Lebih dari 300 ribu kasus kekerasan yang dilaporkan dan ditangani pengadilan agama Indonesia tahun 2015. Sedangkan yang ditangani oleh lembaga mitra layanan perempuan lebih dari 16 ribu kasus.
Iklan
Kisah aksi kekerasan terhadap perempuan tak ada habis-habisnya dan terjadi di berbagai negara. Di India, meski sudah banyak aksi protes, tindak perkosaan massal masih menjadi persoalan pelik, sementara di Timur Tengah, banyak perempuan yang menjadi korban perkosaan dan penganiayaan teroris ISIS.
UNICEF melaporkan, lebih 200 juta perempuan, termasuk anak-anak, mengalami mutilasi genital, jauh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Untuk urusan mutilasi genital, Indonesia bahkan masuk dalam tiga besar.
Setiap tahun PBB mengumumkan data-data berkaitan dengan isu perempuan dengan angka-angka memprihatinkan. Kampanye anti kekerasaan maupun tuntutan persamaan jender terus dikumandangkan, namun hingga kini perempuan masih mengalami tindak kekerasan dan diskriminasi.
Kekerasan seksual di ranah publik dan domestik
Di Indonesia, data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan ) menunjukkan, sepanjang tahun 2015 terjadi aksi kekerasan, bukan hanya di wilayah domestik, melainkan telah meluas di ranah publik. Ketua Komnas Perempuan, Azrianan menyebutkan, persoalan kekerasan perempuan bisa dibagi dalam 3 ranah, yakni wilayah hubungan personal, komunitas dan negara. Berdasarkan jumlah kasus yang didapat dari 232 lembaga mitra Komnas Perempuan di 34 provinsi, tercatat 16.217 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Terjadi kenaikan data jenis kekerasan seksual di ranah personal dibanding tahun sebelumnya, yakni di atas 11 ribu kasus. Di ranah komunitas, terdapat lebih 5.000 kasus kekerasan terhadap perempuan. 1.657 kasus di antaranya merupakan kekerasan seksual.
Sementara di ranah negara, aparat negara masih menjadi pelaku langsung atau melakukan pembiaran pada saat peristiwa pelanggaran HAM terjadi pada perempuan., di antaranya terkait kasus perdagangan perempuan.
Berangkat dari budaya patriarki
Budaya patriarkis tidak mengakomodasi keseteraaan jenis kelamin. Hubungan laki-laki dan perempuan menjadi hubungan sub kordinasi, dalam wujud dominasi laki-laki terhadap perempuan di berbagai sektor. Di Indonesia, dominasi pria nampak, salah satunya dalam menentukan bagaimana perempuan seharusnya berdandan dan berpakaian dalam kacamata ‘ideal’ pria. Konsep cantik sendiri, banyak merujuk pada selera pria.
Hari Perempuan Internasional
“Hari milik kami di bulan Maret. Seluruh kaum perempuan sosialis di seluruh dunia turut bersolidaritas dengan kalian,” diserukan Partai SPD dan serikat-serikat kerja saat berdemonstrasi di Berlin pada tahun 1911
Foto: picture alliance/dpa
Demonstrasi
Persamaan hak sosial dan politik, itulah tuntutan para perempuan yang menggelar aksi protes di Berlin pada tanggal 19 Maret 1911, menandai Hari Perempuan Internasional pertama. Pada hari tersebut, demonstrasi juga digelar di Swiss, Austria, Denmark, Bulgaria dan Amerika Serikat.
Foto: Ullstein Bild/Haeckel
Inisiatif
Clara Zetkin – ketika istirahat dalam rapat Parlemen Jerman tahun 1932 – memprakarsai gerakan perempuan di awal abad 20. Zetkin merupakan pendiri majalah perempuan Gleichheit atau Kesetaraan. Ia juga pejuang perdamaian. Dalam kongres sosialis internasional di Kopenhagen, Denmark, tahun 1910, ia mengusulkan dicanangkannya Hari Perempuan untuk memperjuangkan hak Pemilu dan perbaikan sosial.
Foto: picture-alliance/dpa
Persamaan Hak
Gerakan untuk memperjuangkan kesetaraan juga terjadi di Amerika Serikat: Seperti aksi mogok para pekerja pabrik di New York sampai aksi yang dikenal dengan nama Suffragette (foto), aksi memperjuangkan hak pilih bagi perempuan.
Foto: picture-alliance/dpa
Menyebar
“Berikan hak pilih,” demikian motto di atas plakat Hari Perempuan Internasional ke 3. Kepala kepolisian Berlin menganggap moto ini sebagai penghinaan terhadap otoritas dan melarangnya. Hal ini menumbuhkan keingintahuan yang lebih besar. Di kota-kota kecilpun untuk pertama kalinya para perempuan berkumpul pada tanggal 8 Maret 1914. Juga di Perancis, Belanda, Swedia, Rusia dan Cekoslowakia.
Foto: picture-alliance/dpa
Hak Pilih bagi Perempuan
Tahun 1917 perempuan Rusia berdemonstrasi menuntut pangan dan perdamaian. Tahun itu juga, perempuan Rusia mendapat hak pilih. November 1918, perempuan Jerman akhirnya memperoleh hak pilih. Atas permintaan Clara Zetkin dalam konferensi komunis internasional di Moskow tahun 1920, 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan. Foto: Januari 1919, para perempuan Jerman yang mempergunakan hak pilihnya.
Foto: ullstein bild
Dilarang dan Dikejar
Rezim Nazi (1933-1945) melarang perayaan Hari Perempuan Internasional. Banyak aktivis yang ditangkap dan dikirim ke kamp konsentrasi atau melarikan diri ke pengasingan. Setelah Perang Dunia 2 berakhir, hari perempuan kembali dirayakan dengan tema-tema seputar perdamaian dan kerjasama internasional. (Foto: perempuan mengumpulkan puing-puing bangunan di Berlin Mitte yang hancur akibat perang)
Foto: picture-alliance/dpa
Emansipasi
Di Jerman Hari Perempuan Internasional makin lama makin terlupakan. Baru dalam gerakan mahasiswa di tahun 1968, kebijaksanaan politik mengenai perempuan kembali menjadi tema. Foto: Demonstrasi di Frankfurt menuntut emansipasi dalam peringatan 50 tahun hak pilih bagi perempuan.
Foto: picture-alliance/dpa
Kembalinya Hari Perempuan
1968 merupakan tahun lahirnya gerakan baru perempuan. Dengan slogan „Yang pribadi adalah politis“ digelar perdebatan mengenai pembagian tugas pria dan perempuan, hubungan dan seksualitas, pendidikan dan karir serta kesetaraan gaji. Tahun 1976, Alice Schwarzer mempublikasian majalah perempuan Emma, yang sampai sekarang masih terbit. Juga hari perempuan telah kembali lagi.
Foto: picture-alliance/dpa
Barat dan Timur
Di Jerman Timur, Hari Perempuan Internasional bukan saja sekedar peringatan tapi juga satu pesta. Sampai tahun 70 an, perempuan Jerman Barat harus memiliki izin dari suami jika ingin bekerja. Sementara di Jerman Timur, kaum perempuan jauh lebih bebas untuk berkarir.
Foto: CC by-sa Deutsches Bundesarchiv/Martin
Debat Aborsi
Tembok Berlin rubuh dan Jerman bersatu kembali, 3 Oktober 1990. Tapi ada satu hal menyangkut perempuan yang tidak menemukan kesepahaman: masalah aborsi. Menurut undang-undang Jerman Timur, seorang perempuan dapat menggugurkan kandungan di usia tiga bulan pertama. Sementara di Barat, undang-undang no. 218 melarang aborsi. Aborsi hanya diperbolehkan karena alasan-alasan tertentu.
Foto: picture-alliance/dpa
Aksi dan Protes
Di Jerman, menentang pemangkasan hak dasar, para perempuan menyerukan aksi mogok dari tanggal 5 sampai 8 Maret 1994. Tanggal 8 Maret 1996 di Parlemen Stuttgart, para perempuan muda pemegang hak pilih, dengan boneka Helmut Kohl, melakukan protes menuntut penambahan kuota perempuan di parlemen negara bagian.
Foto: picture-alliance/dpa
Jaringan Perempuan
Melihat diskriminasi global terhadap perempuan, pada tahun 1975 PBB menetapkan tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional. Dan setelah digelarnya konferensi hak asasi manusia di Wina, Austria, tahun 1993, tumbuh pemahaman: hak perempuan merupakan hak asasi manusia. Dalam konferensi perempuan internasional ke 4 di Beijing, tahun 1995, pemberdayaan perempuan menjadi tema utama.
Foto: picture alliance/dpa
Berpikir Global Bertindak Lokal
Tahun 1997, berbagai kelompok mengritik politik pemerintah Jerman, yang dianggap ‘tidak berpihak kepada perempuan’. Untuk memperingati Hari Perempuan Internasional tahun 2000, atas inisiatif dari Inggris, Spanyol dan Amerika Serikat, melalui internet diserukan mogok global.
Foto: picture alliance/dpa
Berbagai Motif
Perayaan Hari Perempuan Internasional di Jerman sekarang ini bervariasi. Berbagai masalah seputar perempuan diangkat sebagai tema. Dalam satu aksi Partai Hijau, 8 Maret 2002, anggota Parlemen Claudia Roth menuntut dikeluarkannya undang-undang imigrasi bagi perlindungan perempuan yang dianiaya di negara asalnya.
Foto: picture-alliance/dpa
Momen Bersejarah
Satu foto bersejarah dari tanggal 7 Maret 2003. Pada malam Hari Perempuan Internasional, lima menteri perempuan Jerman menggelar konferensi pers bersama. Mereka adalah Edelgard Bulmahn, Brigitte Zypries, Renate Schmidt, Heidemarie Wieczorek-Zeul serta Renate Künast. Momen seperti ini sebelumnya belum pernah terjadi dan setelahnya juga tidak pernah terjadi lagi.
Foto: picture-alliance/dpa
Kedudukan Penting
Sudah merupakan hal yang biasa bahwa seorang perempuan menduduki jabatan tinggi di politik, tapi tidak di perusahaan. Terutama di perusahaan-perusahaan besar, kaum prialah yang menduduki jabatan penting. Hal ini diharapkan dapat berubah.
Foto: picture alliance/dpa
16 foto1 | 16
Dalam hal berbusana pun, tidak mudah untuk menjadi perempuan di Indonesia. Mitos bahwa adanya korelasi antara pelecehan seksual dengan rok mini secara sistematis melebar di berbagai tatanan. Yang menyedihkan, bahkan menjadi pembenaran bagi pria untuk melakukan pelecehan bahkan kekerasan seksual. Padahal persoalannya, adalah bukan bagaimana cara perempuan berpakaian, melainkan bagaimana cara pandang yang salah dan ketidakmampuan pelaku kekerasan mengendalikan diri dalam menahan hasrat atau bahkan memaksa orang lain untuk bersetubuh. Padahal, sebagaimana pria, perempuan, berhak memakai apa yang mereka inginkan untuk menutup tubuhnya.
Berjuang bersama
Sebagai sesama manusia, perempuan selayaknya mendapatkan peluang dan hak yang sama seperti pria di berbagai sektor. Pemerintah dan masyarakat punya kewajiban bersama untuk melindungi perempuan, dalam bentuk apapun. Manfaatnya dapat dipetik bersama. Lihat saja hasil riset terkini dalam artikel yang bisa Anda klik ini, negara-negara yang menghormati persamaan antara laki-laki dan perempuan, merupakan negara-negara yangm sejahtera dan maju di berbagai bidang. Perlu dicatat, untuk mencapai perlindungan yang lebih baik terhadap perempuan dan kesetaraan jender, dibutuhkan lahirnya para feminis-feminis pria di tanah air.
Pertanyaannya kini, apakah Anda mau mendukung kesetaraan jender di tanah air?
5 Negara Paling Berbahaya bagi Perempuan
Ancaman kesehatan, kekerasan seksual dan perbudakan harus dihadapi perempuan di banyak negara. Ini lima negara yang paling berbahaya menurut Thompson Reuters Foundation dan Foundation for Sustainable Development.
Afghanistan
Sejak kecil hidup adalah perjuangan bagi anak perempuan Afghanistan. 87% dibiarkan buta huruf, dan 70-80% dipaksa menikah. Punya keluarga juga jadi tantangan besar. Jumlah kematian perempuan ketika hamil dan 42 hari setelah keguguran mencapai 400 dari 100.000 (untuk bandingan: di Inggris hanya 8). Di samping itu tingkat KDRT sangat tinggi. Foto: perempuan sedang menunggu layanan medis di Kabul.
Foto: picture alliance/Ton Koene
Republik Demokratik Kongo
Kongo adalah salah satu negara dengan tingkat kekerasan bermotif seksual paling tinggi di dunia. American Journal of Public Health memperkirakan, 1.150 perempuan diperkosa tiap hari di negara ini, yang berarti 420.000 per tahun. Kondisi kesehatan perempuan juga sangat buruk, 57% perempuan hamil dinyatakan menderita anemia, atau kekurangan sel darah merah.
Foto: Phil Moore/AFP/Getty Images
Pakistan
Banyak praktek budaya dan agama di Pakistan jadi ancaman bagi perempuan, terutama nikah paksa, serangan air keras, hukum rajam. Menurut Komisi HAM Pakistan, per tahun lebih dari 1.000 anak dan perempuan jadi korban pembunuhan demi kehormatan. 90% alami kekerasan domestik. Foto: protes 29 Mei 2014 atas pembunuhan wanita hamil Farzana Parveen oleh keluarganya, karena kawin dengan pria pilihannya.
Foto: AAMIR QURESHI/AFP/Getty Images
India
Walaupun jadi negara demokrasi terbesar di dunia, contoh mengejutkan seperti pemerkosaan massal serta pembunuhan korban perkosaan menunjukkan, India bisa jadi tempat sangat berbahaya bagi perempuan. Peneliti memperkirakan, sekitar 50 juta kasus pembunuhan anak atau janin terjadi dalam tiga dekade terakhir. Jumlah anak yang dipaksa menikah dan penjualan manusia juga jadi ancaman besar.
Foto: Chandan Khanna/AFP/Getty Images
Somalia
Tingkat kematian perempuan saat mengandung, perkosaan, mutilasi genital dan kawin paksa sudah jadi masalah sehari-hari perempuan Somalia. Negara ini dianggap tidak punya hukum dan ketertiban. 95% perempuan Somalia menghadapi mutilasi genital pada usia sekitar 4-11 tahun. Dalam usia melahirkan, hanya sekitar 9% perempuan dapat melahirkan dengan fasilitas medis memadai.