1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Raja Thailand Nikmati Karantina Mewah Saat Negara Menderita

5 Mei 2020

Raja Thailand menikmati kehidupan di sebuah hotel mewah di Jerman, sementara rakyatnya di Thailand menderita di tengah pandemi COVID-19. Setiap orang dilarang mengkritik, meskipun perilaku sang raja "memalukan".

Raja Thailand Maha Vajiralongkorn
Foto: picture-alliance/Royal Press Europe/A. Nieboer

Kehidupan di Thailand terhenti akibat pandemi virus corona. Jalanan di ibu kota Bangkok yang biasanya ramai berubah sepi. Bandara Suvarnabhumi yang merupakan pintu masuk pariwisata internasional, mengalami penurunan lalu lintas yang cukup drastis. Industri pariwisata Thailand yang menjadi penyumbang 20% dari PDB negara itu pada 2018, kini telah terhenti. 

Selama krisismasyarakat mengharapkan pemimpin yang menunjukkan solidaritas dan dukungan. Tetapi Raja Thailand, Maha Vajiralongkorn absen dari kerajaannya sejak pandemi COVID-19 merebakIdiketahui tinggal sementara di sebuah hotel mewah di Pegunungan Alpen Bavaria, Jerman. 

Vajiralongkorn menikmati izin khusus untuk tinggal di Hotel Sonnenbichl di Garmisch-Partenkirchen. Menurut otoritas setempat, hotel ini tidak terbuka untuk umum. Raja dan rombongannya memiliki izin khusus karena mereka adalah ''kelompok orang homogen tunggal tanpa fluktuasi.''

Hotel mewah

Raja tidak hidup sendirian, rombongannya terdiri dari 100 orangtermasuk diantaranya 20 selirnya. Pada akhir Maret, media Jerman melaporkan bahwa raja berwisata di sekitar Jerman menggunakan pesawat pribadi Boeing 737 untuk mengunjungi Hanover, Leipzig, dan Dresden. Laporan menyebut Vajiralongkorn tidak turun dan langsung berangkat lagi setelah mendarat. 

Raja dikenal karena perilaku eksentriknya. Ia secara resmi menggantikan ayahnya naik tahta pada Oktober 2016 namun baru dinobatkan melalui proses upacara megah selama tiga hari pada Mei 2019. Berbeda dengan sang ayah yang dihormati oleh rakyat Thailand, Vajiralongkorn tercatat sering terlibat skandal. 

"Perilaku raja selama krisis virus corona telah menjadi bencana bagi reputasi monarki Thailand," kata wartawan dan aktivis Andrew MacGregor Marshall, menambahkan bahwa raja adalah "raja yang bermasalah, sadis, dan otoriteryang seharusnya tidak memiliki tempat di abad ke-21." 

Kritik berbahaya

Marshall, penulis buku "A Kingdom in Crisis," diizinkan untuk mengatakan apa yang diinginkannya tentang Raja Vajiralongkorn. Di Thailand, kritik semacam ini akan dihukum berat di bawah undang-undang lese majeste, yang melarang pernyataan atau pendapat yang meremehkan tentang raja dan keluarga kerajaan. Siapa pun yang melanggar, akan diancam hukuman 15 tahun penjara.  

Ada sejumlah kasus di masa lalu, beberapa warga Thailand dijebloskan ke penjara selama bertahun-tahun karena postingannya di Facebook. Namun demikian, media sosial tetap menjadi satu-satunya sumber untuk memahami bagaimana perasaan orang Thailand, terutama generasi muda, tentang kerajaan. 

Terlepas dari risikonya, cuitan dari sejarawan di pengasingan Somsak Jeamteerasakul beredar di media sosial Thailand pada akhir Maret, menunjukkan jalur penerbangan raja ke Jerman dan bertanya dalam bahasa Thailand: "Untuk apa kita membutuhkan seorang raja?" postingan itu dengan cepat dibagikan ribuan kali dan menjadi trending topic selama berminggu-minggu. 

Dan untuk waktu yang lama, beberapa meme populer telah beredarmenduplikasi cuplikan Game of Thrones HBO: "Kami tidak melayani raja sial yang hanya menjadi raja karena ayahnya." 

Beberapa warganet melayangkan kritik mereka, bukan hana pada raja tetapi pada sistem monarki secara keseluruhan.

Seorang pengguna Facebook, misalnya menulis: ''Melihat orang-orang mempertanyakan di Twitter mengapa kita membutuhkan seorang raja, membuat saya senang, tetapi saya ingin kita lebih dari sekadar menghina dia di Twitter. Saya ingin orang membaca atau mendengar pembahasan tentang topik ini dan menekankan secara sistematis mengapa sistem ini ada, mengapa dianggap sangat penting dan mengapa, saat ini, tampaknya tidak perlu.''

Beberapa warganet bahkan secara tersirat menuntut penghapusan sistem kerajaan: "Jujur, saya ingin memiliki presiden." 

Namun seorang pakar Thailand, yang ingin tetap anonim karena alasan keamanan, menyebut warga Thailand yang berusia di atas 30 tahun masih memegang teguh sistem monarki meskipun mereka diam-diam tidak menyetujui tindakan raja yang sekarang. 

Kekuatan raja yang absolut 

Pakar Thailand, Marshall, tidak percaya bahwa ketidaksenangan yang tumbuh terhadap raja akan mengarah pada langkah konkret melawan monarki karena dukungan militer terhadap raja. 

Vajiralongkorn telah berhasil mendorong kerajaan ke arah monarki absolut sejak menjabat, meskipun secara resmi negara itu masih monarki konstitusional, kata Marshall. 

Untuk tujuan ini, raja telah membawa unit elit prajurit dan polisi di bawah kendalinya langsung. Ia mengambil kendali langsung aset keluarga kerajaan, yang sebelumnya dikelola oleh Crown Property Bureau (CPB). Menurut perkiraan, aset tersebut berjumlah $ 30 hingga $ 60 miliar (lebih dari Rp 453 triliun). 

"Sudah jelas bahwa raja tidak mendapat dukungan dari sebagian besar warga Thailand, tetapi akan sangat sulit untuk menantang kekuasaannya karena kontrolnya atas militer. Pemberontakan melawan monarki akan menyebabkan pertumpahan darah massal di jalan-jalan Bangkok," Kata Marshall. 

Para ahli, bagaimanapun, percaya bahwa meskipun mayoritas generasi muda Thailand mengkritik raja, mereka tidak mewakili pendapat mayoritas penduduk. Kritik terhadap monarki mungkin akan mengarah pada kebijakan konkret dan melemahnya monarki mungkin hanya terjadi setelah perubahan generasi. (ha/pkp)