Berbagai argumen membenarkan pembunuhan serta kekejaman terhadap mereka yang dituduh PKI pada 1965-67.
Iklan
Lihatlah apa yang terjadi di Rusia selama pemerintahan Stalin dan Kamboja selama pemerintahan Pol Pot. Mereka adalah penguasa komunis yang telah menewaskan jutaan orang di Negeri mereka sendiri! Apakah Anda mau Indonesia menjadi seperti itu - diperintah oleh orang-orang seperti Stalin atau Pol Pot? Pembunuhan massal ini diperlukan untuk menyelamatkan bangsa Indonesia, mereka menambahkan. Sayang, mereka tidak menyadari bahwa argumen seperti ini telah banyak digunakan oleh berbagai diktator di seluruh dunia untuk membenarkan kampanye pembunuhan massal mereka.
Pol Pot selama hidupnya menyatakan beberapa kali: "Saya ingin kalian mengetahui bahwa semua yang saya lakukan, adalah untuk Bangsa dan Negara." Dan apa yang Pol Pot lakukan, tepatnya? Ia melaksanakan pemberantasan berdarah untuk menyingkirkan orang-orang yang menentangnya dengan memenjarakan atau langsung membunuh siapa pun yang dicurigai berkhianat.
Argumen yang berdasarkan nasionalisme juga didengungkan oleh Stalin ketika ia melaksanakan pembunuhan massal di Ukraina selama tahun 1932-1933, dengan membiarkan orang-oran mati kelaparan. Orang-orang Ukraina menuntut untuk mandiri dari Soviet, tapi Stalin tidak rela melepaskan daerah dengan tanah yang begitu subur itu, sehingga ia mengambil hasil panen dari Ukraina dengan paksa. Jutaan orang meninggal karena kelaparan dan Stalin menyatakan orang-orang Ukraina sebagai "musuh rakyat."
Jadi, genosida terbesar pemimpin Soviet pada awalnya tidak ada hubungannya dengan ideologi komunis. Genosida itu dilancarkan demi perebutan wilayah dan kekuasaan. Orang-orang Ukraina bahkan telah berjuang untuk kemerdekaan mereka sejak zaman para Tsar Russia, jauh sebelum Partai Komunis mengambil alih pemerintahan negeri itu. Jadi, Stalin bisa dibilang hanya melanjutkan wilayah yang dipertahankan oleh jaman Kerajaan Russia. Stalin bahkan tidak segan-segan untuk menghancurkan partai komunis di Ukraina dan organisasi komunis lain yang mengritiknya.
Pol Pot, Stalin dan Suharto sama-sama kejam
Baik Pol Pot, Stalin maupun Suharto, menggunakan alasan serupa: memberantas musuh-musuh mereka, demi menyelamatkan bangsa dan Negara. Rasa patriotisme dan nasionalisme menjadi senjata para diktator untuk mengklaim hak mereka dalam melakukan apa saja. Itu sebabnya tidak ada gunanya untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika Indonesia diperintah oleh orang seperti Pol Pot. Jika Anda melihat otoritarianisme dan berbagai pembunuhan massal yang terjadi, negeri ini sebenarnya sudah diperintah oleh seorang yang jauh lebih buruk daripada Pol Pot, karena Soeharto berhasil mempertahankan kekuasaannya jauh lebih lama dari diktator Kamboja (yang hanya berkuasa kurang dari tahun tiga tahun, dari 25 Oktober 1976 sampai 7 Januari 1979). Bahkan sekarang pun, antek-antek Soeharto masih berkuasa di Indonesia.
G30SPKI: Dusta di Ujung Nyawa Pahlawan Revolusi
Adegan penyiksaan di film G30SPKI terhadap pahlawan revolusi bertentangan dengan otopsi yang diperintahkan Soeharto sendiri. Tapi demi kampanye anti komunis, bagian tersebut dihilangkan. Inilah hasil otopsi tim forensik
Foto: Davidelit
Kabar Burung di Halaman Muka
Adalah dua harian milik ABRI, Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha yang pertamakali melayangkan tudingan "penyiksaan barabarik" terhadap para jendral korban kudeta Partai Komunis Indonesia, termasuk bahwa mata korban "ditjungkil" dan "kemaluannya dipotong." Suharto sendiri dikutip membenarkan adanya "indikasi penyiksaan" di tubuh korban. Padahal hasil otopsi berkata lain.
Otopsi Dr. Kertopati
Selama delapan jam tim forensik yang dipimpin Dr. Roebiono Kertopati dan Dr. Sutomo Tjokronegoro bekerja hingga dini hari buat mengungkap penyebab kematian ketujuh jendral pahlawan revolusi. Hasil otopsi yang dilakukan atas perintah Suharto sendiri itu kemudian ditemukan lagi oleh sejahrawan Cornell University, Amerika Serikat, Ben Anderson.
Foto: Getty Images/Three Lions
Jendral Ahmad Yani
Jendral Ahmad Yani dikabarkan tewas di kediaman pribadinya setelah diberondong peluru oleh pasukan Tjakrabirawa pimpinan Lettu Doel Arief. Hasil otopsi hanya membenarkan separuh klaim tersebut. Tim forensik cuma menemukan delapan luka tembakan dari arah depan dan dua tembakan dari arah belakang. Yani diyakini meninggal dunia seketika sebelum jenazahnya diangkut oleh Tjakrabirawa.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral D.I. Panjaitan
Hal serupa terjadi dengan Brigade Jendral Donald Isaac Panjaitan. Hasil pemeriksaan menyebut dia mendapat tiga tembakan di bagian kepala dan sebuah luka kecil di lengan. Tidak ada bukti penyiksaan pada tubuh seperti yang ditudingkan oleh mabes ABRI kala itu.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral M.T. Haryono
Adapun laporan kematian Letnan Jendral Mas Tirtodarmo Haryono masih menimbulkan teka-teki karena tercatat tidak memiliki luka tembakan. Dokter hanya menemukan luka tusukan di bagian perut yang diduga disebabkan oleh bayonet. Luka serupa yang ditengarai tidak fatal juga ditemukan pada punggung dan pergelangan tangan korban yang diduga muncul ketika jenazah dilemparkan ke Lubang Buaya.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral Siswondo Parman
S. Parman menderita lima luka tembakan, termasuk dua di kepala yang menyebabkan kematiannya. Tim forensik juga menemukan luka atau retakan pada tengkorak, rahang dan bagian bawah kaki kiri yang disebabkan oleh trauma. Tidak ada yang bisa memastikan penyebab trauma tersebut. Ben Anderson menulis pukulan popor senjata atau benturan pada lantai dan dinding sumur bisa menjadi penyebabnya.
Foto: Davidelit
Letnan Jendral Soeprapto
Letjen Soeprapto meninggal dunia akibat sebelas luka tembakan di berbagai bagian tubuh. Serupa S. Parman, dia juga menderita keretakan tulang di bagian tengkorak dan tiga luka sayatan yang diduga disebabkan oleh bayonet. Keretakan pada tulang korban diyakini sebagai akibat benturan dengan benda tumpul seperti popor senapan atau batu.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral Sutoyo Siswomiharjo
Brigjend Sutoyo adalah sosok yang paling ramai dikaitkan sebagai korban penyiksaan PKI. Di dalam film G30SPKI anggota Gerwani ditampilkan menyungkil salah satu matanya. Namun hasil otopsi berkata lain. Sutoyo menderita tiga luka tembakan, termasuk satu luka fatal di kepala, dan trauma di bagian lengan kanan.
Foto: Davidelit
Kapten Czi. Pierre Tandean
Serupa yang lain, Pierre Tandean meninggal dunia akibat empat tembakan oleh pasukan Tjakrabirawa. Dia juga menderita luka dalam di bagian kening dan lengan kiri, serta "tiga luka terbuka akibat trauma di kepala." Tidak seorangpun dari tim dokter forensik bisa memastikan indikasi penyiksaan seperti yang ditudingkan Suharto kala itu.
Foto: Davidelit
9 foto1 | 9
Sekarang, perkenankan saya bercerita tentang pertemuan saya dengan warga Kamboja di awal 1990-an yang menyatakan bahwa Pol Pot bukanlah pembunuh massal tetapi seorang patriot besar yang mencintai negaranya. Warga Kamboja ini menekankan: "Jika Pol Pot tidak menghukum kaum kapitalis, kita pasti sudah hancur karena orang seperti Presiden Anda, Soeharto!"
Tentu saja, Pol Pot bisa dengan mudah menggunakan kasus di Indonesia untuk membenarkan genosida berdarah atas instruksinya: "Lihatlah apa yang terjadi pada para komunis di Indonesia, ini bisa terjadi pada kita, jika kita tidak membasmi orang-orang yang menentang komunisme!" Jika Anda mendukung genosida komunis di Indonesia karena alasan ini, berarti dengan tidak langsung, Anda juga membenarkan pembunuhan massal di mana saja. Bagaimana Anda bisa begitu pasti bahwa membunuh seseorang adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan hidup Anda?
Dan bagaimana orang bisa yakin bahwa jika komunisme tidak diberantas di Indonesia, PKI akan berkuasa? Partai Nasional Indonesia (PNI) mungkin saja masih berkuasa jika Soeharto tidak mengambil alih. Kemungkinan lain adalah Masyumi, Partai berbasis Islam, akan menang dalam Pemilu selanjutnya. Karena partai ini adalah pemenang kedua (setelah PNI) dalam pemilihan terakhir sebelum rezim Orde Baru. PKI berada dalam urutan keempat pada Pemilu terakhir semasa Sukarno. Dan juga ada kemungkinan terbentuk koalisi, karena Sukarno seringkali mendengungkan konsepnya tentang persatuan nasionalisme, komunisme dan agama.
Tentu saja, ada banyak sekali kemungkinan, tetapi retorika "membunuh atau dibunuh" telah membuat mustahil bagi orang untuk melihat kemungkinan-kemungkinan lain ini.
Propaganda licik
Banyak orang juga gagal untuk memahami bahwa jika komunis di Indonesia benar-benar siap dengan pemberontakan, mengapa begitu mudah untuk membunuh mereka secara massal? Jutaan orang dibantai dengan darah dingin, dikubur hidup-hidup, dipenjara, disiksa dan diperkosa hampir tanpa ada yang perlawanan serius dari para korban ini.
Misteri Di Balik Supersemar
Supersemar mengubah wajah Indonesia dalam sekejap. Tidak banyak yang diketahui tentang surat sakti yang membuka jalan kekuasaan Suharto itu. Sang diktatur sendiri memilih membawa rahasianya itu hingga ke alam baka
Foto: Public Domain
Sejarah di Surat Palsu
Saat ini arsip negara menyimpan tiga versi Surat Perintah Sebelas Maret. Salah satunya berasal dari Sekretariat Negara, yang lain dari Pusat Penerangan TNI Angkatan Darat dan terakhir cuma berupa salinan tanpa kop surat kenegaraan. Ketiga surat tersebut dinyatakan palsu oleh sejarahawan. Hingga kini tidak jelas di mana keberadaan salinan asli Supersemar.
Foto: Public Domain
Tiga Diutus Suharto
Misteri juga menggelayuti penandatanganan Supersemar. Awalnya Sukarno dilarikan ke Bogor setelah sidang kabinet 11 Maret 1966 di Jakarta dikepung oleh "pasukan liar" yang kemudian diketahui adalah pasukan Kostrad. Di Bogor Sukarno disantroni tiga jendral utusan Suharto. Sejarah lalu mencatat buram apa yang terjadi di Istana. Yang jelas pulang ke Jakarta ketiga jendral telah mengantongi Supersemar
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Sebuah Pistol dan Amuk Massa
Tidak jelas bagaimana Sukarno mau menandatangani surat yang praktis melucuti kekuasaannya itu. Kesaksian pengawal presiden, Sukardjo Wilardjito, menyebut Sukarno ditodong pistol oleh seorang jendral utusan Suharto. Catatan lain menyebut Sukarno terpaksa membubuhkan tandatangannya karena saat itu istana Bogor telah dikepung tank-tank TNI dan ribuan massa yang berunjuk rasa.
Foto: picture-alliance/dpa
Serah Kuasa Jendral Bintang Lima
Supersemar diyakini tidak menyebut secara eksplisit penyerahan kekuasaan kepada Suharto seperti yang dipropagandakan oleh TNI. Dalam pidato Sukarno pada 17 Agustus 1966 ia mengecam pihak yang telah menghianati perintahnya. "Jangan jegal perintah saya. Jangan saya dikentuti!" pekiknya saat itu. Sukarno kembali menekankan Supersemar bukan "transfer of authority, melainkan sekedar surat perintah"
Foto: picture-alliance/dpa
Surat Istana Berkop Militer
Sejumlah orang mengaku mengetik Supersemar, antara lain Letkol (Purn) Ali Ebram, seorang perwira Cakrabirawa. Menurutnya ia mengetik naskah Supersemar dengan didampingi langsung oleh Sukarno. Namun sejahrawan Irlandia, Benedict Anderson mencatat kesaksian perwira lain bahwa Supersemar ditulis di atas kertas berkop Markas Besar Angkatan Darat. Artinya naskah Supersemar tidak disusun oleh Sukarno
Foto: Bartlomiej Zyczynski/Fotolia.com
Gerak Cepat Suharto
Hanya 24 jam setelah terbitnya surat sakti itu Suharto membubarkan PKI, menangkapi anggota kabinet dan orang-orang tedekat Sukarno. Menurut adik Suharto, Probosutedjo, surat itu tidak secara eksplisit memerintahkan pembubaran PKI. Sebab itu pula Sukarno menerbitkan surat perintah 13 Maret buat menganulir Supersemar. Serupa Supersemar, naskah asli surat perintah itu hingga kini lenyap tanpa bekas
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Terbenamnya Sang Putra Fajar
Setelah kekuasaannya dilucuti, Sukarno diasingkan dari kancah politik di Jakarta. Ia dilarang membaca koran atau mendengar radio. Kunjungan keluarga dan layanan kesehatan dibatasi. Sementara itu Suharto mulai membangun kekuasaan dengan membentuk kabinet dan membujuk parlemen untuk mengesahkan Supersemar dalam TAP MPRS No. IX/MPRS/1966.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/A. Priyono
Membisu Hingga ke Alam Baka
Supersemar pada akhirnya digunakan oleh Suharto untuk melahirkan rejim orde baru. Hingga kematiannya sang diktatur tidak berniat membuka tabir sejarah gelap tersebut, begitu pula dengan orang-orang terdekatnya. Berbagai upaya yang dilakukan Arsip Nasional untuk menemukan naskah asli Supersemar terbentur sikap diam pejabat orba. Saat ini semua saksi kunci Supersemar telah meninggal dunia.
Foto: Public Domain
8 foto1 | 8
PKI adalah salah satu partai komunis terbesar di dunia pada tahun 1960, dengan sekitar tiga juta anggota. Jika jutaan manusia ini benar-benar bersenjata dan siap untuk memberontak, seperti yang dipropagandakan oleh Soeharto, tidakkah mereka akan melawan pembunuhan besar-besaran anggota mereka? Namun cuci-otak yang disebarkan oleh rezim Orde Baru telah menghambat orang untuk berpikir jernih tentang masalah ini.
Seorang pemimpin Partai Nazi, Hermann Goering, sangat mengerti tentang strategi untuk membuat orang tidak lagi bisa berpikir kritis dan menyetir mereka. Dengan menyebar ketakutan, maka massa bisa digerakkan untuk mendukung pembunuhan massal: "Orang-orang tidak ingin perang, tapi mereka selalu bisa disetir untuk mengikuti kehendak pemimpin mereka. Ini mudah,” Begitu Goering sempat menyatakan: "Yang harus Anda lakukan adalah memberitahu mereka bahwa negeri dan rakyat sedang diserang, dan mencela para pencinta damai karena kurangnya jiga patriotisme mereka karena tidak bersedia bertindak saat negara dalam bahaya. "
Banyak orang Indonesia telah jatuh ke dalam perangkap ini pada tahun 1965 dan masih belum bebas dari propaganda licik itu hingga kini.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
(Versi bahasa Inggris artikel ini telah dimuat di The Jakarta Globe).
Soe Tjen Marching, koordinator IPT 65 seluruh Britania dan sedang menulis buku tentang korban Genosida 1965.