1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pengusaha Batik Besurek di Bengkulu Bertahan Digempur Zaman

Betty Herlina (Bengkulu)
2 Oktober 2021

Terhimpit di antara kain bermotif besurek yang membanjiri pasar dengan harga murah dan kian berkurangnya pembatik terampil di Bengkulu, pengusaha batik besurek yang tersisa terus bertahan.

Kain batik besurek dari Bengkulu
Kain batik besurek dari BengkuluFoto: B. Herlina/DW

Batik kain besurek merupakan kerajinan khas Bengkulu. Budaya Islam sangat lekat dengan seni kaligrafi dan keunikan lokal yang dipertahankan dalam batik kain besurek. Sayangnya batik kain besurek yang diperkirakan telah muncul sejak abad ke-16 kian terancam.

Saat ini, pengrajin batik tulis kain besurek yang menggeluti seni membatik ini tergolong langka. Derasnya produksi batik printing mesin di pasaran, dengan harga lebih murah, beserta aneka macam motif dan bahan, termasuk motif besurek mengancam kelangsungan industri kecil di Bengkulu.

Mereka terus pertahankan tradisi

Empat orang perempuan sedang melakukan pewarnaan dasar untuk kain batik besurek di Kampung Batik Betungan, Bengkulu. Berbekal peralatan sederhana, tiap ujung kain diikat di gawangan. Bergantian, salah seorang perempuan memakai sarung tangan karet berwarna kuning mulai meletakkan warna hitam di kain katun putih bermotif besurek.

Mereka bekerja dengan saksama. Ada pesanan yang harus segera di selesaikan dalam dua minggu ke depan. Sebagian sibuk menggambar pola, ada juga yang membatik dan menembok. Salah satu di antara perempuan itu bernama Evrien Mega yang jemarinya begitu lincah, mengayun canting, menyusuri motif kaligrafi yang sudah tergambar rapi di atas kain katun sepanjang 2,4 meter.

Sesekali perempuan berusia 36 tahun ini mendekatkan canting batik ke arah bibirnya. Sekadar memberi hembusan angin ringan, agar lilin yang ada di canting tak terlalu panas. Memastikan tak ada lilin yang menetes di atas kain.

Kain besurek adalah jenis kain batik berbahan dasar katun hingga sutra dengan menggunakan motif kaligrafi sebagai ciri khas warisan budaya Bengkulu. Kain besurek menjadi karya budaya dari Provinsi Bengkulu yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda pada 2015. Corak kaligrafi sangat kental di kain besurek dan menjadi penanda akulturasi budaya lokal dan Arab.

Ada tujuh jenis motif dasar batik kain besurek. Yakni, motif kaligrafi arab, rembulan, kembang melati. Selain itu ada juga motif burung kuau, pohon hayat, kombinasi kembang cengkih dan kembang cempaka, serta perpaduan relung paku dan burung punai. Warna-warna yang biasa digunakan dalam batik besurek, umumnya merah, merah manggis, dan merah kecoklatan.

Motit-motif tersebut tidak sembarang digunakan. Seperti motif kaligrafi Arab, dengan warna biru biasanya digunakan untuk detar atau penutup kepala bagi pembantu raja penghulu. Sedangkan motif kembang melati biasanya digunakan untuk buayan dalam upacara cukur bayi. Motif kembang melati dipadukan dengan kaligrafi bermakna kehidupan alam.

Industri rumahan bersama tetangga

Sebagai pengrajin kain batik besurek, Mega mengaku sudah membatik sejak tahun 2017. Saat itu ia bersama ibu-ibu lain di Kelurahan Betungan, Kota Bengkulu, mendapatkan suntikan ilmu membatik dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Alhasil, sejak itu Mega mulai membatik di rumah. Ia mulai melayani pesanan kecil-kecilan.

Secara etimologis ‘besurek' berasal dari kata ‘ber' dan ‘surek' yang berarti ‘surat' atau ‘tulisan'. Sehingga ini berarti kain yang telah dipenuhi surat atau tulisan berciri kaligrafi. Foto pengrajin batik besurek di Kampung Betungan, Bengkulu.Foto: B. Herlina/DW

"Tadinya sendiri-sendiri. Produksi di rumah masing-masing. Lama-lama kami sadar supaya lebih maju kami harus berkelompok. Kami sepakat membentuk home industri bersama dengan nama Kampung Batik Betungan. Selain kaligrafi, kami menggunakan motif bambu betung, sesuai dengan nama daerah, Betungan," ungkap Mega yang menjadi ketua kelompok pengrajin di Kampung Batik Betungan.

Ia menjelaskan harga per lembar untuk ukuran satu buah baju berbahan katun yaitu sebesar Rp150 ribu. Jika terbuat dari sutra, harga baju itu bisa mencapai Rp1,4 juta. "Keuntungan yang dihasilkan ada, lumayan untuk membantu belanja dapur ibu-ibu," imbuhnya.

Digempur batik printing dan keterbatasan pembatik terampil

Namun menurut Mega, kesulitan bersaing dengan tekstil motif batik printing atau cetak menjadi masalah yang kini dihadapi kelompok Kampung Batik Betungan. Kain motif batik hasil cetak yang datang dari Jawa harganya lebih murah yakni sekitar Rp35 ribu per meter.

"Kami tidak bisa bersaing. Dari dulu kami sudah membuat batik tulis. Produksinya tidak bisa cepat, bisa memakan waktu hingga satu minggu untuk menyelesaikan satu lembar kain batik besurek. Skill kami juga terbatas, belum pada pembatik tingkat mahir," keluhnya.

