balasan Sukarno memerintahkan agresi militer terhadap Malaysia buat menentang pembentukan negara persemakmuran oleh Inggris. Soekarno saat itu beralasan dirinya menentang neo kolonialisme. Realitanya ia menyokong pemberontakan kelompok Komunis Malaysia di Serawak.
Foto: gemeinfrei
Harapan di Tangan Tentara
AS pun mulai berupaya menggembosi Partai Komunis Indonesia. Mereka mengkhawatirkan Soekarno yang mulai tua akan mewariskan tahta kepada PKI. Kendati dimusuhi Jakarta, dinas rahasia barat tetap menjalin kontak dengan TNI yang dianggap satu-satunya harapan memberangus komunisme di Indonesia. Hingga peristiwa 65, AS telah melatih setidaknya 4000 perwira TNI.
Bantuan dari Jerman
Tahun 1971 mingguan Jerman Der Spiegel melaporkan pada 1965 dinas rahasia BND bekerjasama dengan CIA memerangi PKI di Indonesia. BND antara lain membantu TNI dengan memasok senjata api, alat komunikasi dan uang senilai 300.000 DM atau sekitar 700 ribu Euro.
Foto: Imago
Pujian Gehlen buat Suharto
Tahun 1965 BND memiliki seorang agen rahasia, eks perwira NAZI, Rudolf Oebsger-Röder yang menyamar sebagai wartawan di Jakarta. Reinhard Gehlen (gambar), Presiden BND, menulis dalam memoarnya bahwa keberhasilan Suharto "menumpas PKI patut dihargai setinggi tingginya." Gehlen mengaku kehilangan "dua teman dekat" yang ikut dibunuh pada peristiwa G30S, salah satunya Brigjen Donald Isaac Pandjaitan
Foto: picture-alliance/dpa
Propaganda Kiriman Barat
National Security Archive di AS mencatat dinas rahasia Inggris, MI6, yang beroperasi dari Singapura, menggandeng dinas rahasia Australia buat merancang propaganda hitam terhadap PKI, etnis Cina dan Sukarno. MI6 bahkan memanipulasi pemberitaan media asing seperti BBC. Propaganda yang banyak berkaca pada pemberontakan komunis Malaysia itu lalu diadopsi berbagai media Indonesia yang dikuasai TNI
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Daftar Maut Amerika
Tidak banyak kejelasan mengenai keterlibatan langsung dinas rahasia asing terhadap pembantaian simpatisan PKI. Yang jelas sejarah mencatat bagaimana Kedutaan Besar Amerika Serikat menyerahkan daftar berisikan 5000 nama jajaran pimpinan PKI kepada TNI. Dokumen tersebut, kata Robert J. Martens, atase politik di kedubes AS, "adalah bantuan besar buat TNI."
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Darah Disambut Pesta
Di hari-hari pembantaian itu dunia merayakan kehancuran PKI di Indonesia. PM Australia Harold Holt (ki.) berkomentar "dengan dibunuhnya 500 ribu sampai 1 juta simpatisan Komunis, aman untuk berasumsi bahwa reorientasi (di Indonesia) sedang berlangsung." Ironisnya Uni Sovyet cuma bereaksi dingin dengan menyebut pembantaian tersebut sebagai "insiden yang tragis."
Foto: Yoichi Robert Okamoto
12 foto1 | 12
Saya ingin mengatakan kepada presiden kita yang belakangan acap mencak-mencak itu, "Anda tidak sendiri.” Sayangnya, berbeda dengan presiden kita, korban hoaks embusan petugas-petugas negara ini tidak pernah seberuntung beliau. Pilihan orang-orang yang memperjuangkan haknya tersebut cuma dua. Bungkam menerima kampungnya diinjak-injak atau mendekam di balik penjara.
Nasib kelompok minoritas lebih ‘miris‘
Pun, begitu juga dengan kelompok minoritas yang keberadaannya kian dipojokkan dengan hoaks-hoaks yang berlalu lalang. Komunitas Tionghoa dan Nasrani, sebut saja—kurang kejam apa lagi hoaks-hoaks yang membidik Jokowi dengan melekatkan identitas mereka penanda kenistaan?
Kalau di hari-hari ini atau yang akan datang kelompok rentan ini menjadi sasaran pengambinghitaman orang-orang, saya percaya, hoaks semacam punya andil. Tangan para penyusun hoaks tersebut berlumur darah insan-insan rentan ini.
Jadi, buat presiden kita, sabarlah. Apa yang dialaminya masih belum ada apa-apanya. Ia masih punya segudang relawan yang dapat dikerahkan untuk "menggebuk” lawan-lawan Anda. Pun, tak lupa, ia merupakan presiden yang paling populer sejak reformasi.
Bandingkan dengan korban-korban hoaks lainnya. Yang sendirian. Yang tidak akan ditolong siapa-siapa. Yang hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri.
@gegerriy
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.