Karya Seni asal Indonesia Bertebaran di Museum Jerman
Arti Ekawati
10 Oktober 2022
Mulai dari koin, kain batik bersejarah, alat musik, hingga rumah adat dari berbagai pulau, karya seni Indonesia dapat dinikmati di beragam museum di Jerman.
Iklan
Keindahan karya seni buatan tangan para seniman Nusantara memang sudah banyak diakui di berbagai negara. Karya-karya seni dari berbagai zaman tersebut juga turut dipamerkan di berbagai museum di Jerman, seperti yang tersusun dalam buku Cultural Heritage of Indonesia in Germany. Buku setebal 266 halaman tersebut terbit atas kerja sama 14 museum di Jerman dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Berlin.
"Ini buku yang mendokumentasikan kekayaan budaya Indonesia yang ada di Jerman. Jadi dengan adanya buku ini, ini bisa jadi referensi kekayaan Indonesia di museum di Jerman itu di mana saja," ujar Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, kepada DW Indonesia di malam resepsi diplomatik untuk memperingati 77 tahun Indonesia merdeka dan 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Jerman.
Selain itu, lanjut Havas, buku ini diharapkan menjadi titik awal bagi orang-orang di Jerman yang ingin lebih lanjut mempelajari kebudayaan Indonesia. "Jadi semacam jendela, entry point, misalnya mereka ingin mempelajari keris," kata Havas.
Apa saja benda seni yang dipamerkan?
"Buku ini berisi tinjauan ikhtisar dari lebih dari 200 artefak yang bisa Anda jumpai di museum-museum di Jerman," ujar Petra Sigmund, Direktur Jenderal Asia dan Pasifik di Kementerian Luar Negeri Federal Jerman, dalam sambutannya di acara yang sama, minggu lalu.
"Ada masanya ketika kita di Jerman berbicara tentang penanganan artefak dari budaya lain, Saya sangat senang mendengar bahwa Indonesia justru bangga mempresentasikan warisan budaya mereka di Jerman. Dan fakta bahwa buku ini adalah inisiatif bersama dengan 14 museum Jerman yang memamerkan artefak tersebut adalah testimoni yang baik akan hal itu," lanjut Petra Sigmund.
Di antara barang-barang yang dipamerkan di museum tersebut yakni koleksi tekstil, benda-benda seperti topeng berwarna-warni, figur wayang tradisional dari Jawa. Selain itu, ada pula koleksi instrumen musik dan rumah tradisional dari beberapa daerah dan pulau.
Di Rautenstrauch-Joest-Museum di Kota Köln misalnya, ada Barong dan Rangda karya seniman Cokorda Raka Tisnu dan peti mati berbentuk lembu putih yang sering dijumpai pada upacara Ngaben di Bali. Sementara di Museum Etnologi di Berlin, ada bermacam wayang seperti wayang golek, kulit dan wayang klitik. Selain itu ada pula lebih dari 100 figur patung nenek moyang dari Nias, dan sejumlah objek dari Kalimantan dan Maluku.
Koleksi Artefak Indonesia di Köln, Jerman
Museum Rautenstrauch-Joest merupakan salah satu museum antropologi terlengkap di Jerman. Di dalamnya, banyak ditemukan koleksi barang-barang yang berasal dari Indonesia.
Foto: DW/Joshua A. Ambagau
Alang Tana Toraja
Lumbung padi dari Tana Toraja (Alang) menjadi daya tarik utama yang dipajang di bagian tengah museum. Atapnya yang berbentuk perahu berfungsi sebagai pengingat bahwa leluhur orang Toraja datang ke Sulawesi menggunakan perahu. Dibuat dari kayu dan bambu, Alang ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1930-an lalu dibeli oleh museum pada tahun 1980-an.
Foto: DW/Joshua A. Ambagau
Dewa Langit "Lamiaha"
Simbol dewa langit "Lamiaha" dulu berdiri pada sebuah altar batu yang menyimbolkan dewi bumi, penggambaran persatuan suci antara kedua kekuatan kosmis. Patung dewa yang tebuat dari kayu ini berasal dari Desa Emroin di Kepulauan Babar, Maluku Barat dan didapatkan oleh Etnolog Jerman Wilhem Müller pada tahun 1913.
Foto: DW/Joshua A. Ambagau
Patung Lembu dalam Prosesi Ngaben
Dalam upacara Ngaben, jasad biasanya ditempatkan dalam patung lembu untuk dibakar. Patung Lembu biasanya menandakan seseorang yang memiliki kasta tinggi dalam kepercayaan setempat. Patung ini dibuat khusus untuk pameran permanen di bagian upacara kematian, penguburan & penghormatan yang ada di museum.
Foto: DW/Joshua A. Ambagau
Ansambel Gamelan
Di bagian depan museum, terdapat koleksi gamelan yang cukup lengkap, yang didapatkan dari seorang pedagang seni di London pada tahun 1997. Pengunjung bahkan dapat ikut kelas gamelan yang diselenggarakan tiap minggu di museum ini.
Foto: DW/Joshua A. Ambagau
Perhiasan dari Pantai Sumatera
Perhiasan sepanjang lebih dari satu meter ini berasal dari daerah pantai Sumatera bagian barat daya. Digunakan sebagai penutup wajah perempuan bangsawan saat upacara pernikahannya. Museum mendapatkan koleksi ini pada tahun 2017.
Foto: DW/Joshua A. Ambagau
Barong dan Rangda
Barong dan Rangda merupakan dua figur utama simbol kebaikan dan kejahatan dalam mitologi Bali. Barong merupakan pemimpin pasukan kebaikan yang bertempur melawan ratu iblis, Rangda. Kedua benda ini dibuat khusus untuk pameran permanen bertemakan arwah & dunia akhirat museum, tanpa menyinggung adat setempat.
Foto: DW/Joshua A. Ambagau
Rumah untuk Lelaki Bujang
Bagian utama rumah Jew milik suku Asmat di Papua terbuat dari kayu dan bambu dilengkapi dengan ukiran berbentuk manusia pada batang-batang kayu yang ada. Rumah adat Jew terbilang unik, karena diperuntukkan kepada para lelaki yang belum menikah. Rumah ini dibawa dari Papua pada tahun 1993 dan disusun kembali di Köln, Jerman.
Foto: DW/Joshua A. Ambagau
Pakaian Adat Kepulauan Tanimbar
Pakaian bukan hanya kain yang menutupi tubuh, tapi juga sebagai penunjuk status sosial pemakainya. Hal ini ditemukan hampir di tiap budaya, termasuk bagi pakaian tradisional dari suku Nias. Koleksi ini didapatkan juga dari Wilhem Müller pada awal abad ke-20.
Foto: DW/Joshua A. Ambagau
Arca Kepala Buddha Candi Borobudur
Arca Kepala Buddha ini diperkirakan berasal dari Candi Borobudur dan merupakan salah satu dari 248 arca kepala yang hilang di candi peninggalan dinasti Syailendra dari abad ke-8. Arca ini dibeli dari suatu koleksi seni di Paris pada tahun 1944.
Foto: DW/Joshua A. Ambagau
Sesajen Hu-rainna Hu-tualinna
Hu-rainna Hu-tualinna adalah sosok leluhur pendiri keluarga Halupnu yang melambangkan kesuburan dan prinsip feminim di Pulau Leti, Maluku Barat. Garis keturunan di sana adalah matrilineal, yaitu berasal dari pihak ibu. Penduduk desa Luhuleli biasanya melakukan upacara pengorbanan di altar tengah desa. (ja/ha)
Foto: DW/Joshua A. Ambagau
10 foto1 | 10
"Jika Anda melihat buku ini, dari utara ke selatan, timur ke barat di Jerman, dan sebenarnya di seluruh negeri, museum mengumpulkan dan memamerkan seni dari Indonesia. Di sini di Berlin tentu saja ada, di Museum Etnologi di Hamburg juga. Saya yakin buku ini akan menarik banyak orang untuk menikmati karya seni Indonesia dan datang ke museum yang memamerkannya," ujar Petra Sigmund.
Iklan
Pertalian budaya dari masa ke masa
Tahun ini Indonesia dan Jerman memperingati 70 tahun terjalinnya hubungan diplomatik di antara kedua negara. Namun demikian, hubungan antara Indonesia dan Jerman sudah berlangsung jauh sebelum itu.
"Objek dan kisah yang dituliskan di buku ini dan di berbagai museum adalah sebuah penunjuk yang sangat kuat tentang adanya hubungan antara Indonesia dan Jerman dan bahwa hubungan kedua negara sudah berkembang pesat jauh sebelum adanya hubungan diplomatik resmi," ujar Petra Sigmund.
Sementara Duta Besar Arif Havas Oegroseno menyebutkan salah satu contoh yang paling terkenal adalah hubungan erat Jerman dengan maestro Raden Saleh pada abad ke-19. Raden Saleh yang adalah seniman beraliran romantik asal Nusantara diketahui sempat tinggal dari tahun 1839 hingga 1844 di sebuah kota dekat Dresden. Di Jerman, lukisannya kebanyakan menggambarkan badai yang menggulung lautan, lanskap musim dingin dan kegiatan berburu.
Bahkan sebelum kembali ke tanah air, Raden Saleh sempat mengawasi pembangunan sebuah paviliun di sebuah taman di Desa Maxen yang dikenal dengan nama Blaues Häusel. Bangunan ini masih berdiri hingga kini dan di sana bisa ditemukan tulisan berbahasa Jawa dan Jerman yang berbunyi Ehre Gott und liebe Menschen atau Hormati Tuhan dan Cintai Manusia.
Selain itu, ada pula pelukis asal Dresden yang bernama Walter Spies yang tertarik dengan kesenian nusantara sebelum akhirnya memutuskan untuk mengunjungi Yogyakarta pada tahun 1923 dan bali di tahun 1927. "Pada saat inilah, Walter Spies mengundang banyak seniman dari Jerman dan banyak negara lain di Eropa untuk turut menikmati budaya dan kesenian Bali," ujar Dubes Havas dalam pidato sambutannya.
Pelukis Jawa di Eropa
Raden Saleh, pelukis Jawa yang punya nama besar di Eropa termasuk terkenal di pula Jerman pada abad ke-19,
Foto: gemeinfrei
Kepribadian Artistik
Raden Saleh (1811 - 1880) adalah orang Asia pertama yang menikmati pendidikan melukis secara akademis di Eropa. Sosok eksotis yang berkarya seni adalah hal mengejutkan bagi Eropa di pertengahan abad ke-19. Ia juga turut melahirkan aliran lukis orientalis di Jerman. Penampilannya dalam karya Johann Carl Bähr disukai publik, seorang pelukis tampan berkostum pangeran oriental.
Foto: Lindenau-Museum Altenburg
Pelukis Berbakat
Lahir di bekas koloni Belanda di Jawa, pada usia muda Saleh melihat hobi favorit penguasa kolonial yakni: berburu. Aktivitas itu menjadi salah satu motif favoritnya. Pelukis kolonial keturunan Belgia, Antoine Payen, melihat bakat Saleh dan mendukungnya. Dengan bantuan hibah, Saleh berangkat ke Belanda pada tahun 1830, di mana ia mendapat pendidikan melukis.
Foto: gemeinfrei
Seniman Lepas
Pemerintah Belanda mengirimnya untuk studi keliling di Eropa, termasuk di Dresden. "Di sana tahun 1839 Saleh tertahan," kata Dr. Julia M. Nauhaus, direktur Museum Lindenau di Altenburg, yang pertama kali di Jerman memamerkan lukisan-lukisan Saleh. "Dia menerima banyak pesanan dan bisa bekerja sebagai seniman lepas, tanpa ketergantungan pada Belanda."
Foto: picture alliance/ANN/The Jakarta Post
Hewan Spektakuler
Harimau, anjing, singa, hewan- hewan ini sering muncul dalam karya Saleh. Di tanah kelahirannya Jawa, tidak ada singa. Tampaknya ia secara seksama meriset binatang liar itu selama berkeliling Eropa. "Dia telah melakukan perjalanan antara lain ke kebun binatang London dan sirkus di Den Haag," kata Dr. Nauhaus.
Foto: Lindenau-Museum Altenburg
Diakui di Kalangan Seniman
Di Dresden, Saleh dianggap setara sebagai seniman dan warga. Suatu hal yang tidak umum pada waktu itu, karena masih adanya diskriminasi latar belakang dan warna kulit. Saleh dan pesonanya membuat dia disambut kalangan bangsawan dan borjuis. Dia mendapatkan kontrak-kontrak yang menguntungkan.
Foto: gemeinfrei
Lukisan Bersejarah
Tahun 1851 Raden Saleh merasa terpanggil untuk pulang ke tanah Jawa. Fasih dalam lima bahasa, dalam lukisannya ia mengangkat peristiwa sejarah. Lukisan ini, sekarang dipamerkan di istana presiden di Jakarta dan menunjukkan penangkapan Pangeran Diponegoro pada tahun 1857.
Foto: gemeinfrei
Menggambarkan Realita
Saleh juga seorang arkeolog amatir. Selama berekspedisi ke Jawa Tengah, ia mengalami peristiwa letusan Gunung Merapi yang mengerikan. Kesaksiannya dalam bentuk lukisan. Hasil pantauannya ini tergantung di Museum Nasional Sejarah di Leiden, Belanda. Pada tahun tujuh puluhan, Saleh berwisata bersama istri keduanya sekali lagi ke Eropa.
Foto: Lindenau-Museum Altenburg
Lukisan Terkenal
Di samping lukisan penangkapan Diponegoro , lukisan "Berburu Singa" juga menjadi karya Saleh yang paling terkenal. Menurut Direktur Nauhaus lukisan itu dijual hampir dua juta Euro pada tahun 2011. Saleh yang bekerja di Jerman memicu daya tarik orientalis - bersama dengan publikasi sastra Goethe dan Lessing.
Foto: Lindenau-Museum Altenburg
Peran Pangeran
Saleh, potret pelukis Jawa karya Frederick Schreuel tahun 1840 itu. Ia dianggap sebagai bapak seni lukis modern Indonesia dan meninggal pada tahun 1880 di rumahnya setelah mengalami stroke.
Foto: gemeinfrei
9 foto1 | 9
Artefak bersejarah
Belakangan ini Jerman banyak memulangkan kembali artefak hasil jarahan mereka dari benua Afrika pada masa kolonialisme. Pada awal tahun ini, Jerman mengirimkan kembali lebih dari 20 artefak yang dijarah dari Namibia, termasuk perhiasan, peralatan, mode, dan boneka yang memakai pakaian tradisional.
Selain itu, pemerintah Jerman dan Nigeria telah mencapai kesepakatan untuk mengembalikan sekitar 1.100 patung Perunggu Benin yang dipamerkan di berbagai museum di Jerman. Aksi ini diambil oleh Jerman dalam upaya untuk berdamai dengan masa lalu mereka.
Saat DW Indonesia bertanya tentang aksi pemulangan artefak ini, Havas mengatakan bahwa Jerman tidak memiliki sejarah kolonialisme di Indonesia. Lagi pula, menurutnya, karya yang dipamerkan sebagian besar adalah hasil koleksi dan masih dapat diproduksi kembali, seperti keris dan batik.