Hal serupa disampaikan Dony Roesmandani. Pengrajin batik kain besurek dengan merek Dony Collection ini mengakui popularitas batik besurek tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan pengrajin batik tulis. Saat ini, pasar Bengkulu lebih didominasi penjual kain tekstil bermotif besurek. Gempuran batik printing, sablon, dan batik cap yang diproduksi di Pulau Jawa sejak tahun 2000-an, membuatnya terpaksa merumahkan karyawan. Pembeli batik besurek tulis pun sepi.

"Dulu sempat punya karyawan hingga 23 orang. Sekarang hanya 2 orang saja. Itu pun tidak membatik setiap hari di sini. Dikerjakan di rumah, jadi bisa menghemat ongkos pekerja. Ya, gempuran sedikit-dikit, akhirnya batik meteran berjaya, pengrajin menderita," ungkapnya.

Harga batik kain besurek yang dijual Dony juga lebih mahal daripada tekstil cetak bermotif batik besurek. Satu lembar kain batik tulis bahan katun biasa dijual Rp750 ribu hingga Rp1 juta, sedangkan sutra dijual Rp2,5 juta.

"Tergantung dengan tingkat kerumitan motif dan lama pengerjaan. Semakin rumit motif, semakin banyak warna yang digunakan otomatis membutuhkan waktu produksi yang lebih lama. Tentunya harganya menjadi lebih mahal, karena ini menyangkut karya seni,” ungkap Dony.

Karena terbatasnya pasar batik kain besurek tulis, Dony hanya memproduksi maksimal 5 lembar setiap bulan. "Itu pun dengan motif yang tidak begitu rumit dan belum tentu langsung habis. Tapi tetap limited edition karena motifnya saya sendiri yang menggambar," katanya singkat.

Keterbatasan sumber daya juga menjadi permasalahan lain bagi pengrajin batik tulis di Bengkulu. Untuk beberapa batik tulis yang sudah highclass, Dony juga terpaksa meminta bantuan dari pengrajin batik tulis di Jawa. "Untuk beberapa batik yang rumit prosesnya, harus pewarnaan berulang-ulang dan tingkat tinggi, saya minta tolong ke Jawa. Di Bengkulu belum ada yang bisa," lanjutnya.

Produksi di Bengkulu lebih mahal dibandingkan Jawa

Sedikit berbeda dengan Atika Sumarwani yang lebih dikenal dengan Atik Opet. Ia mulai melanjutkan usaha batik keluarganya yang sudah dibangun sejak tahun 1999. Mulanya Atik Opet memproduksi batik tulis di Bengkulu. Namun untuk menghemat biaya produksi, ia memutuskan untuk membuka pabrik batik kain besurek di Solo, Jawa Tengah

Atika Sumarwani, salah seorang pengrajin dan penjual batik besurek di BengkuluFoto: B. Herlina/DW

“Selisih marginnya 2 kali lipat jika dibuat disini. Ongkos tenaga kerjanya lebih mahal di Bengkulu, serta bahan baku yang memang masih harus didatangkan dari Jawa. Disini juga masih sulit menemukan pengrajin batik yang pekerjaannya benar-benar halus,” kata Atik.

Meski punya pabrik di Solo, Atik memastikan batik kain besurek tidak boleh dijual di kota itu. "Di sana batik besurek tidak boleh dijual, harus di Bengkulu," katanya.

Setiap bulan Atik menghabiskan 5.000 meter kain untuk di batik dengan motif khusus yang langsung dibuat Atik. Harga jualnya bervariasi per lembar Rp850 ribu hingga Rp2,5 juta untuk batik tulis. Sedangkan batik cap per meternya dihargai Rp60 ribu hingga Rp150 ribu.

"Untuk penjualan kami sudah menjual hingga ke Bali. Di sana warna-warna terang sangat diminati. Namun semenjak pandemi pembelian sepi, akibat turis yang datang juga sepi," kata Atik.

Dilema warisan tradisi dan kebutuhan kain murah

Tidak diketahui pasti sejak kapan batik besurek ada di Bengkulu. Ada yang memperkirakan batik besurek sudah ada sejak abad ke-16, ketika Islam masuk ke Indonesia. Namun ada pula yang mengkaitkannya dengan Pangeran Sentot Alibasyah saat ia diasingkan ke Bengkulu, kata Agus Setiyanto, sejarawan sekaligus budayawan Bengkulu kepada DW Indonesia.

Agus menyayangkan kondisi pasar batik kain besurek tulis saat ini yang semakin tergerus. Pasar didominasi batik printing, sablon, dan cetak hadir dalam jumlah yang banyak dan cepat. Ini dinilai lebih efisien menjawab kebutuhan pasar akan kain berharga murah. Menurutnya, pemerintah harus mengantisipasi agar batik kain besurek tulis warisan budaya yang khas tidak hilang dan terjaga keasliannya.

"Batik besurek dapat dipatenkan sebagai produk Bengkulu, namun untuk motif tidak dapat, karena tergantung masing-masing orang. Siapa yang menemukan motif itu bisa patenkan. Motifnya bisa berkembang. Produk budaya itu sifatnya bebas,” kata Agus Setiyanto.

Ketika sudah berkaitan dengan bisnis, siapa pun yang tidak dapat mengembangkan diri akan tergilas zaman, kata Agus. Sehingga tidak heran bila batik besurek banyak dibuat di luar Bengkulu sebagai imbas pasokan bahan baku yang lengkap dan biaya produksi yang lebih hemat. Ia pun berharap pemerintah dapat membuat kebijakan seperti menciptakan lapangan kerja bagi pembatik di Bengkulu.

"Bengkulu sayangnya tidak ada pabrik, inilah ketertinggalan Bengkulu, tidak ada kualitas-kualitas untuk bisnis yang bisa mengembangkan home industri,ungkapnya. (ae)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait