Jurnalis Turki Dituduh Spionase, Divonis 27 Tahun Penjara
23 Desember 2020
Jurnalis Can Dundar, divonis penjara 27 tahun secara in absentia lantaran dianggap terbukti melakukan delik spionase dan membantu organisasi teror bersenjata. Kuasa hukumnya menuduh putusan tersebut bernuansa politis.
Iklan
Can Dundar yang pemimpin redaksi harian Cumhuriyet sebenarnya sedang menjalani hukuman kurung selama lima tahun, setelah divonis hukuman 2016 silam. Dundar dan wartawan Cumhuriyet lainnya, Erdem Gul, saat itu dijebloskan ke penjara karena mempublikasikan video berisi pergerakan militer Turki memasuki Suriah.
Berdasarkan putusan teranyar pengadilan Turki itu, Dundar yang kini hidup di pengasingan di Jerman, menghadapi hukuman kurungan selama 18 tahun dan sembilan bulan karena dituduh secara sepihak, mencuri rahasia negara lewat aktivitas spionase, serta tambahan delapan tahun sembilan bulan lantaran mendukung operasi organisasi teror bersenjata.
Kuasa hukumnya menolak hadir pada sidang pembacaan keputusan. "Kami tidak ingin menjadi bagian praktik melegitimasi putusan sebelumnya yang bersifat politis,” tulis mereka dalam sebuah pernyataan pers.
Bagi kaum oposisi dan rival politik Presiden Recep Tayyip Erdogan, berbagai langkah hukum tehadap wartawan senior itu menjadi simbol pembungkaman sistematis terhadap kebebasan pers, terutama sejak upaya kudeta 2016 lalu.
Namun begitu pemerintah Turki bersikeras pihaknya tidak mencampuri proses hukum dan bahwa pengadilan bertindak secara independen.
Siapa Can Dundar?
Usai mengajukan banding dalam kasus dugaan spionase 2016 silam, Dundar melarikan diri ke Jerman. Petaka berawal ketika dia melaporkan tentang bagaimana Turki memasok senjata kepada pemberontak Suriah pada 2015 lalu.
Presiden Erdogan sempat memperingatkan, Dundar akan harus "membayar ongkos yang mahal” atas berita di Cumhuriyet tersebut. Pemberitaannya dianggap menelanjangi aktivitas dinas rahasia Turki, dan sebabnya dikecam subversif.
Setelah mengasingkan diri ke Jerman, pengadilan di Turki menyita aset dan harta kekayaan Dundar, termasuk empat properti di Ankara dan Istanbul, serta sebuah akun bank. Pada September 2016, otoritas Turki menyita paspor milik isterinya.
Oktober lalu Uni Eropa mewanti-wanti Ankara terkait merosotnya nilai demokratis di Turki. Tindak-tanduk pemerintah terhadap tokoh pers dan oposisi dinilai mencederai peluang Turki bergabung dengan Uni Eropa.
Kuasa hukum Dundar awalnya sempat berusaha menunda proses pengadilan,dengan meminta pergantian hakim untuk memastikan ketidakberpihakan. Permintaan itu ditolak.
rzn/as (rtr/ap)
Etnis Kurdi di Suriah, Antara Harapan dan Ketakutan
Jurnalis foto Karlos Zurutuza mengunjungi wilayah perbatasan utara Suriah setelah invasi Turki. Di sana, ia bertemu sejumlah keluarga yang mengungsi dan para lelaki kesepian yang tetap tinggal di desa-desa.
Foto: Karlos Zurutuza
Dalam pengungsian
Menurut informasi PBB, hampir 200.000 orang telah mengungsi di wilayah itu sejak awal invasi Turki. Menurut laporan, banyak orang Kurdi berusaha mencari tempat berlindung di daerah pemukiman Kurdi di Irak. Namun hanya mereka yang memiliki izin tinggal di Irak lah yang diperbolehkan melintasi perbatasan.
