Perempuan Rohingya Jadi Sasaran Pelaku Perdagangan Manusia
Rifat Fareed
6 November 2023
Perempuan pengungsi Rohingya semakin menjadi sasaran para pelaku perdagangan manusia, dengan dijanjikan kehidupan yang lebih baik di Kashmir.
Iklan
Mujeeba (nama disamarkan) adalah seorang perempuan Rohingya yang tinggal di sebuah desa kecil di distrik Anantnag, dim wilayah Kashmir yang dikuasai India. Satu dekade yang lalu, saat dia berusia 20 tahun, Mujeeba diperdagangkan dari sebuah kamp pengungsi yang penuh sesak di Cox's Bazar, Bangladesh.
Mujeeba mengatakan bahwa para pelaku perdagangan manusia itu mengiming-iminginya janji kehidupan yang lebih baik di Kashmir dan pernikahan dengan seorang pria yang "mapan".
"Saya dulu penuh dengan mimpi dan semangat, sekarang ini saya sedang berjuang dengan kesehatan mental saya," kata Mujeeba, seraya menambahkan bahwa hidupnya kini justru menjadi terbalik.
Para pelaku memaksa Mujeeba untuk melakukan perjalanan yang sulit melalui jalan darat dan kereta api dari kamp pengungsian di Bangladesh ke sebuah desa kecil di Kashmir. Butuh waktu lebih dari satu minggu baginya untuk mencapai Kashmir, katanya.
"Selama perjalanan, saya dilecehkan, dianiaya dan diawasi dengan ketat. Bersama saya, ada tiga gadis lain yang mengalami hal serupa," kata Mujeeba kepada DW. Dia juga mengatakan bahwa, "Kejadian itu masih menghantui saya di malam hari."
Pengungsi Rohingya Diculik, Disiksa dan Diperkosa
01:24
'Saya menghadapi diskriminasi dan pelecehan'
Setelah tiba di Kashmir, para penyelundup menjual Mujeeba dengan harga sekitar 1.000 dolar Amerika Serikat (sekitar Rp15 juta) kepada seorang buruh yang berusia 13 tahun lebih tua darinya dan cenderung melakukan kekerasan. Mujeeba kemudian dinikahkan dengan pria tersebut.
Iklan
"Selama seminggu, saya ditahan di rumah orang yang membawa saya ke Kashmir. Kemudian seorang pria yang mengenakan pakaian baru datang bersama orang tuanya dan saya dinikahkan dengannya di rumah itu," ungkapnya.
Mujeeba mengatakan bahwa saat itu dia merasa sangat ketakutan. "Saya tidak mengerti apa-apa. Saya tidak punya pilihan lain selain patuh," kata Mujeeba.
Sejak saat itu, dia harus berjuang bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. "Saya tidak memiliki kontak dengan keluarga saya. Saya merasa sendirian di sini tanpa ada yang berduka bahkan jika saya meninggal," tambahnya.
"Saya menghadapi diskriminasi dan pelecehan. Suami saya menjadi sangat agresif dan meneriaki saya bahkan untuk hal-hal kecil," katanya, seraya menambahkan bahwa mertuanya juga tidak ramah dan berlaku kasar kepadanya.
Pengungsi Global: Melarikan Diri dari Bahaya
PBB melaporkan ada 82,4 juta pengungsi di seluruh dunia yang melarikan diri dari perang, penindasan, bencana alam hingga dampak perubahan iklim. Anak-anak pengungsi yang paling menderita.
Foto: KM Asad/dpa/picture alliance
Diselamatkan dari laut
Seorang bayi mungil diselamatkan seorang penyelam polisi Spanyol ketika nyaris mati tenggelam. Maroko pada Mei 2021, untuk sementara melonggarkan pengawasan di perbatasan dengan Ceuta. Ribuan orang mencoba memasuki kawasan enklave Spanyol itu dengan berenang di sepanjang pantai Afrika Utara. Foto ini dipandang sebagai representasi ikonik dari krisis migrasi di Ceuta.
Foto: Guardia Civil/AP Photo/picture alliance
Tidak ada prospek
Laut Mediterania adalah salah satu rute migrasi paling berbahaya di dunia. Banyak pengungsi Afrika yang mencoba dan gagal menyeberang ke Eropa, sebagian terdampar di Libia. Mereka terus berjuang untuk bertahan hidup dan seringkali harus bekerja dalam kondisi yang menyedihkan. Para pemuda di Tripoli ini contohnya, banyak dari mereka masih di bawah umur, menunggu dan beharap pekerjaan serabutan.
Foto: MAHMUD TURKIA/AFP via Getty Images
Hidup dalam sebuah koper
Sekitar 40% pengungsi adalah anak-anak. Beberapa tahun silam, 1,1 juta warga minoritas Muslim Rohingya melarikan diri dari kekerasan militer Myanmar ke Bangladesh Kamp pengungsi Cox's Bazar salah satu yang terbesar di dunia. LSM SOS Children's Villages peringatkan kekerasan, narkoba dan perdagangan manusia adalah masalah yang berkembang di sana, seperti halnya pekerja anak dan pernikahan dini.
Foto: DANISH SIDDIQUI/REUTERS
Krisis terbaru
Perang saudara di wilayah Tigray di Etiopia yang pecah baru-baru ini, telah memicu pergerakan pengungsi besar lainnya. Lebih dari 90% populasi Tigray saat ini bergantung pada bantuan kemanusiaan. Sekitar 1,6 juta orang melarikan diri ke Sudan, 720 ribu di antaranya adalah anak-anak. Mereka terjebak di wilayah transit, menghadapi masa depan yang tidak pasti
Foto: BAZ RATNER/REUTERS
Ke mana pengungsi harus pergi?
Pulau-pulau di Yunani jadi target pengungsi dari Suriah dan Afganistan, yang secara berkala terus berdatangan dari Turki. Banyak pengungsi ditampung di kamp Moria, pulau Lesbos, sampai kamp tersebut terbakar September lalu. Setelah itu, keluarga ini datang ke Athena. Uni Eropa telah berusaha selama bertahun-tahun untuk menyetujui strategi komunal dan kebijakan pengungsi, tetapi tidak berhasil.
Foto: picture-alliance/dpa/Y. Karahalis
Eksistensi yang keras
Tidak ada sekolah untuk anak-anak pengungsi Afganistan yang tinggal di kamp pengungsi Pakistan. Kamp tersebut telah ada sejak intervensi Soviet di Afganistan pada tahun 1979. Kondisi kehidupan di sana buruk. Kamp tersebut kekurangan air minum dan akomodasi yang layak.
Foto: Muhammed Semih Ugurlu/AA/picture alliance
Dukungan penting dari organisasi nirlaba
Banyak keluarga di Venezuela yang tidak melihat ada masa depan di negaranya sendiri, mengungsi ke negara tetangga, Kolombia. Di sana mereka mendapat dukungan dari Palang Merah yang memberikan bantuan medis dan kemanusiaan. Organisasi ini juga mendirikan kamp transit di sebuah sekolah di kota perbatasan Arauquita.
Foto: Luisa Gonzalez/REUTERS
Belajar untuk berintegrasi
Banyak pengungsi berharap masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka di Jerman. Di Lernfreunde Haus-Karlsruhe, anak-anak pengungsi dipersiapkan untuk masuk ke sistem sekolah Jerman. Namun, selama pandemi COVID-19, mereka kehilangan bantuan untuk mengintegrasi diri mereka ke dalam masyarakat baru itu. (kfp/as)
Foto: Uli Deck/dpa/picture alliance
8 foto1 | 8
Banyak kasus perdagangan manusia lainnya
Kasus Mujeeba bukanlah kasus satu-satunya. Tiga perempuan Rohingya lainnya juga mengisahkan hal serupa. Kepada DW, mereka menceritakan tentang bagaimana mereka diperdagangkan ke Kashmir dan berakhir dengan pernikahan yang tidak diinginkan. Mereka meminta untuk tidak disebutkan namanya karena takut reaksi keras dari masyarakat setempat dan juga pihak berwenang, di mana pemerintah India menganggap mereka sebagai imigran gelap.
Saat ini ada lebih dari 40.000 orang Rohingya yang tinggal di India, hampir 6.000 orang di antaranya berada di kamp-kamp pengungsi Jammu. Selama lima tahun terakhir, pemerintah India telah mencoba untuk mendeportasi warga Rohingya.
New Delhi menggambarkan mereka sebagai ancaman keamanan negara dan menuduh mereka memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok ekstremis Muslim. Lebih dari 200 warga Rohingya telah ditahan di berbagai pusat penahanan di seluruh India, menurut laporan media setempat.
Kementerian Dalam Negeri India menyatakan bahwa "warga asing ilegal" akan ditahan di pusat penahanan sampai mereka dideportasi ke Myanmar. Seorang pejabat senior kepolisian di Kashmir mengatakan kepada DW bahwa para pelaku penyelundup manusia itu terus membujuk para perempuan Rohingya dengan menjanjikan kehidupan yang lebih baik.
"Para perempuan itu sering dinikahkan dengan pria yang lebih tua atau yang sudah bercerai atau duda," kata pejabat itu, yang tidak mau disebutkan namanya karena tidak berwenang untuk berbicara kepada media.
Pejabat itu mengatakan bahwa perdagangan manusia terus berlanjut meskipun ada tindakan keras dari pemerintah. "Ada banyak uang yang terlibat dalam perdagangan manusia ini. Jaringannya sangat besar," ungkapnya.
Kisah Perempuan Muslim Melawan Diksriminasi di Myanmar
Minoritas Muslim di Myanmar biasanya menutup diri lantaran mengkhawatirkan intimidasi kelompok Buddha garis keras. Namun Win Lae Phyu Sin, seorang blogger Muslim, justru memilih sebaliknya.
Foto: Reuters/A. Wang
Perempuan Muslim Modern
Perempuan muda berusia 19 tahun ini menjadi pusat perhatian saat peluncuran produk kecantikan di Yangon. Pasalnya dia termasuk segelintir blogger kecantikan yang mengenakan jilbab. "Saya tidak menyesali keputusan mengenakan jilbab" kata Win. "Jilbab adalah kunci buat saya. Saya bisa berpergian kemanapun dan melakukan apapun yang saya suka."
Foto: Reuters/A. Wang
Rentan Diskriminasi
Kaum Muslim hanya berjumlah 5% dari 50 juta penduduk Myanmar. Kebanyakan mengeluhkan tidak bisa membangun masjid baru selama satu dekade terakhir dan kesulitan menyewa rumah dari pemilik beragama Buddha. Diskriminasi dan persekusi sistematis terhadap minoritas Muslim sedang marak di Myanmar. Lebih dari 700.000 anggota etnis Rohingya misalnya terpaksa melarikan diri ke Bangladesh.
Foto: Reuters/A. Wang
Persekusi Tanpa Akhir
Kaum muslim di Myanmar juga mengeluhkan tidak mendapat kartu identitas penduduk dan ditolak masuk ke sejumlah rumah ibadah. Demikian laporan Human Rights Network tahun lalu. Akibatnya kebanyakan kaum Muslim tidak bisa menikmati fasilitas yang disediakan pemerintah Myanmar.
Foto: Reuters/A. Wang
Pemberdayaan Perempuan
Buat sebagian murid Win Lae Phyu Sin, perawatan wajah dan kecantikan lebih dari sekedar urusan penampilan, tetapi juga membangun rasa percaya diri di tengah mayoritas Buddha. "Saya melihat perempuan berjilbab merias wajahnya dan dia terlihat sangat cantik," kata Hay Mann Aung tentang Win Lae Phyu Sin. "Saya ingin terlihat cantik seperti dia," imbuhnya.
Foto: Reuters/A. Wang
Jembatan Kebudayaan
Upaya Win Lae menghadirkan warna muda dan modern pada wajah Muslim Myanmar dengan mengenakan busana yang berpadu serasi dengan warna jilbabnya atau dengan dandanan yang menekankan kecantikan wajahnya, sukses menyedot penggemar non partisan. Ia mampu menonjolkan sisi positif kaum minoritas yang sering disalahpahami oleh masyarakat Myanmar.
Foto: Reuters/A. Wang
Meniti Sukses di Medsos
Win kini memiliki 6.000 pengikut di Facebook dan ribuan penggemar di kanal media sosial yang lain. Lebih dari 600 murid ikut serta dalam program pelatihan tentang bagaimana mengenakan kosmetika atau membangun studio kecantikan di rumah sendiri. Sejak awal tahun, sekitar 150 kursus yang ditawarkan Win selalu penuh pengunjung.
Foto: Reuters/A. Wang
Mengundang Permusuhan
Tapi upaya Win bukan tanpa cela. Ia berulangkali mendapat ejekan atau serangan verbal di media sosial ketika ketahuan ia seorang Muslimah. Sebaliknya kelompok Islam konservatif mengritiknya karena dianggap merusak moral perempuan Muslim di Myanmar. Namun Win tidak peduli. "Saya cuekin saja. Ada banyak pekerjaan yang harus saya tuntaskan," tukasnya. (rzn/as: Reuters)
Foto: Reuters/A. Wang
7 foto1 | 7
Perempuan Rohingya menghadapi ‘berbagai tingkat kerentanan'
Rohingya merupakan kelompok minoritas Muslim yang sebagian besar berasal dari negara bagian Rakhine, Myanmar. Mereka telah menghadapi penganiayaan dan tindakan kekerasan selama puluhan tahun di negara asal mereka.
Sekitar 730.000 warga Rohingnya melarikan diri ke Bangladesh dari Myanmar setelah insiden penumpasan militer Myanmar pada tahun 2017. Mereka bergabung dengan orang-orang lainnya dari gelombang pengungsian sebelumnya.
"Hal ini menunjukkan kerentanan mereka terhadap eksploitasi, dan jika dilihat dari sudut pandang dinamika gender, kondisi perempuan Rohingya sangatlah rentan," katanya.
"Pengungsi perempuan Rohingya menanggung beban ekstra karena mereka tidak hanya menjadi pengungsi, tetapi juga sebagai perempuan yang berasal dari komunitas etnis minoritas," tambah Sarvesh. "Dalam kasus perempuan Rohingya, berbagai tingkat kerentanan membuat mereka menjadi sasaran empuk." (kp/hp)