1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Kala Puluhan Ribu Orang Misa di GBK, Sumarsih Pilih Kamisan

6 September 2024

Puluhan ribu umat Katolik antusias mengikuti misa akbar yang dipimpin Paus Fransiskus di GBK, Sumarsih tetap memilih Kamisan, aksi damai setiap Kamis untuk menolak lupa tragedi pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Indonesia | Aksi Kamisan di Jakarta
Sumarsih, aktivis pelanggaran HAM yang setia melakukan aksi Kamisan di seberang Istana Merdeka, Kamis (5/9)Foto: Muhammad Hanafi/DW

Sambil memakai payung hitam bertuliskan Tragedi Semanggi I 13 November 1998, Sumarsih berdiri di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (5/9). Ia tak sendirian, puluhan orang lain bergabung bersamanya. Datang memakai baju serba hitam, lengkap dengan spanduk-spanduk orasi untuk menyuarakan keadilan bagi berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Aksi damai ini mereka lakukan setiap hari Kamis sekitar jam 3 sore.

Saat kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia, banyak warganet di media sosial yang membagikan poster Sumarsih. Isinya meminta agar Paus bertemu dengan perempuan berusia 72 tahun itu, yang juga merupakan ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan, mahasiswa Unika Atmajaya Jakarta yang tewas dalam peristiwa Semanggi I pada 1998.

Warganet menilai, Sumarsih adalah penganut Katolik yang memiliki komitmen yang mencerminkan prinsip-prinsip Katolik terutama dalam hal memperjuangkan HAM.

”Ya, saya bahagia melihat lambaian tangan Sri Paus dari mobil di sepanjang jalan. Kalau misalnya Sri Paus bertemu dengan saya, saya akan mohon berkat. Mohon berkat agar apa yang saya lakukan untuk mewartakan kebenaran dan keadilan ini adalah seturut dengan ajaran Yesus dan Bunda Maria merestui. Hanya itu saja keinginan saya," ujar perempuan yang bernama lengkap Maria Catarina Sumarsih, kepada DW Indonesia.

Lebih dari 80.000 orang menghadiri misa akbar yang dipimpin oleh Paus Fransiskus di GBK, JakartaFoto: Indonesia Papal Visit Committee

Sumarsih tetap memilih Kamisan meski ada misa akbar di GBK

Puluhan ribu umat Katolik tidak mau melewatkan misa akbar yang berlangsung di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, Kamis (5/9). Namun, Sumarsih tetap setia melakukan Kamisan, aksi yang sudah berlangsung selama 17 tahun ini.

"Ya misa itu kan doa, ya. Doa itu adanya baik-baik, sementara kebetulan saja di sini pada hari ini, hari yang sama dengan aksi Kamisan, jadi saya lebih memilih untuk aksi Kamisan karena saya sangat menghargai dan menghormati kehadiran anak-anak muda yang ada di sini," kata Sumarsih saat ditanya alasannya tidak mengikuti misa di GBK.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Aksi Kamisan diinisiasi oleh Sumarsih. Aksi ini mengundang banyak respons dan dukungan termasuk dari Suciwati, istri pejuang HAM, Munir Said Thalib, yang meninggal akibat diracun di dalam pesawat penerbangan menuju Amsterdam, Belanda pada 2004. Aksi Kamisan kerap dihadiri oleh para keluarga korban pelanggaran HAM, aktivis, jaringan mahasiswa, dan warga sipil lainnya. Seperti biasa, mereka berdiri di seberang Istana Merdeka yang dijaga ketat oleh aparat keamanan.

Aksi damai ini dilakukan setiap hari Kamis sekitar jam 3 sore oleh para keluarga korban pelanggaran HAM, aktivis, jaringan mahasiswa, dan warga sipil lainnyaFoto: Muhammad Hanafi/DW

"Jadi Sri Paus Fransiskus itu kan selalu mengatakan di mana-mana tentang perdamaian. Perdamaian itu adalah rekonsiliasi. Bagi saya sebagai korban pelanggaran HAM berat, rekonsiliasi atau damai itu indah kalau ada keadilan," tegas Sumarsih.

Bagi Sumarsih, kehadiran Paus di Indonesia akan membawa berkah bagi seluruh umat Indonesia. Menurutnya, dengan setia melakukan aksi Kamisan, ia telah memenuhi janji baptis, di mana ia sanggup menolak segala tindakan yang tidak adil, tidak jujur, dan melanggar hak asasi manusia.

Aksi Kamisan sudah berlangsung selama 17 tahun, sejak Januari 2007Foto: Muhammad Hanafi/DW

Peristiwa Semanggi I tahun 1998

Wawan merupakan mahasiswa jurusan ekonomi akuntansi semester 5 yang ikut dalam demonstrasi mahasiswa menolak Sidang Istimewa MPR RI, 13 November 1998.

Menurut Sumarsih, berdasarkan hasil autopsi Wawan dinyatakan meninggal dunia karena ditembak dengan peluru tajam standar militer di dada sebelah kiri sehingga mengenai jantung dan paru-parunya.

"Saya tidak ingin bertemu dengan siapa yang menembak (anak saya) Wawan, tetapi saya tahu siapa yang menembak Wawan apabila ada gelar pengadilan, itu yang saya inginkan. Mengenai yang menembak Wawan itu urusan Tuhan, yang saya perjuangkan adalah tegaknya supremasi hukum dan HAM," tegas Sumarsih.

Ia meyakini bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM berat bisa saja terjadi kembali apabila negara tidak mempertanggungjawabkannya. Dan meski tidak bisa bertemu dengan Paus, Sumarsih yakin Paus berpihak pada para pejuang HAM.

"Tetapi tidak perlu bertemu dengan Paus, saya tahu yang dipikirkan oleh Paus adalah orang-orang yang hidupnya seperti saya. Paus lebih berpihak kepada orang tertindas dari pada dengan para penguasa," tutup Sumarsih.

(mel/hp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait