Kanselir Merkel Tunjukkan Toleransi Beragama
10 Juli 2012Semua ingin berjabat tangan dengannya. Para perempuan di Mesjid Istiqlal tampak berdesakan di dekat Kanselir Jerman. Angela Merkel mengunjungi Indonesia untuk pertama kalinya sebagai kepala pemerintahan.
Kunjungan Kanselir Jerman di Mesjid Istiqlal (10/07) adalah agenda resmi. Tapi itu juga sebuah kunjungan putri pendeta Angela. Hanya beberapa langkah dari Istiqlal, Angela Merkel juga mengunjungi Gereja Protestan Immanuel. Di gereja itu Kanselir Angela Merkel juga menceritakan bagaimana ia besar di sebuah rumah pendeta di Mecklenburg Jerman. Dan katanya, „Kami memandang Indonesia sebagai model perkembangan yang damai dan toleran.
Indonesia Sebagai Negara Ideal
Barat sering memuji Indonesia sebagai contoh sebuah demokrasi Islam, sebagai jembatan antara Islam dan Kristen. Menlu AS Hillary Clinton dalam kunjungannya tahun 2009 memuji „Jika Anda ingin tahu apakah Islam, demokrasi, modernitas dan hak-hak perempuan dapat eksis bersama, pergilah ke Indonesia.“
Sejak berakhirnya era Suharto 1998, Indonesia berkembang pesat. Ekonominya menguat, kepercayaan dirinya meningkat dan kehidupan bersama yang damai. Tapi itu bukan hal yang mudah.
Banyak warga Indonesia kecewa terhadap pemerintah dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di mata banyak pemilih SBY dianggap terlalu lemah dan kurang berani mengambil keputusan. Dan dalam urusan agama pemerintah jauh dari kenyataan, demikian kritik Elga Sarapung Direktur Institut DIAN/Interfidei. "Secara resmi pemerintah hanya mengakui 6 agama. Padahal ada berbagai macam aliran agama di Indonesia. Mengapa kita harus mengecualikan agama-agama lainnya?"
Beberapa tahun terakhir kekerasan bermotif agama meningkat. Organisasi HAM "Human Rights Watsch" menarik kesimpulan serupa. Dan studi "Centre for Strategic and International Studies" (CSIS) di Washington menggambarkan tidak adanya toleransi beragama yang besar. Hampir 80 persen responden di Indonesia menentang pernikahan beda agama.
Pemerintah Tidak Bertindak
Memang konstitusi pada dasarnya melindungi kegiatan beragama secara bebas. Tapi makin banyak Gereja yang ditutup, diperkirakan lebih dari 400 Gereja sejak Yudhoyono mulai memegang jabatan presiden tahun 2004. Seringkali ini terjadi akibat tekanan kelompok militan Islam. Dan pengadilan sering merujuk pada undang-undang blasphemy (penistaan agama) yang kontroversial untuk menghukum warga ateis, Kristen atu juga anggota kelompok Ahmadiyah.
Bulan Februari 2011 di Cikeusik, 20 pendukung Ahmadiyah diserang oleh sekitar 1500 anggota kelompok radikal. Tiga warga Ahmadiyah tewas, lima lainnya luka-luka. Pelakunya hanya dijatuhi hukuman ringan. "Ini adalah contoh lemahnya pemerintah dalam melindungi hak-hak warga minoritas". Demikian kritik Badrus Samsul Fata dari Wahid-Institut di Jakarta.
Pemerintah seolaj tidak mampu bergerak sehubungan tampilan Islam yang militan. Padahal kelompok Hardliner ini tidak besar tapi suaranya lantang. Demikian kata Elga Sarapung dalam pembicaraan dengan DW. "Lewat media mereka memiliki peluang menyampaikan pandangannya. Oleh karena itu muncul kesan, seolah mereka berkuasa di sini."
Kebisuan Mayoritas sebagai Kekuatan Tandingan
Sebelulnya Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang toleran. Bagi sebuah negara yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau dan lebih dari 300 suku bangsa dan setidaknya begitu banyak haluan kepercayaan lokal, toleransi juga penting.
Oleh karena itu Badrus Samsul Fata dari Wahid Institut seperti kebanyakan warga Indonesia lainnya, dalam menghadapi para hardliner mengandalkan "kebisuan mayoritas". Tapi mereka juga lambat laun harus bangkit, menurut Badrus „masyarakat sipil dapat menghentikan para hardliner ini. Tapi jika mereka terlambat menyadarinya, itu akan merusak semua.“
Masyarakat sipil sebagai kekuatan besar. Dalam kunjungannya di Indonesia Kanselir Angela Merkel berbicara dengan berbagai kelompok, juga walaupun bukan agama tema utama pembicaraan. Ini lebih dipandang sebagai isyarat dan itulah yang diandalkannya. Sebagai umat Protestan di Mesjid Istiqlal yang pembuatannya dirancang oleh seorang umat Kristen. Demikian toleransi di Indonesia.
Monika Griebeler/Dyan Kostermans
Editor: Hao Gui