1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
MigrasiJerman

Kanselir Olaf Scholz Setujui Aturan Lebih Ketat soal Migrasi

11 Mei 2023

Lonjakan migran pada tahun 2022 membuat negara-negara Uni Eropa termasuk Jerman mengisyaratkan adanya revisi peraturan migrasi yang lebih ketat.

Kanselir Jerman Olaf Scholz (SPD) dalam KTT Jerman tentang Biaya Pengungsi
Kanselir Olaf Scholz memimpin pertemuan dengan kabinetnya dan para kepala 16 negara bagian JermanFoto: Bernd von Jutrczenka/dpa/picture alliance

Kanselir Jerman Olaf Scholz dan 16 kepala negara bagian Jerman pada hari Rabu (10/05) menyepakati langkah-langkah baru dalam mengatasi lonjakan angka migrasi setelah melalui diskusi panjang.

Dalam empat bulan pertama pada tahun 2023, sebanyak 101.981 permohonan suaka diajukan di Jerman, di mana angka tersebut meningkat 78 persen dari periode yang sama pada tahun 2022.

Hampir 218.000 permohonan telah diajukan di Jerman pada tahun lalu, jumlah tertinggi sejak tahun 2015-2016. Jumlah pendatang baru terbanyak di Jerman berasal dari Suriah dan Afganistan yang tengah dilanda peperangan, disusul Turki dan Irak.

Selain itu, lebih dari satu juta migran tiba dari Ukraina, setelah Rusia menginvasi negara tersebut pada Februari tahun lalu.

Modernisasi sistem IT dipercaya mampu mempercepat proses pengajuan dan aplikasi permohonan suaka para migranFoto: Markus Schreiber/AP/picture alliance

Aturan baru yang disepakati

Dalam kesepakatan pertemuan pada hari Rabu (10/05), modernisasi sistem IT dirasa mampu mempercepat proses pengajuan dan aplikasi permohonan suaka, yang saat ini memakan waktu rata-rata sekitar 26 bulan. Pembaharuan sistem ini juga berpotensi untuk mempercepat permohonan para migran yang tidak dapat diproses atau tidak berhasil.

Perpanjangan masa detensi maksimum bagi para migran, yang semula 10 hari kini diubah menjadi 28 hari, kesepakatan ini mempermudah perintah dan proses penahanan mereka sebelum adanya kemungkinan deportasi.

Jerman juga akan berusaha untuk mencapai perjanjian "kemitraan migran terbaru" dengan negara-negara asal para pendatang yang mengajukan suaka ke Jerman, kata Scholz dalam sebuah konferensi pers.

Scholz juga mengatakan bahwa perjanjian tersebut akan memfasilitasi kedatangan "staf yang memenuhi syarat" dari negara-negara bersangkutan, dengan imbalan pertukaran dan pemulangan para migran tak berizin atau migran gelap.

Jerman hanya menerapkan pemeriksaan tetap di sepanjang jalur perbatasan dengan negara AustriaFoto: Theresa Wey/AP/picture alliance

Jalur perbatasan mulai diperketat

Pemerintah federal Jerman dan wilayah negara-negara bagiannya telah memilih untuk tidak menerapkan adanya pemeriksaan tetap di perbatasan dengan negara-negara tetangga, tetapi juga menolak untuk mengabaikan persoalan itu.

Saat ini, Jerman hanya menerapkan pemeriksaan tetap bagi setiap orang yang ingin melintas di sepanjang jalur perbatasannya dengan negara Austria. Mengacu pada peraturan tersebut, Scholz mengatakan bahwa "langkah-langkah serupa" akan diambil dengan negara-negara tetangga lainnya sesuai dengan situasi dan kondisi.

Secara wilayah, Jerman berbatasan dengan negara Belgia, Republik Ceko, Denmark, Prancis, Luksemburg, Belanda, Polandia, dan juga Swiss.

Pemberlakuan kembali pemeriksaan di jalur perbatasan untuk pergerakan bebas wilayah Schengen Uni Eropa, hanya diizinkan dalam keadaan tertentu.

Solusi jangka panjang

Pemerintah Jerman juga berkomitmen untuk menyuntikkan dana sebesar satu miliar euro (setara Rp16,1 triliun) kepada negara-negara bagiannya, melalui pembentukan kelompok kerja yang bertugas untuk mengkaji solusi jangka panjang.

Para pemimpin regional telah lama menuntut lebih banyak alokasi dana bantuan untuk mengatasi lonjakan para pendatang baru di wilayahnya, di mana banyak negara bagian Jerman dipaksa untuk membangun tempat penampungan sementara bagi para migran tersebut.

"Mengontrol dan membatasi migrasi gelap" adalah prioritas pemerintahan Jerman, kata Scholz.

Melonjaknya para pencari suaka baru-baru ini juga beriringan dengan meningkatnya jumlah dukungan bagi partai sayap kanan AfD, terutama di wilayah Jerman timur yang dulunya dikuasai pihak komunis.

Partai antimigran tersebut memperoleh suara sekitar 15 persen, 4,7 persen lebih banyak dibandingkan dengan pemilihan umum terakhir pada 2021, yang hanya mendapatkan suara sebanyak 10,3 persen.

kp/ha (AFP)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait