Ketika jurnalis makin sering gunakan media sosial untuk sebarkan berita buatannya, risiko profesi pewarta harus ditanggung sendiri. Tahun lalu, India mengalami tahun paling mematikan bagi profesi jurnalis.
Iklan
Jurnalis di seluruh India semakin kerap menjadi sasaran pembunuhan, terkait profesi mereka. Committee to Protect Journalists melaporkan, 2021 adalah salah satu tahun paling mematikan bagi jurnalis di India dalam dekade terakhir. Tahun lalu enam orang terbunuh antara tahun 2021 dan 2022.
Pada tahun 2022, India menduduki peringkat 150 di antara 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers yang diterbitkan oleh Reporters Without Borders, atau RSF. Kekerasan terhadap jurnalis adalah salah satu alasan yang dikutip oleh RSF untuk menurunnya kebebasan pers di India.
Pada saat yang sama, semakin banyak jurnalis membuat saluran media sosial mereka sendiri untuk membagikan berita langsung kepada pengikut mereka dan umumnya mereka berada di luar payung pelindung organisasi media besar. Wartawan independen ini sering memiliki pembaca dan pengikut yang bersemangat, tetapi mereka juga yang menanggung risiko untuk pekerjaan mereka sendiri.
Pada 20 Mei, jurnalis independen Subhash Kumar Mahto ditembak mati di Bihar. Sebelumnya ia membuat laporan tentang mafia minuman keras di negara bagian tersebut. Mahto sering memposting laporannya di platform berita ‘hyperlocal' bernama Public App.
Tidak ada sistem pendukung
"Memiliki media yang menaungi Anda akan sangat membantu," kata Anand Dutta, seorang jurnalis lepas yang berbasis di Jharkhand. "Ketika Anda tidak berafiliasi dengan organisasi media, tidak ada kartu identitas yang dapat dibuat untuk menetapkan kredensial Anda atau membuktikan bahwa Anda adalah yang Anda katakan."
Seringkali, jika terjebak dalam situasi yang mengerikan, jurnalis independen baru menyadari, mereka sendirian tanpa sistem pendukung. Dutta berbicara tentang seorang penulis muda yang menghadapi kemarahan pihak berwenang, setelah ia mempublikasikan laporan investigasinya tentang seorang kontraktor lokal yang sedang membangun sebuah sekolah. Ditinggal sendirian tanpa dukungan, reporter itu akhirnya harus membuang ceritanya.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Mengambil otoritas sebagai jurnalis independen adalah hal yang berat.
Vikas Kumar, seorang jurnalis yang berbasis di Delhi menuturkan, para pekerja lepas ini tidak punya pilihan selain bergabung dengan perusahaan media. "Ini tidak hitam dan putih seperti yang dipikirkan orang. Wartawan harus bekerjasama dengan polisi. Mereka tidak bisa mengambil risiko konflik dengan pihak berwenang," katanya.
"Pemerintahan penuh dengan kasus korupsi, dan siapa pun yang mencoba melaporkan hal ini menghadapi ancaman untuk menghentikan investigasi," kata jurnalis dan akademisi pemenang penghargaan Aheli Moitra itu, yang telah bekerja selama bertahun-tahun di Nagaland.
Iklan
Pihak berwenang hanya menonton
Wisnu Narayan menjalankan portal berita online The Bihar Mail, dengan lebih dari 150.000 pelanggan di kanal Facebooknya. Pada November 2021, dia membuat Facebook Live, melaporkan kematian terkait konsumsi alkohol di Bihar, di mana semua jenis minuman alkohol dilarang. Segera setelah laporannya, diamenemukan bahwa dia telah kehilangan akses ke halaman Facebook-nya.
"Negara memiliki alat dan teknik untuk mengawasi Anda," katanya. "Bahkan media Anda tidak berada di bawah kendali Anda."
Berkarya Tanpa Batas: Kisah Seorang Jurnalis Tunanetra
03:49
Risiko makin besar ketika watawan melaporkan dari kawasan seperti Nagaland, di timur laut India di mana pasukan keamanan punya kewenangan sangat besar. Di Nagaland, Moitra mengatakan, wartawan adalah "target pasukan keamanan dan di bawah pengawasan terus-menerus dari berbagai badan intelijen."
Karena darurat militer di wilayah tersebut, "wartawan sama sekali tidak memiliki perlindungan dalam menjalankan tugas mereka," katanya.
Jurnalis sangat rentan ketika meliput jaringan kejahatan terorganisir, seperti mafia minuman keras. Mereka bisa mengalami berbagai bentuk intimidasi, kata Kumar.
Ancaman-ancaman ini bisa menjadi lebih jahat jika jurnalis bersikeras untuk melanjutkan liputan mereka. "Saat mengerjakan sebuah berita, Anda perlu mengevaluasi risiko yang terkait di sebaliknya. Sama sekali tidak ada alasan kuat untuk kehilangan nyawa demi sebuah berita," kata jurnalis Dutta yang berbasis di Jharkand. (rs/as)