Kapal AL Cina Mata-Matai Latihan Perang Laut Malabar
16 Juni 2016
Jepang kembali berang kepada Cina. Pasalnya, latihan perang laut gabungan Malabar 2016 bersama AS dan India di Okinawa diintai kapal mata-mata Cina.
Iklan
Tokyo kembali melontarkan nada marah kepada Beijing. Gara-garanya sebuah kapal mata-mata Cina "nyelonong" ke perairan Jepang, saat digelar latihan perang gabungan tiga negara yang melibatkan Amerika Serikat, Jepang dan India, yang diberi nama operasi Malabar 2016 di perairan Okinawa Jepang.
Pemerintah di Tokyo sontak melontarkan kritik, yang menyebutkan "mencemaskan aktivitas militer Cina secara keseluruhan di kawasan kedaulatan Jepang".
Latihan Perang Laut Gabungan Malabar 2016 di Okinawa
01:13
Namun kementrian pertahanan Cina di Beijing menepis kritik itu. Disebutkan, kapal mata-mata Cina tidak melanggar peraturan internasional. Kapal Cina itu juga beraksi sesuai dengan prinsip kebebasan navigasi.
Komandan kapal perang AS USS John C Stennis, Captain Greogory C Huffman mengatakan, kapal Cina itu melintas sekitar 3 mil laut dari kapal perang AS. "Mereka bertindak profesional dan melakukan komunikasi radio", ujar Huffman.
Insiden lanjutan
Insiden yang dikeluhkan Jepang itu menambah panjang daftar konflik dan ketegangan antara kedua negara, terkait sengketa Laut Cina Selatan. "Kami akan terus melakukan patroli militer di kawasan laut dan udara Jepang", ujar menteri sekretaris kabinet Hiroshige Seko di Tokyo.
Insiden serupa terjadi tahun 2004 silam. Ketika itu sebuah kapal selam nuklior Cina terdeteksi berada di sekitar perairan pulau Ishigaki milik Jepang.
Pangkalan Militer Cina di Laut Cina Selatan
Kendati luput dari perhatian, konflik Laut Cina Selatan terus memanas dalam diam. Cina membangun pulau buatan untuk dijadikan pangkalan militer. Salah satu landasan pacu bahkan mampu didarati pesawat pembom jarak jauh
Foto: CSIS, IHS Jane's
Pesawat Pembom di Spratly?
Sejak pertengahan 2014 militer Cina sibuk memperluas "Fiery Cross Reef" di tepi barat kepulauan Spratly. Pakar di "Centre for International and Strategic Studies" di Washington dan Asia Maritime Transparency Initiative meyakini, negeri tirai bambu itu tengah membangun pangkalan udara sepanjang tiga kilometer. Landasan sepanjang itu mampu menampung pesawat pembom jarak jauh tipe H-6 milik Cina
Foto: CSIS, IHS Jane's
Wilayah Abu-abu
Gaven-Riff yang terletak di utara kepulauan Spratly diperluas sebanyak 115.000 meter persegi sejak Maret 2014. Pakar hukum internasional menilai, Cina sedang berupaya membetoni klaimnya atas kepulauan tersebut.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Cepat Bertindak
Citra satelit yang dibuat 2014 silam menampilkan betapa militer Cina menggenjot kegiatan konstruksi di Gaven-Riff. Antara bulan Maret (kiri) dan Agustus (kanan) terbentuk sebuah pulau baru.
Cina juga membangun landasan pacu militer di Johnson South Reef. Landasan ini sendiri diyakini terlampau pendek untuk tujuan strategis. Namun pulau ini menegaskan klaim Cina terhadap kepulauan Spratly.
Foto: CSIS
Sistematis
Kegiatan konstruksi yang digalang Cina di Hughes-Riff serupa dengan di Gaven-Riff. Negeri tirai bambu itu diyakini telah mengembangkan metode baku tentang cara pembuatan pulau.
Foto: AMTI
Protes Filipina
Februari 2015 silam pemerintah Filipina kembali melayangkan nota diplomatik yang memrotes Cina. Penyebabnya adalah langkah Beijing membangun pangkalan di Mischief-Riff yang cuma terpaut jarak 135 kilometer dari pulau Palawan milik Filipina. Foto terbaru dari 19 Januari membuktikan kegiatan konstruksi di pulau tersebut.
Foto: CSIS
Perlawanan Seadanya
Tahun 1999 militer Filipina menenggelamkan kapal "Sierra Mader" di Ayungin Atoll. Sejak saat itu serdadu Filipina berjaga-jaga di sekitar kapal. Langkah tersebut adalah upaya Filipina menjauhkan Cina dari pulau yang diklaim Manila.
Foto: Reuters
Konflik Teritorial
Aksi Cina membangun pulau baru di kepulauan Spratly menambah ketegangan di wilayah. Saat ini Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei ikut menancapkan klaimnya di kepulauan tersebut. Sementara Indonesia bertindak sebagai mediator.
Foto: DW
8 foto1 | 8
Sengketa Laut Cina Selatan yang melibatkan sedikitnya 4 negara anggota ASEAN juga disinggung dalam pertemuan tingkat menteri ASEAN dan Cina di Yuxi Cina. Tanpa menyebut nama negara, para menteri ASEAN menyebutkan: "menyatakan kekhawatiran serius terkait perkembangan yang menggerogoti kepercayaan, meningkatkan ketegangan dan bisa berpotensi merugikan perdamaian , keamanan serta stabilitas di kawasan Laut Cina Selatan."
Sengketa Wilayah Paling Berdarah di Bumi
Ribuan orang harus melepas nyawa demi mempertahankan atau berebut sepetak tanah di Bumi. Inilah konflik perbatasan paling mematikan di dunia saat ini.
Foto: Marco Longari/AFP/Getty Images
Laut Cina Selatan
Enam negara berebut dua gugusan pulau di Laut Cina Selatan: Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei dan Taiwan. Konflik seputar salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia ini belakangan semakin memanas. Kepulauan Spratly pernah dua kali menjadi medan pertempuran antara Cina dan Vietnam, yakni tahun 1974 dan 1988. Terakhir kali kedua negara bertempur, Vietnam kehilangan 64 serdadunya.
Foto: imago/Westend61
Nagorno Karabakh
Sejak Perang Dunia I Armenia dan Azerbaidjan sudah saling bermusuhan. Perseteruan itu berlanjut saat kedua negara berebut Nagorno Karabakh, wilayah subur seluas pulau Bali. Antara 1988 dan 1992, Armenia dan Azerbaidjan terlibat konflik yang menewaskan lebih dari 35.000 serdadu dan warga sipil. April 2016 perang kembali berkecamuk selama empat hari. Lebih dari 100 orang dinyatakan tewas
Foto: Getty Images/B. Hoffman
Kashmir
Sejak 1989 India berperang melawan kelompok bersenjata yang disokong Pakistan di Jammu Kashmir. Sejak saat itu lebih dari 21.000 gerilayawan tewas dan sekitar 5000 pasukan India gugur dalam tugas. Perang di Jammu Kashmir merefeleksikan konflik wilayah antara India dan Pakistan yang sebagiannya juga direcoki oleh Cina. Hingga kini konflik Kashmir masih berlanjut tanpa jalan keluar
Foto: picture-alliance/dpa/J. Singh
Semenanjung Krimea
Semenanjung di Laut Hitam ini sebenarnya kenyang konflik. Kekaisaran Rusia pernah bertempur melawan koalisi Kesultanan Usmaniyah yang didukung Inggris dan Perancis di abad ke19. Pada 2014 silam Rusia kembali unjuk gigi dengan menyokong pemberontakan melawan Ukraina. Kini Krimea menyatakan diri merdeka dan menjadi negara boneka Moskow.
Foto: picture-alliance/ITAR-TASS
Preah Vihear
Kamboja dan Thailand saling serang berebut kawasan Preah Vihear antara 2008 hingga 2011. Lebih dari 40 orang tewas, termasuk warga sipil. Wilayah di sekitar candi Preah Vihear ini sudah menjadi sengketa sejak Perang Dunia II. Tahun 1962 pengadilan internasional mengakui klaim Kamboja atas kompleks candi yang dibangun pada abad ke 11 itu. Namun Thailand tetap mengklaim kawasan di sekitarnya
Foto: picture-alliance/dpa
Dataran Tinggi Golan
Wilayah pegunungan yang membelah Israel dan Suriah ini sudah sering membuahkan perang antara kedua negara. Pertama tahun 1967 pada Perang Enam Hari, dan terakhir tahun 1973 ketika Israel bertempur melawan koalisi Arab dalam Perang Yom Kippur. Dataran Tinggi Golan diminati karena letaknya yang strategis. Sejak 1967 kawasan subur ini dikuasai oleh Israel.
Foto: Reuters/B. Ratner
Sahara Barat
Sejak 46 tahun Maroko bertempur melawan Republik Sahrawi yang mengklaim seluruh Sahara Barat sebagai wilayahnya. Hingga kini sebagian besar kawasan sengketa seluas dua kali pulau Jawa ini masih dikuasai Maroko. Menurut catatan sejarah, sejak awal perang sudah 21.000 nyawa melayang.
Foto: DW/A. Errimi
Pulau Malvinas/Falkland
Digerakkan oleh rasa nasionalisme, Argentina 1982 menduduki pulau Malvinas yang dikuasai Inggris. Akibatnya perang berkecamuk dan hampir 1000 serdadu meninggal dunia. Malvinas alias Falkland adalah konflik peninggalan era kolonialisme. Kepulauan seluas Nusa Tenggara Barat itu sudah diperebutkan oleh Spanyol dan Inggris sejak abad ke18
Foto: picture alliance/dpa/F. Trueba
Osetia Selatan & Abkhazia
Lebih dari 500 serdadu dan warga sipil tewas ketika Rusia mencaplok wilayah Georgia dan mendeklarasikan negara boneka. Abkhazia sudah bertempur demi kemerdekaan sejak awal 90an. Saat itu kelompok separatis melakukan pembersihan etnis Georgia. Lebih dari 10.000 orang tewas dan ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi. Perang etnis juga terjadi di Osetia Selatan antara 1989 hingga 1998.