Jumlah pengangguran di RI naik jadi 7,28 juta orang. Di tengah terbatasnya lapangan kerja formal, sektor informal kini menyerap 59,40% tenaga kerja dan jadi tumpuan utama.
Mayoritas tenaga kerja di Indonesia masih bergantung pada sektor informal, yang didominasi pekerjaan tanpa jaminan sosialFoto: Afrianto Silalahi/NurPhoto/picture alliance
Iklan
Badan Pusat Statistik (BPS) membeberkan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. BPS menyebut, persentase pekerjaan informal mengalami kenaikan menjadi sebesar 59,40% pada Februari 2025.
Sementara, persentase pekerjaan informal pada Agustus 2024 sebesar 57,95%.
"Dari sisi ketenagakerjaan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2025 turun dibandingkan Agustus 2024. Jumlah setengah pengangguran di perkotaan pada Februari 2025 meningkat 0,46 juta jiwa dibandingkan Agustus 2024. Share pekerjaan informal di Februari 2025 sebesar 59,40%, meningkat kalau kita bandingkan dengan kondisi Agustus 2024 yang besarnya 57,95%," kata Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono dalam konferensi pers, Jumat (25/7).
Meningkatnya persentase pekerjaan informal terjadi saat jumlah pengangguran meningkat. Untuk diketahui, data pengangguran terakhir diumumkan pada 5 Mei 2025 lalu.
Saat itu, BPS menyampaikan jumlah pengangguran di Indonesia semakin banyak menjadi 7,28 juta orang per Februari 2025. Jumlah tersebut bertambah 83,45 ribu orang dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Pengangguran bertambah, serapan tenaga kerja belum maksimal
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan bertambahnya jumlah pengangguran diikuti oleh adanya tambahan angkatan kerja sebanyak 3,67 juta orang menjadi 153,05 juta orang. Dari jumlah itu, tercatat yang sudah bekerja hanya 145,77 juta orang atau bertambah 3,59 juta orang dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
"Tidak semua terserap di pasar kerja sehingga terdapat jumlah orang yang menganggur sebanyak 7,28 juta orang. Dibandingkan dengan Februari 2024, per Februari 2025 jumlah orang yang menganggur meningkat 83,45 ribu orang yang naik kira-kira 1,11%," kata Amalia dalam konferensi pers, Senin (5/5).
Jumlah penganggur sebanyak 7,28 juta orang itu setara dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,76% atau lebih rendah jika dibandingkan Februari 2024 yang sebesar 4,82%. Penurunan itu utamanya terjadi pada TPT perempuan.
"Sedangkan TPT laki-laki mengalami peningkatan sebesar 0,02% basis poin. Penurunan TPT konsisten terjadi di wilayah perkotaan maupun pedesaan," beber Amalia.
Bertani daripada Menganggur
Setelah kesulitan mendapat pekerjaan kerah putih, semakin banyak generasi muda Kenya yang berpendidikan memilih bertani. Mereka melawan tren muda-mudi di Afrika yang menolak hidup di desa dan memilih pindah ke perkotaan.
Foto: Jeroen van Loon
Berpindah Karier
Francis Kimani yang berusia 30 tahun (kanan) lulus perguruan tinggi untuk menjadi seorang guru sejarah, namun gagal mendapat pekerjaan. Kini ia mengelola peternakan yang dihuni ratusan sapi, kambing dan domba.
Foto: J. van Loon
Pemasukan Lebih sebagai Petani
Dari menjual daging dan kulit hewan ternak, pemasukan Francis Kimani mencapai 1.500 Euro per bulan. Jumlah ini jauh lebih banyak ketimbang pendapatannya apabila menjadi guru. Kekeringan yang menewaskan 18 hewan ternaknya mendorong Kimani untuk menanam pakan di sebuah lahan kecil teririgasi di wilayah peternakan, sehingga ia tak perlu khawatir saat musim kering berikutnya.
Foto: J. van Loon
Melebarkan Sayap
Mary Gitau (30) juga kesulitan mencari kerja kerah putih. Ia membuka peternakan kecil sendiri sekitar 20 kilometer di luar Nairobi. Di peternakannya Gitau menanam tanaman seperti paprika, dan memelihara babi serta ayam. Ia juga bertani tomat ceri dan stroberi, serta beternak kelinci: produk-produk baru di Kenya yang semakin populer di kalangan kelas menengah.
Foto: J. van Loon
Teknik-teknik Modern
Di sebuah rumah kaca di Kenya, petani muda Daniel Kimani memanfaatkan sistem akuaponik, di mana ikan dan tanaman stroberi tumbuh kembang berdampingan secara simbiosis. Kimani memperkirakan metode inovatif semacam ini akan berperan penting dalam produksi pangan Afrika di masa depan, karena mengatasi masalah seperti kekurangan air dan degradasi lahan.
Foto: Jeroen van Loon
Menggunakan Jejaring Sosial
Jejaring sosial menjadi bagian dari proses. Tidak hanya menyediakan tips bagi para petani pemula, namun juga menjadi platform penjualan. Mereka mengunggah foto buah-buahan dan sayur-mayur hasil panen ke Facebook atau melalui situs Mkulima Young, sebuah laman yang membantu petani muda berkomunikasi di dunia maya. Para konsumen pun kini bisa berkomunikasi langsung dengan petani.
Foto: Jeroen van Loon
Ide Baru yang Berani
Tahun 2013, Joseph Macharia yang berusia 35 tahun mendirikan Mkulima Young untuk membantu petani muda. Kini sudah ada lebih dari 25.000 pengikut. Setiap hari ratusan pertanyaan dilayangkan seperti "Ada yang menjual angsa di sekitar Nairobi?" atau "Saya punya 10 sarang lebih tapi baru tiga yang terkolonisasi. Saya salah di mana?"
Foto: J. van Loon
Perubahan Zaman
Pertanian menyumbang hampir 25 persen produk domestik bruto Kenya. Namun hingga kini diperkirakan baru beberapa ribu petani yang mencoba pendekatan modern. Petani startup Daniel Kimani tetap optimis. Ia memandang generasi muda Kenya tak lagi hanya fokus pada pekerjaan kerah putih. "Tak mungkin semuanya menjadi pengacara. Tapi mungkin ramai-ramai bertani," debatnya.
Foto: Jeroen van Loon
Generasi Masa Depan
Cara berpikir petani baru sangat berbeda dari petani tradisional, kata pendiri Mkulima Young, Joseph Macharia. "Mereka dapat mengakses informasi dengan cepat melalui ponsel dan mereka tertarik dengan pertanian intensif karena lahan sudah sulit didapat," catat Macharia. Bertani bukan lagi hanya cara menafkahi keluarga, tapi sudah menjadi bisnis, ucapnya.