Seorang Jurnalis Indonesia yang bekerja untuk Suara Hong Kong News cedera di bagian mata kanan setelah tertembak proyektil yang dilepaskan oleh polisi anti huru hara.
Iklan
Veby Mega Indah tengah menyiarkan siaran langsung pada kanal Facebook 'Suara' mengenai unjuk rasa di jembatan yang menghubungkan Menara Imigrasi dan stasiun MRT Wan Chai. Pada siaran langsung tersebut dapat terlihat pada menit ke-32 dimana para demonstran dan polisi anti huru hara mulai berhadapan di atas jembatan. Setelah polisi mundur lalu terdengar suara tembakan dari arah polisi. Tak berapa lama setelah suara penembakan itu rekaman tersebut terlihat jatuh, teriakan-teriakan "pertolongan pertama!" pun terdengar beberapa kali. Selang beberapa menit video tersebut terhenti.
Dikutip dari laman South China Morning Post, setelah Veby cedera dan terjatuh, ia tetap sadar namun tidak bisa bergerak. Petugas paramedis datang 20 menit kemudian dan melarikan Veby dengan ambulans ke Rumah Sakit Pamela Youde Nethersole Eastern Hospital. Ketua Asosiasi Jurnalis Hong Kong, Chris Yeung Kin-hing, menuntut penjelasan dari kepolisian.
"Tindakan itu hampir menyerang wartawan. Ada juga petugas polisi yang menggunakan semprotan merica pada wartawan pada hari Minggu, dan sejumlah kasus wartawan terkena peluru karet sebelumnya," kata Kin-hing dikutip dari laman South China Morning Post.
Frustasi Akibat Mahalnya Hidup Turut Sulut Protes di Hong Kong
Banyak orang muda di salah satu kawasan terpadat di dunia itu tidak puas karena biaya hidup yang sangat mencekik. Di samping itu, mereka juga mengkhawatirkan erosi kebebasan secara umum.
Foto: Reuters/T. Peter
Berbagi kamar tidur dengan orang tua
Peter Chang (23) adalah pengusaha yang terpaksa berbagi kamar tidur dengan ayahnya. Luas kamar hanya 5 meter persegi. Ia marah terhadap kebijakan imigrasi penguasa, yang menempatkan orang-orang dari dataran Cina di Hong Kong. Ia berkata, "Mereka berusaha menghapus identitas kami."
Foto: Reuters/T. Peter
Berdesak-desakan
Zaleena Ho (22) adalah warga asli Hong Kong. Ia lulusan jurusan perfilman dan tinggal bersama orang tuanya. Kamar tidurnya hanya 7 meter persegi. Ia berkata, "Situasi politik makin buruk. Sebagian besar dari kami berusaha sebaik mungkin untuk menjaga apa yang telah kami peroleh. Saya punya paspor AS. Sebenarnya saya bisa pergi saja. Tapi saya berharap kami masih bisa mengubah sesuatu."
Foto: Reuters/T. Peter
Berani menentang
Roy Lam (23) berkerja di bagian di sebuah perusahaan dan tinggal bersama ibu dan empat saudara perempuannya. Ia mengungkap, ia lebih baik terpukul saat mengadakan perlawanan, daripada berdiam diri saat ditekan. Ia menambahkan, kaum muda bertekad tetap menuntut apa hak mereka."
Foto: Reuters/T. Peter
Marah kepada pemerintah
John Wai (26) tinggal bersama orang tua dan saudara perempuannya. Ia berpose di kamar tidurnya yang hanya seluas 7 meter persegi. "Yang membuat saya marah adalah pemerintah membiarkan warga Cina daratan membeli properti yang sudah sangat terbatas. Para penjual menetapkan harga sangat tinggi, sehingga kami tidak bisa membeli."
Foto: Reuters/T. Peter
Bekerja tanpa henti
Ruka Tong (21) nama mahasiswa yang berpose di kamar tidurnya di Hong Kong. Kamar tidur seluas 11 meter persegi ini dibaginya bersama saudara perempuannya. Orang tua mereka tinggal di apartemen yang sama. Hingga tahun lalu, seluruh keluarga tinggal di kamar seluas 28 meter persegi. "Saya bekerja tanpa henti. Saya bekerja tujuh hari sepekan dalam lima pekerjaan."
Foto: Reuters/T. Peter
Menuturkan kisah
Sonic Lee (29) adalah seorang musisi dan komponis. Ia tinggal bersama ibunya. Ruang tidurnya hanya seluas 6 meter persegi. "Bagi saya, Revolusi Payung seperti halnya menceritakan sebuah kisah," katanya dan menambahkan, "Saya tidak percaya lagi, bahwa akan terjadi sesuatu perubahan."
Foto: Reuters/T. Peter
Merampok kesempatan
Fung Cheng (25) seorang desainer grafik, tinggal di apartemen bersama orang tua dan saudara laki-lakinya. Ia merasa frustrasi terhadap sebuah sistem yang ia rasa telah merampok kesempatan untuk bisa memiliki rumah sendiri.
Foto: Reuters/T. Peter
Berapa lama lagi?
Ruby Leung (22) adalah mahasiswa jurusan hukum. Kamar tidurnya juga berukuran 7 meter persegi. Pemerintah menjanjikan status satu negara dua sistem untuk Hong Kong selama 50 tahun. Sekarang masyarakat panik, apa yang akan terjadi dalam 50 tahun ini. (Sumber: reuters, Ed.: ml/hp )
Foto: Reuters/T. Peter
8 foto1 | 8
Konsul Jenderal RI untuk Hong Kong, Ricky Suhendar, mengatakan kepada DW pihaknya telah berkoordinasi dengan kepolisian Hong Kong untuk meminta penjelasan resmi. Menurutnya masih perlu investigasi lebih lanjut dari kepolisian mengenai kejadian yang menimpa Veby.
"Kalau berdasarkan pengamatan kita ya di lapangan, dari beberapa kejadian demo, saya rasa ini tidak ditargetkan ke wartawan. Karena wartawan dalam meliput diberikan perlindungan, artinya tidak akan menjadi target," kata Ricky. Menurutnya akibat kondisi yang rusuh polisi tidak bisa menargetkan tembakan ke arah yang seharusnya. "Dari beberapa kejadian demo pun kalau tembakan itu selalu dilemparkan secara tidak menarget, tetapi dilemparkan ke tengah-tengah, ke jalan, tidak mengena langsung," ujarnya.
Ricky menjelaskan dirinya telah menanyakan kepada Veby soal teknis penembakan. "Pada saat penembakan itu Veby unfortunately ada di barisan depan, kelihatannya lalu terkena bouncing dari bola karet tersebut. Dan itu pun saya tanyakan ke Mbak Veby, memang terkena bouncing dari situ," katanya. "Memang ini meleset lahya artinya," tambah Ricky. Pihak kepolisian Hong Kong Senin (30/09) pagi juga sudah menjenguk Veby dan menyampaikan penyesalan atas kejadian tersebut.
Veby sendiri hingga berita ini diturunkan masih belum bisa dihubungi untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Dari penanganan medis sebelumnya, Veby mendapatkan tiga jahitan pada bagian luar kelopak matanya. Ia masih dalam observasi dokter dalam sepekan ke depan.