1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jokowi Adalah Korban Hoaks, Tapi...

Indonesien Geger Riyanto Autor, Essayist und Aktivist
Geger Riyanto
12 Januari 2019

Apa yang dialami Presiden Joko Widodo sebagai korban hoaks masih belum ada apa-apanya. Bandingkan dengan korban-korban hoaks lainnya, yang sendirian. Opini Geger Riyanto.

Foto: Adek Berry/AFP/Getty Images

Hoaks tak butuh masuk akal. Kurang masuk akal apa lagi, katakanlah, hoaks Jokowi ada di depan D.N. Aidit ketika sang pimpinan PKI berpidato pada September 1955? Bahwa Jokowi merupakan anggota PKI—dan bisa jadi orang dekat pimpinannya—bahkan sebelum presiden kita itu lahir?

Selanjutnya? Jokowi diisukan tak beragama Islam, keluarganya berasal dari Tiongkok, dibekingi Yahudi? Oh, maaf, kabar-kabar tak masuk akal ini juga sudah lama beredar. Beberapa orang masih percaya hingga saat ini bahwa nama asli Jokowi adalah Hubertus Jokowi. Bahwa kabar tentang kepergian hajinya adalah bohong. Bahwa ia diam-diam beragama Nasrani.

Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Dan presiden kita, nampaknya, sudah naik pitam karenanya.

Namun, presiden kita harus sabar-sabar dengan kepandiran spektakuler semacam itu. Pasalnya, memang, demikianlah watak alami kita. Kita lebih menghargai martabat ketimbang akal sehat. Mereka yang sudah memijakkan kaki di kubu yang berseberangan dengan presiden kita tak akan mungkin diyakinkan dengan fakta-fakta yang gamblang, jelas, bahkan sederhana.

Mereka bukan program komputer yang akan merevisi kekeliruannya sesegera perintah baru dimasukkan.

Presiden kita seyogianya mendengar cerita yang satu ini. Seorang ibu rumah tangga dari Michigan, Marian Keech, suatu hari memperoleh pesan dari Planet Clarion. Dunia akan dihancurkan oleh banjir bandang. Ia harus mempersiapkan satu jemaat kecil berisi orang-orang percaya yang akan diselamatkan oleh piring terbang dari Clarion pada 21 Desember 1954.

Dini hari 21 Desember 1954, tidak ada apa pun yang terjadi tentu saja. Akan tetapi, apa kata Marian Keech dari tengah malam hingga dini hari digentayangi kegusaran lantaran tidak terjadi apa-apa? "Tuhan,” katanya, "menyelamatkan dunia dari kehancuran!” Berkat kelompok kecil mereka yang sudah bersekutu dengan begitu khusyuk sepanjang malam.

Terdengar tidak asing? Tentu saja. Kurang-lebih, hal tersebut juga yang akan kita lakukan bila kita adalah orang tua yang dibuktikan salah oleh anaknya atau guru yang didebat oleh seorang murid yang brilian.

"Bu guru, jawaban saya buat soal matematika ini betul. Rumus yang saya ikuti juga sudah betul. Kenapa saya salah?”

"Kamu tidak pakai rumus yang saya contohkan!”

Namun, presiden kita seyogianya bukan saja perlu mendengar kisah barusan. Ia juga sebaiknya mendengar kisah-kisah bagaimana negara yang dipimpinnya merupakan entitas megah yang harga dirinya berpijak di atas pelbagai bohong-bohongan ringkih.

Tudingan-tudingan PKI untuk membungkam

Tudingan-tudingan PKI untuk membungkam dan memenjarakan para aktivis, katakanlah, di mana yang terakhir menjadi korbannya adalah Budi Pego. Sebagai insan yang sama-sama didakwa PKI, presiden kita tentu insaf PKI sudah hancur lebur. Gelombang pembantaian, penangkapan, dan penyiksaannya di 1965-1969 sudah tidak menyisakan apa pun dari partai ini kecuali ketakutan dan trauma. Kemungkinannya untuk tumbuh kembali sudah patah setelah puluhan tahun Orde Baru melanggengkan negara polisi yang matanya ada di mana-mana.

Akan tetapi, sewaktu-waktu ada orang bersuara miring terhadap tambang, semen, atau pusparagam proyek investasi—yang keuntungannya turut menyejahterakan aparat negara, tentu—PKI tahu-tahu hidup kembali. Orang-orang yang sekadar memperjuangkan haknya sekonyong-konyong saja menjadi orang-orang yang hendak makar dan mengkhianati pemerintahan yang sah.

PKI masih terus hidup. Bukan karena faktanya demikian tetapi karena martabat sebuah lembaga besar yang tak selalu berpihak kepada warganya perlu dijaga dan dipupuk. Ada negara yang merasa harga dirinya dipertaruhkan pada stabilitas dan investasi, dan kebenaran serta kemasukakalan tak lebih dari arak-arakan yang mengiringi harga dirinya itu.

Saya ingin mengatakan kepada presiden kita yang belakangan acap mencak-mencak itu, "Anda tidak sendiri.” Sayangnya, berbeda dengan presiden kita, korban hoaks embusan petugas-petugas negara ini tidak pernah seberuntung beliau. Pilihan orang-orang yang memperjuangkan haknya tersebut cuma dua. Bungkam menerima kampungnya diinjak-injak atau mendekam di balik penjara.

Nasib kelompok minoritas lebih ‘miris‘

Pun, begitu juga dengan kelompok minoritas yang keberadaannya kian dipojokkan dengan hoaks-hoaks yang berlalu lalang. Komunitas Tionghoa dan Nasrani, sebut saja—kurang kejam apa lagi hoaks-hoaks yang membidik Jokowi dengan melekatkan identitas mereka penanda kenistaan?

Kalau di hari-hari ini atau yang akan datang kelompok rentan ini menjadi sasaran pengambinghitaman orang-orang, saya percaya, hoaks semacam punya andil. Tangan para penyusun hoaks tersebut berlumur darah insan-insan rentan ini.

Jadi, buat presiden kita, sabarlah. Apa yang dialaminya masih belum ada apa-apanya. Ia masih punya segudang relawan yang dapat dikerahkan untuk "menggebuk” lawan-lawan Anda. Pun, tak lupa, ia merupakan presiden yang paling populer sejak reformasi.

Bandingkan dengan korban-korban hoaks lainnya. Yang sendirian. Yang tidak akan ditolong siapa-siapa. Yang hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri.

@gegerriy

Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.