1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kasus kapal pengungsi Jerman Cap Anamur

14 Juli 2004

Kasus kapal pengungsi Jerman Cap Anamur mengeruhkan hubungan antara Jerman dan Italia. Pemerintah Jerman menunut agar Italia segera membebaskan pemimpin organisasi bantuan Cap Anamur Elias Bierdel, kapten serta perwira pertama kapal tsb, yang ditahan sejak hari Senin lalu. Kementerian luar negeri Jerman mengirim utusannya ke Sizilia, Italia. Menteri bantuan perkembangan Heidemarie Wieczorek-Zeul dan pejabat HAM Claudia Roth mengatakan, para tahanan tidak dapat dihukum karena menyelamatkan nyawa manusia. Italia menuduh awak kapal yang ditahan membantu para imigran gelap. Ke-37 pengungsi asal Afrika yang diselamatkan oleh kapal Cap Anamur , kini berada dalam kamp penampungan .

Harian Jerman General-Anzeiger dalam dalam tajuknya menulis:

Berlatar belakang hukum suaka yang rumit di Eropa, bantuan tidak dapat selalu dapat diartikan sebagai bantuan. Pemimpin Cap Anamur Bierdel dapat merasakan sendiri hal yang paradoks ini. Kapal Jerman bukanlah wilayah kedaulatan Jerman. Karena itu Jerman menolak memberikan suaka kepada para pengungsi. Italia dalam kasus pengungsi kapal ini bertindak dengan caranya sendiri. Persengketaan soal Cap Anamur memalukan. Dan membuktikan , tanjung harapan tidaklah berada di Eropa Selatan.

Harian Tagesspiegel di Berlin berkomentar:

Kapal sudah penuh. Ini bukanlah berita keberhasilan organisasi bantuan. Memang demikianlah situasi di banyak negara di Eropa. Meski pun ke-37 warga Afrika yang ditampung di pulau Sizilia berasal dari Sudan, dari Darfur, kawasan krisis yang paling buruk dewasa ini , mereka juga belum pasti memperoleh suaka di UE. Bukankah lebih baik mendirikan kamp penampungan pengungsi di negara-negara tetangga Sudan, untuk menyelamatkan para korban . Kemudian melakukan tekanan politik terhadap pemerintahnya, agar mereka secepatnya dapat pulang kembali ke tanah airnya di Darfur? Sengketa mengenai nasib kapal pengungsi mungkin dapat membawa dampak positif, bila dengannya dapat menarik perhatian yang lebih besar terhadap kasus pembunuhan etnis di Sudan, dan memaksakan negara-negara barat untuk bertindak.

Harian Luksemburg Luxemburger Wort dengan sinis berkomentar, Eropa mencucurkan air mata buaya:

Eropa tertutup bagi pengungsi. Malta dan Jerman tidak bersedia menerima warga Sudan, untuk tidak menciptakan kasus contoh. Para pengungsi berasal dari kawasan Darfur, di mana pemerintah Sudan melakukan , atau paling tidak mentolerir , pengejaran dan penindasan terhadap warga berkulit hitam. Tiba-tiba UE terbangun dan mengancam pemerintah di Khartum dengan sanksi, apa bila terus merintangi bantuan kemanusiaan untuk Darfur. Namun sebenarnya UE hanya mencucurkan air mata buaya. Meski segala prinsip kemanusiaan yang muluk-muluk, yang sering diucapkannya, para politisi Eropa hanya menginginkan, agar warga kulti hitam Sudan tetap berdiam di negaranya, dan jangan coba-coba mencari suaka di UE. Bukankah itu kemunafikan? Sementara para politisi Eropa yang berniat baik heran bahwa kredibilitasnya diragukan.

Harian Swiss Neue Zürcher Zeitung dalam komentarnya bertanya,apa gunanya hukum internasional?

Contoh jelas bahwa hukum internasional tidak dapat melindungi nyawa manusia, adalah perjalanan petualangan kapal Cap Anamur. Pemerintah Italia berminggu-minggu lamanya menolak memberikan izin merapat dengan alasan , harus mencegah terjadinya kasus contoh yang berbahaya . Komisariat Tinggi PBB untuk pengungsi patut dipuji, ketika menegaskan, peraturan internasional harus dapat dicabut untuk sementara, agar para pengungsi kapal dapat turun dari kapal. Namun apabila pasal-pasal hukum harus dicabut untuk menyelamatkan nyawa manusia, maka akan timbul kecurigaan bahwa peraturan hukum itu sendiri atau penerapannya tidak benar.