Bocorkan Rahasia Negara, Jurnalis Australia Ditahan Cina
8 Februari 2021
Seorang jurnalis Australia ditahan Cina karena diduga "secara ilegal membocorkan rahasia negara ke luar negeri." Pemerintah Australia pada Senin (08/02), menyebut Cheng Lei ditahan di Cina tanpa penjelasan.
Iklan
Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne mengatakan bahwa Cina telah memulai penyelidikan kriminal resmi terhadap Cheng pada Jumat kemarin (05/02), setelah dilakukan penahanan selama enam bulan sejak Agustus tahun lalu.
"Pihak berwenang Cina telah memberi tahu bahwa Cheng ditangkap karena dicurigai memasok rahasia negara ke luar negeri secara ilegal," kata Payne dalam sebuah pernyataan.
Cheng adalah pembawa acara program BizAsia CGTN. Dia lahir di Cina dan bekerja di bidang keuangan di Australia sebelum kembali ke Cina dan memulai karier di bidang jurnalisme dengan CCTV di Beijing pada tahun 2003.
Cheng merupakan warga negara Australia kedua yang ditahan di Beijing setelah penulis Yang Hengjun ditangkap pada Januari 2019 karena dicurigai melakukan spionase. Penahanan Cheng memicu gelombang protes komunitas jurnalis asing Cina.
Cheng menulis sejumlah postingan di Facebook yang mengkritik Presiden Cina Xi Jinping dan langkah Beijing terhadap penanganan wabah corona.
Dua wartawan Australia lainnya yakni reporter Australian Broadcasting Corp. Bill Birtles dan jurnalis The Australian Financial Review Michael Smith, kembali dari Cina pada September lalu tak lama setelah diinterogasi tentang Cheng.
"Saya yakin episode itu (penahanan Cheng) lebih merupakan pelecehan terhadap jurnalis Australia," kata Birtles setelah kembali ke Sydney.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Konflik panjang Cina-Australia
Penahanan Cheng dilakukan setelah ia melakukan wawancara dengan CEO internasional untuk acara Bisnis Global dan BizTalk CGTN. Kejadian itu terjadi saat hubungan antara Beijing dan Canberra melemah.
Payne mengatakan diplomat Australia telah mengunjungi Cheng sebanyak enam kali, terakhir pada 27 Januari 2021. "Pemerintah Australia menyampaikan keprihatinan serius terkait penahanan Cheng, termasuk mengenai kesejahteraan dan kondisi penahanannya," kata Payne.
"Kami berharap standar dasar keadilan, keadilan prosedural, dan perlakuan manusiawi dipenuhi, sesuai dengan norma internasional."
Sebelumnya Cina marah atas seruan Australia yang meminta diadakan penyelidikan independen terkait asal-usul pandemi virus corona. Beijing juga dituduh melakukan pembalasan dengan memberlakukan serangkaian sanksi perdagangan terhadap produk Australia, termasuk anggur, daging sapi, jelai, dan batu bara.