Rusia harus mencari pasar baru untuk minyak dan gasnya, setelah Eropa tidak lagi menjadi pelanggan besar. Tapi menjual gas tidak semudah minyak, karena perlu infrastruktur pendukung seperti jaringan pipa gas.
Iklan
Rusia adalah salah satu pengekspor terbesar minyak dan gas alam dunia. Menurut Badan Energi Internasional, 45% anggaran negara Rusia pada tahun 2021 berasal dari pendapatan minyak dan gas alam. Selama ini, pelanggan besarnya adalah negara-negara Eropa. Untuk gas alam, hampir tiga perempat dari seluruh ekspor gas alam Rusia dikirim ke negara-negara Eropa.
Invasi Rusia ke Ukraina membuat negara-negara Eropa sekarang ingin secepatnya melepaskan diri dari ketergantungan pada energi Rusia. Dalam dua atau tiga tahun mendatang, ekspor ke Eropa kemungkinan besar akan turun secara drastis.
Lalu siapa yang akan menggantikan Eropa sebagai pelanggan besar? Rusia kemungkinan akan fokus pada peningkatan penjualan ke pelanggan yang sudah ada yang belum, tapi tidak memberlakukan sanksi atas invasi ke Ukraina, seperti Cina dan India.
Mendekat ke Cina
Dalam hal minyak, Cina selama ini adalah pelanggan non-Eropa terbesar Rusia, menyumbang sebagian besar dari 38% ekspor minyak Rusia yang dijual ke negara-negara di kawasan Asia dan Oseania pada tahun 2021.
Iklan
Bagi Cina, Rusia saat ini adalah pemasok minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Para pengamat yakin, Rusia di tahun-tahun mendatang ingin menyalip Arab Saudi sebagai pemasok minyak utama untuk Cina.
"Dinamika paling menarik dari perspektif pasar energi yang akan kita saksikan tahun ini adalah, bagaimana Rusia mencoba untuk menggantikan hubungan komersial lama dari Timur Tengah ke Asia Timur,” kata Fernando Ferreira, analis risiko geopolitik dari biro konsultan energi Rapidan, kepada DW. Target besar Moskow lainnya adalah meningkatkan volume penjualan ke India secara signifikan.
Rusia dan Ukraina: Kronik Perang yang Tidak Dideklarasikan
Akar konflik antara Rusia dan Ukraina sangat dalam. Semuanya diyakini bermuara pada keengganan Rusia untuk menerima kemerdekaan Ukraina.
Foto: Maxar Technologies via REUTERS
Berkaitan, tetapi tak sama
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina memiliki sejarah sejak Abad Pertengahan. Kedua negara memiliki akar yang sama, pembentukan negara-negara Slavia Timur. Inilah sebabnya mengapa Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut kedua negara itu sebagai "satu orang". Namun, sebenarnya jalan kedua negara telah terbagi selama berabad-abad, sehingga memunculkan dua bahasa dan budaya — erat, tapi cukup berbeda.
Foto: AP /picture alliance
1990-an, Rusia melepaskan Ukraina
Ukraina, Rusia, dan Belarus menandatangani perjanjian yang secara efektif membubarkan Uni Soviet pada Desember 1991. Moskow sangat ingin mempertahankan pengaruhnya di kawasan itu dan melihat Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) yang baru dibentuk sebagai alat untuk melakukannya. Sementara Rusia dan Belarus membentuk aliansi yang erat, Ukraina semakin berpaling ke Barat.
Foto: Sergei Kharpukhin/AP Photo/picture alliance
Sebuah perjanjian besar
Pada tahun 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani Treaty on Friendship, Cooperation and Partnership, yang juga dikenal sebagai "Perjanjian Besar". Dengan perjanjian ini, Moskow mengakui perbatasan resmi Ukraina, termasuk semenanjung Krimea,kawasan hunian bagi mayoritas etnis-Rusia di Ukraina.
Krisis diplomatik besar pertama antara kedua belah pihak terjadi, saat Vladimir Putin jadi Presiden Rusia masa jabatan pertama. Pada musim gugur 2003, Rusia secara tak terduga mulai membangun bendungan di Selat Kerch dekat Pulau Tuzla Ukraina. Kiev melihat ini sebagai upaya Moskow untuk menetapkan ulang perbatasan nasional. Konflik diselesaikan usai kedua presiden bertemu.
Foto: Kremlin Pool Photo/Sputnik/AP Photo/picture alliance
Revolusi Oranye
Ketegangan meningkat selama pemilihan presiden 2004 di Ukraina, dengan Moskow menyuarakan dukungannya di belakang kandidat pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Namun, pemilihan itu dinilai curang. Akibatnya massa melakukan Revolusi Oranye atau demonstrasi besar-besaran selama 10 hari dan mendesak diadakannya pemilihan presiden ulang.
