1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Kala Cinta Tidak Memandang Ideologi

9 September 2020

Meski berasal dari negara yang saling bermusuhan, namun banyak pembelot perempuan dari Korea Utara yang menikah dengan pria Korea Selatan. Pria Korsel bisa membantu mereka menyesuaikan diri di negara barunya.

Bendera Korea Utara
Foto: picture-alliance/AP Images/P. Semansky

Lebih 70 persen dari 33 ribu warga Korea Utara yang dilaporkan membelot ke Korea Selatan adalah perempuan. Angka ini menunjukkan bahwa pemerintah Korea Utara cenderung lebih mengawasi gerak-gerik kaum pria di sana.

Setibanya di Korea Selatan, banyak perempuan Korea Utara ini kemudian memutuskan menikah dengan pria Korea Selatan, salah satunya Kim Seo-yun (33). Kim kabur dari Korea Utara satu dekade lalu. Statusnya sebagai pembelot Korea Utara kadang membuatnya merasa malu. Tak jarang ia menghadapi perlakuan diskriminatif.

Suami Kim, Lee Jeong-sup (32), melamar Kim pada bulan Mei lalu. Kemudian mereka melangsungkan pernikahan satu bulan setelahnya di Seoul. Keluarga Kim yang berada di Korea Utara jelas tidak bisa hadir.

“Di Korea Selatan, suami adalah segalanya bagi saya. Saya tidak punya orang lain di sini. Dia mengatakan kepada saya bahwa dia tidak hanya menjadi suami saya melainkan juga orang tua saya,” ujar Kim.

Lee pun berpendapat bahwa tidak ada yang salah dengan datang dari Korea Utara.

“Ketika saya berbicara dengannya, saya merasa kami bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih serius,“ ungkap Lee. “Apakah dia berasal dari Korea Utara bukan suatu masalah besar. Saya mengatakan kepadanya saya tidak keberatan selama dia tidak pernah menikah sebelumnya, mempunyai anak terlarang, atau catatan kriminal.“

Belum ada angka pasti berapa jumlah pembelot Korea Utara yang menikah dengan pria Korea Selatan. Namun, berdasarkan hasil survei pada tahun 2019 yang didanai pemerintah Korsel, 43 persen dari mereka yang kabur dari Korea Utara menikah dengan pria Korea Selatan. Presentase ini meningkat 19 persen dibandingkan angka tahun 2011.

Berasal dari negara komunis yang sangat represif, para perempuan disebut mengalami kesulitan beradaptasi di Korea Selatan yang kapitalis. Mereka sering menghadapi diskriminasi dan kesenpian. Pria Korea Selatan dianggap dapat membimbing mereka menjalani kehidupan di negara barunya.

“Saya merasa pernikahan membuat saya menyesuaikan diri dengan masyarakat (Kora Selatan) lebih baik tanpa perlu berusaha keras,“ tutur Hwang Yoo-jung (37) yang menikah dengan pria Korsel Seo Min-seok (39), tahun 2018 silam.

Jasa biro jodoh

Meningkatnya fenomena ini juga tidak terlepas dari campur tangan jasa biro jodoh. Terdapat 20-30 biro jodoh yang khusus mencomblangkan wanita Korea Utara dan pria Korea Selatan, naik dua kali lipat dibandingkan pertegahan tahun 2000-an. Tak sedikit perempuan yang menggunakan jasa biro jodoh tersebut.

Kim Hae-rin, pemilik salah satu biro jodoh yang juga merupakan pembelot Korea Utara, tahu betul rasanya diskriminasi dan kesepian. “Saya juga berpikir bahwa saya sedang membangun unifikasi kecil dua penduduk Korea,” tutur Kim.

Perusahaan mematok harga 3 juta won atau setara 37,5 juta rupiah untuk pria Korea Selatan yang ingin mencari pasangan. Sementara bagi perempuan tidak dikenakan biaya.

Meski begitu, perjodohon bukanlah sesuatu yang mudah terwujud. Faktor bahasa kadang menjadi kendala tersendiri bagi para pasangan yang berusaha menjembatani 75 tahun perpecahan di Semenanjung Korea.

Para suami diceritakan sering menggoda istri-istri mereka dengan lelucon bertema Korea Utara. Seperti yang disampaikan pembelot Korea Utara lainnya, So Yu Jin. Suami So pernah berucap: “Kamu mirip Kim Jong Un,“ ketika So mengambil keputusan urusan rumah tangga secara sepihak.

Memutuskan hubungan dengan keluarga

Ahn Kyung-su, seorang peneliti dari sebuah institut swasta berbasis di Seoul yang sedang belajar masalah kesehatan, membeberkan hasil wawancaranya dengan beberapa pembelot Korea Utara. Tidak sedikit dari mereka yang mengaku dilecehkan dan disiksa oleh suami Korea Selatan mereka. Ada juga yang dipaksa memutuskan hubungan dengan keluarga yang ditinggalkan di Korea Utara.

Kim Seo-yun mengaku sangat merindukan kedua orang tua dan adik perempuan di negara asalnya. Ia bercerita ibunya rela membayar jasa broker untuk penggunaan ponsel ilegal Cina demi bisa menguhubunginya,

Terakhir kali ibu Kim menelepon pada awal Juni lalu menjelang pernikahan Kim dan Lee. Kala itu ibunya meminta Lee untuk selalu menjaga putrinya.

“Ibu mertua memperlakukan saya baik. Begitu juga dengan adik ipar saya. Saya seperti memiliki pendukung yang kuat dalam hidup, dan saya bahagia sekarang," pungkas Kim.

rap/hp (AP)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait