PBB: Jutaan Orang di Asia Akan Menjadi Pengungsi Iklim
3 Maret 2022
Sekitar 143 juta orang kemungkinan akan meninggalkan rumah mereka dalam 30 tahun ke depan akibat naiknya permukaan air laut, banjir, suhu panas ekstrem, dan bencana iklim lain.
Iklan
Dinding rumah yang ditinggali Saifullah, 73, di utara Jakarta bergaris-garis ibaratnya garis yang ditemui di lingkaran pohon. Garis ini menandai ketinggian banjir yang mampir setiap tahunnya. Saat air kian meninggi, Saifullah mengungsikan keluarganya ke rumah teman-temannya.
Dia sendiri menjaga rumah hingga air banjir agak surut dan bisa dikuras menggunakan pompa darurat. Apabila pompa itu sudah tidak bisa lagi bekerja, ia memakai ember atau menunggu saja sampai air surut sendiri.
''Biasa di sini,'' kata Saifullah. ''Tapi ini 'kan rumah kami. Mau ke mana lagi?"
Jutaan orang terpaksa tinggalkan kampung halaman
Sebagai kota besar yang paling cepat tenggelam di dunia, Jakarta menunjukkan bagaimana perubahan iklim telah membuat lebih banyak tempat jadi tidak layak huni. Dengan perkiraan sepertiga kota akan tenggelam dalam beberapa dekade mendatang - sebagian karena naiknya Laut Jawa - pemerintah Indonesia berencana memindahkan ibu kota ke Pulau Kalimantan.
Langkah ini diperkirakan akan merelokasi sebanyak 1,5 juta pegawai pemerintah. Ini adalah upaya besar dan menjadi bagian dari perpindahan orang skala besar yang kemungkinan akan meningkat di masa depan.
Seberapa Siapkah Anda Hadapi Banjir?
BMKG memperkirakan bahwa wilayah Jabodetabek dan sekitarnya akan mengalami hujan lebat dan berpotensi banjir pada 12-18 Januari 2020. Simak persiapan apa saja yang bisa dilakukan untuk hadapi banjir.
Foto: imago images/Pacific Press Agency
Catat dan simpan nomor telepon penting
Untuk mempermudah penyebaran informasi evakuasi dan bantuan, Anda disarankan menyimpan beberapa nomor telepon penting di ponsel, antara lain yaitu Basarnas (115), BPBD DKI Jakarta (112), Pemadam Kebakaran (113), PLN (123) dan Posko bencana alam (129). Sementara untuk bantuan khusus banjir nomor telepon penting yang bisa dihubungi yaitu: 021-3459444 dan SMS Center: 085880001949
Foto: Fotolia/brat82
Siapkan 'Tas Siaga Bencana'
Selain sebagai persiapan untuk bertahan hidup ketika bantuan belum datang, Tas Siaga Bencana (TSB) juga bertujuan memudahkan evakuasi menuju tempat aman. TSB bisa diisi dengan beberapa kebutuhan dasar seperti pakaian untuk 3 hari, makanan ringan tahan lama, air minum, obat-obatan pribadi, ponsel, charger, powerbank, alat bantu penerangan, uang tunai, masker, peluit dan surat-surat penting.
Foto: picture-alliance/blickwinkel/M. Vahlsing
Amankan dokumen penting dan barang berharga
Anda disarankan untuk menyatukan seluruh dokumen penting seperti ijazah, akta kelahiran, surat tanah, sertifikat rumah, kartu keluarga dan paspor. Anda dapat menyatukannya di dalam satu tempat khusus (misalnya koper), lalu dapat dibungkus dengan plastik agar lebih aman saat terkena air. Sama seperti dokumen, barang berharga seperti perhiasan juga dapat disimpan sedemikian rupa.
Foto: AP
Miliki rencana darurat keluarga
Rencana ini mencakup analisis ancaman di sekitar, identifikasi titik kumpul, identifikasi lokasi untuk mematikan air, gas dan listrik serta identifikasi anggota keluarga yang rentan (anak-anak, lanjut usia, ibu hamil, dan penyandang disabilitas).
Foto: AP
Bentuk komunitas tangguh bencana
Komunitas tangguh bencana terdiri dari beberapa warga, misalnya Karang Taruna yang akan melakukan kerja bakti, menentukan jalur evakuasi, tempat pengungsian, serta siskamling. Warga dapat berkoordinasi dengan pengurus RT/RW setempat untuk melakukan pelatihan kebencanaan bekerja sama dengan instansi resmi seperti BNPB.
Foto: picture-alliance/Xinhua/Kristian
Segera lapor ke instansi terkait!
Apabila terjadi kerusakan seperti tanggul bocor atau korsleting listrik, masyarakat disarankan untuk segera melapor ke kelurahan/kecamatan/BPBD guna mendapat bantuan lebih lanjut.
Foto: Getty Images/AFP
Pantau terus prakiraan cuaca!
Anda disarankan untuk selalu memantau prakiraan cuaca setiap harinya. Ketika hujan lebat atau badai diperkirakan akan terjadi, Anda dapat menyimak informasi terkait risiko banjir dari berbagai media, seperti radio, televisi, media online, maupun sumber lain yang resmi. (gtp/ae) (dari berbagai sumber)
Foto: picture-alliance/AP/D. Alangkara
7 foto1 | 7
Sekitar 143 juta orang kemungkinan akan meninggalkan rumah-rumah mereka selama 30 tahun ke depan akibat naiknya permukaan air laut, kekeringan, suhu panas ekstrem dan bencana iklim lainnya. Demikian menurut laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim yang diterbitkan pada hari Senin (28/02) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pemerintah di negara-negara di Asia telah dibuat kewalahan mengatasi hal ini. Satu dari tiga migran di dunia saat ini berasal dari Asia, yang juga memiliki jumlah pengungsi tertinggi karena cuaca ekstrem seperti badai dan banjir, menurut laporan itu. Desa-desa pedesaan pun kosong dan kota-kota besar seperti Jakarta terancam. Para ilmuwan memperkirakan arus migrasi dan kebutuhan akan relokasi akan semakin bertambah.
"Di bawah semua tingkat pemanasan global, beberapa daerah yang saat ini berpenduduk padat akan menjadi tidak aman atau tidak dapat dihuni," menurut laporan itu. Ada pula perkiraan bahwa sedikitnya 40 juta orang di Asia Selatan mungkin terpaksa pindah selama 30 tahun ke depan karena kekurangan air, gagal panen, gelombang badai dan bencana lainnya.
Iklan
Belum ada suaka bagi pengungsi iklim
Namun dari semua ini, meningkatnya suhu menjadi perhatian khusus, kata ilmuwan lingkungan Universitas Stanford, Chris Field, yang mengetuai laporan PBB yang dirilis pada tahun-tahun sebelumnya.
"Saat ini ada relatif sedikit tempat di muka Bumi yang terlalu panas untuk dihuni," ujar Chris Field. "Tapi seperti yang mulai terlihat di Asia, di masa depan mungkin akan ada lebih banyak lagi dan kita perlu berpikir keras tentang implikasinya."
Sejauh ini tidak ada negara yang menawarkan suaka atau perlindungan hukum lainnya kepada pengungsi akibat perubahan iklim, meskipun pemerintahan Biden telah mempelajari gagasan tersebut.
Ada banyak alasan mengapa orang-orang meninggalkan rumah mereka, antara lain karena kekerasan dan kemiskinan. Namun yang terjadi di Bangladesh menunjukkan peran perubahan iklim juga, kata Amali Tower, pendiri organisasi Climate Refugees yang menangani pengungsi akibat perubahan iklim.
Para ilmuwan memperkirakan bahwa pada tahun 2050 sebanyak 2 juta orang di negara dataran rendah itu akan mengungsi karena naiknya muka air laut. Saat ini saja ada lebih dari 2.000 migran yang tiba di ibu kota Dhaka, Bangladesh, setiap harinya. Kebanyakan mereka melarikan diri dari kota-kota pesisir.
Daftar Kota Dunia yang Diprediksi Tenggelam Pada 2050
Beberapa kota pesisir terbesar di dunia dapat terendam pada tahun 2050 sebagai akibat perubahan iklim. Siklus hujan ekstrem yang dulunya sekali dalam satu abad, kelak jadi peristiwa tahunan di berbagai kota
Foto: UN Photo/Mark Garten
Hanoi, Vietnam
Lebih dari 31 juta orang, hampir seperempat dari total populasi Vietnam, diperkirakan akan menghadapi ancaman banjir rob setidaknya sekali dalam setahun hingga 2050, demikian menurut studi yang dirilis lembaga penelitian AS, Climate Central. Skenario teranyar menyebut banjir rob tahunan akan memengaruhi daerah padat penduduk di Delta Mekong dan pantai utara di sekitar ibu kota Vietnam, Hanoi.
Foto: picture-alliance/DUMONT Bildarchiv
Shanghai, Cina
Kawasan yang saat ini menampung 93 juta penduduk di Cina daratan kemungkinan akan tenggelam permanen pada tahun 2050 akibat banjir rob, demikian hasil penelitian Climate Central. Shanghai, yang merupakan kota terpadat di Cina, diperkirakan akan menjadi kota yang paling rentan terdampak banjir rob karena tidak punya sistem pertahanan pantai.
Foto: Reuters/A. Song
Kolkata, India
Di India, kenaikan permukaan laut diperkirakan membuat kawasan yang saat ini dihuni sekitar 36 juta orang itu rentan terkena banjir tahunan pada 2050. Benggala Barat dan Odisha dianggap sangat berisiko, seperti kota Kolkata di bagian timur. Menurut Climate Central, tidak adanya pertahanan pantai seperti tanggul, membuat ketinggian suatu tempat jadi penentu sejauh mana banjir akan merendam daratan.
Lebih dari 10% warga di Thailand saat ini tinggal di daratan yang dapat terendam banjir pada tahun 2050. Letak ibu kota politik dan komersial itu hanya 1,5 meter di atas permukaan laut sehingga berisiko tergenang. Pemetaan yang dilakukan Earth.Org, organisasi nonprofit yang berbasis di Hong Kong, menunjukkan 94% warga Thailand akan mengungsi karena banjir pada tahun 2100.
Foto: AP
Basra, Irak
Menurut model yang dibuat Climate Central, Basra juga sangat rentan terkena dampak banjir rob. Sebagian besar dari kota terbesar kedua di Irak tersebut dapat tenggelam pada tahun 2050. Para ahli memperkirakan dampaknya jauh melampaui perbatasan Irak, karena migrasi yang disebabkan oleh naiknya air laut dapat memicu atau memperparah konflik regional dan politik.
Foto: Hussein Faleh/AFP/Getty Images
Alexandria, Mesir
Banjir juga dapat menyebabkan warisan budaya menghilang di masa depan. Alexandria didirikan oleh Alexander Agung lebih dari 2.000 tahun yang lalu, dan sebagian besar dari kota berpenduduk 5 juta di Mediterania itu terletak di dataran rendah. Pemetaan yang dilakukan Earth.Org memperlihatkan bahwa tanpa pengendalian banjir atau program relokasi, sebagian besar kota dapat terendam pada tahun 2100.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Toedt
Jakarta, Indonesia
Meski tidak secara khusus tercantum dalam laporan Climate Central, Jakarta juga tak luput dari ancaman banjir kronis. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) potensi banjir meningkat di DKI Jakarta karena terjadi penurunan tanah di 40% wilayah ibu kota. Jakarta tenggelam rata-rata 1-15 cm per tahun dan hampir separuh kota sudah berada di bawah permukaan laut. (Ed.: bn/ts/rzn)
Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
7 foto1 | 7
"Anda dapat melihat pergerakan orang yang sebenarnya. Anda benar-benar dapat melihat bencana yang meningkat. Itu nyata," kata Amali Tower.
Arus migrasi dapat diperlambat jika negara-negara seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa bertindak sekarang juga untuk menurunkan emisi gas rumah kaca mereka menjadi nol, katanya. Sementara ilmuwan lain mengatakan negara-negara kaya yang menghasilkan lebih banyak emisi harus menawarkan visa kemanusiaan kepada orang-orang dari negara-negara yang terkena dampak perubahan iklim.
Cegah kemiskinan urban
Berurusan dengan para pengungsi iklim akan menjadi masalah bagi kebijakan utama negara-negara Sub-Sahara di Afrika dan Amerika Latin selama beberapa dekade mendatang, menurut laporan itu. Kebanyakan orang akan berpindah dari daerah pedesaan ke kota, terutama di Asia.
"Pada dasarnya orang-orang bermigrasi dari daerah pedesaan dan kemudian akan tinggal berdesakan di daerah kumuh di suatu tempat,'' kata Abhas Jha, dari bagian Manajemen Risiko Bencana dan Perubahan Iklim Bank Dunia di Asia Selatan.
Meski demikian migrasi tidak selalu harus menyebabkan krisis, kata Vittoria Zanuso, direktur eksekutif Mayors Migration Council, organisasi yang membantu kota-kota dalam membentuk kebijakan nasional dan internasional tentang migrasi. Di Dhaka utara, misalnya, para pejabat sedang membangun tempat perlindungan bagi para migran iklim dan meningkatkan pasokan air. Mereka juga bekerja dengan kota-kota kecil untuk ditetapkan sebagai "climate havens" untuk menyambut para migran, kata Zanuso.
Masuknya angkatan kerja baru menawarkan kesempatan bagi ekonomi di kota-kota kecil ini untuk bertumbuh, ujarnya. Ini diharapkan bisa mencegah para migran melarikan diri dari desa-desa mereka yang terancam oleh naiknya air laut ke kota-kota besar yang sudah memiliki masalah kelangkaan air.
Di tahun-tahun mendatang, kata Zanuso, mempersiapkan kota-kota seperti ini untuk bisa dimasuki pendatang adalah kunci.