Foto: Karlos Zurutuza
Para lelaki tinggal di desa
Kini banyak desa di timur laut Suriah yang telah ditinggalkan. Perempuan dan anak-anak melarikan diri dari daerah perbatasan ke pedalaman, seperti ke ibu kota provinsi Al-Hasakah. "Tetapi kondisi di Al-Hasakah semakin memburuk karena begitu banyak pengungsi yang datang. Jadi kami putuskan untuk tinggal," ujar Suna, seorang ibu dari tiga anak, kepada DW.
Foto: Karlos Zurutuza
Kehidupan mulai meredup
Bazar yang pernah semarak di kota Amude, Suriah, kini jadi tempat yang suram. Hanya ada beberapa orang yang berkunjung. Sejak awal serangan Turki, banyak pebisnis menutup toko mereka. Saat hari menjelang gelap, suara ledakan granat dari sisi lain perbatasan mulai terdengar. Siapa pun yang memutuskan tinggal di kota, nyaris tidak berani meninggalkan rumah pada sore dan malam hari.
Foto: Karlos Zurutuza
Dia kembali lagi
Patung mantan penguasa Hafiz al-Assad kembali menyapa di jalan masuk kota Kamischli yang merupakan kota paling penting di timur laut Suriah. Hubungan antara pemerintahan Kurdi dan rezim Presiden Bashar al-Assad di wilayah tersebut menegang sejak awal perang saudara di Suriah tahun 2011.
Foto: Karlos Zurutuza
Ketidakpastian masih membayang
Etnis Kurdi di Suriah merasa dikhianati Presiden AS Donald Trump yang telah memerintahkan penarikan pasukan AS. "Kami tahu apa yang dilakukan Trump kepada kami, namun kami masih tidak tahu apa-apa terkait niatan Putin," ujar Massud, seorang pelanggan di salon rambut ini. AS telah meyakinkan Turki bahwa gencatan senjata di utara Suriah adalah langkah yang tepat.
Foto: Karlos Zurutuza
"Saya sebaiknya tidak berkomentar apa-apa"
Bertahun-tahun di bawah tekanan pemerintahan Bashar al-Assad dan ayahnya, banyak orang di kota Derik, Suriah, menolak mengatakan pendapat mereka tentang pengaruh kebangkitan pemerintah Suriah di wilayah tersebut. "Seluruh negeri pada saat itu diawasi oleh intelijen. Ini mungkin akan segera terjadi, jadi tidak ada yang akan berbicara apa pun tentang hal itu," ujar seseorang yang diwawancarai.
Foto: Karlos Zurutuza
Lima peti mati, lima takdir
Di mana-mana di timur laut Suriah, orang-orang harus mengurusi mayat-mayat yang setiap hari menjadi korban serangan. Serangan udara Turki menghantam sasaran militer dan warga sipil. Rumah sakit seperti yang terletak di Derik, tempat para korban terluka dirawat, kini telah dievakuasi untuk menghindari jatuhnya korban lebih banyak.
Foto: Karlos Zurutuza
Ribuan jiwa jadi korban
Etnis Kurdi di Suriah mengklaim telah ada sekitar 11.000 korban dalam perang melawan milisi teroris ISIS. Meski ISIS tidak lagi mengendalikan sebagian besar wilayah ini, korban tewas tetap berjatuhan. Puluhan warga sipil dan ratusan milisi dilaporkan tewas setelah Turki melancarkan serangan di timur laut Suriah.
Foto: Karlos Zurutuza
Ditinggalkan sendiri
Setelah perang saudara di Suriah pecah tahun 2011, etnis Kurdi di Suriah memilih untuk tidak memihak kepada kedua pihak - tidak memihak pemerintah, maupun oposisi. Dengan penarikan pasukan AS, mereka dibiarkan sendirian, tanpa ada dukungan apa pun. (ae/na)