Foto: Sergey Dolzhenko/dpa/picture alliance
Dorongan bergabung dengan NATO
Pada tahun 2008, Presiden AS saat itu George W. Bush mendorong Ukraina dan Georgia untuk memulai proses bergabung dengan NATO, meskipun ada protes dari Presiden Rusia Vladimir Putin. Jerman dan Prancis kemudian menggagalkan rencana Bush. Pada pertemuan puncak NATO di Bucharest, Rumania, akses dibahas, tetapi tidak ada tenggat waktu untuk memulai proses keanggotaan.
Foto: John Thys/AFP/Getty Images
Tekanan ekonomi dari Moskow
Pendekatan ke NATO tidak mulus, Ukraina melakukan upaya lain untuk meningkatkan hubungannya dengan Barat. Namun, musim panas 2013, beberapa bulan sebelum penandatanganan perjanjian asosiasi tersebut, Moskow memberikan tekanan ekonomi besar-besaran pada Kiev, yang memaksa pemerintah Presiden Yanukovych saat itu membekukan perjanjian. Aksi protes marak dan Yanukovych kabur ke Rusia.
Foto: DW
Aneksasi Krimea menandai titik balik
Saat kekuasaan di Kiev kosong, Kremlin mencaplok Krimea pada Maret 2014, menandai awal dari perang yang tidak dideklarasikan antara kedua belah pihak. Pada saat yang sama, pasukan paramiliter Rusia mulai memobilisasi pemberontakan di Donbas, Ukraina timur, dan melembagakan "Republik Rakyat" di Donetsk dan Luhansk. Setelah pilpres Mei 2014, Ukraina melancarkan serangan militer besar-besaran.
Gesekan di Donbass terus berlanjut. Pada awal 2015, separatis melakukan serangan sekali lagi. Kiev menuding pasukan Rusia terlibat, tetapi Moskow membantahnya. Pasukan Ukraina menderita kekalahan kedua, kali ini di dekat kota Debaltseve. Mediasi Barat menghasilkan Protokol Minsk, sebuah kesepakatan dasar bagi upaya perdamaian, yang tetap belum tercapai hingga sekarang.
Foto: Kisileva Svetlana/ABACA/picture alliance
Upaya terakhir di tahun 2019
KTT Normandia di Paris pada Desember 2019 adalah pertemuan langsung terakhir kalinya antara Rusia dan Ukraina. Presiden Vladimir Putin tidak tertarik untuk bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelenskyy. Rusia menyerukan pengakuan internasional atas Krimea sebagai bagian dari wilayahnya, menuntut diakhirinya tawaran keanggotaan NATO bagi Ukraina dan penghentian pengiriman senjata ke sana. (ha/as)
Foto: Jacques Witt/Maxppp/dpa/picture alliance
10 foto1 | 10
Tidak ada solusi jangka pendek untuk gas Rusia
Namun, ada keraguan sejauh mana negara-negara seperti China dan India pada akhirnya dapat menggantikan hilangnya ekspor energi ke Eropa. Fernando Ferreira mengatakan, hubungan komersial minyak antara negara-negara Timur Tengah dan negara-negara seperti Cina dan India telah terbangun dan berkembang selama puluhan tahun. "Saya pikir mereka berdua akan sangat berhati-hati untuk sepenuhnya menutup pintu bagi negara-negara Timur Tengah demi suplai dari Rusia," katanya.
Masalah lain yang dihadapi Rusia adalah sanksi negara-negara Barat atas teknologi tinggi yang dibutuhkan dalam produksi minyak. Rusia akan mengalami kesulitan mempertahankan, apalagi unbtuk meningkatkan, kapasitas produksinya. "Rusia akan kesulitan untuk menjaga tingkat pasokan tanpa akses ke teknologi Barat," kata Fernando Ferreira.
Tapi Rusia akan lebih mudah menemukan pasar baru untuk minyak daripada untuk gasnya. Minyak lebih mudah ditransportasi untuk jarak jauh, sedangkan pengiriman gas biasanya dilakukan melalui pembangunan jaringan pipa gas. Selama ini, Rusia tidak membangun kapasitas untuk produksi gas alam cair atau LNG dan masih kalah jauh dari para pesaingnya di pasar global.
Fernando Ferreira mengatakan, satu-satunya pilihan realistis bagi Rusia untuk gas alamnya adalah pengiriman melalu jaringan pipa yang ada atau yang baru antara Cina dan Siberia barat. Selain mahal, pembangunan jaringan pipa perlu waktu lama. "Itu akan memakan waktu cukup lama. Jadi tidak ada solusi jangka pendek untuk gas Rusia," kata konsultan gas Fernando Perreira.