Katakan Al-Quran Izinkan Musik, Penyanyi Bangladesh Didakwa
14 Januari 2020
Seorang penyanyi Sufi di Bangladesh didakwa menistakan agama karena mengatakan Al-Quran mengizinkan musik dan nyanyian. Ujarannya itu dianggap "melukai sentimen keagamaan umat muslim." Kini dia diancam 10 tahun penjara.
Iklan
Shariat Sarker berkata nista ketika menyebut Al-Quran mengizinkan manusia bernyanyi, tuding sekelompok muslim konservatif di Bangladesh. Sebabnya dia kini diseret ke pengadilan dan diancam dengan hukuman 10 tahun penjara jika terbukti mendustakan firman Tuhan.
Dia didakwa karena "melukai sentimen keagamaan kaum muslim," kata Saidur Rahman, kepala kepolisian di Mirzapur. Polemik berawal ketika video Sarker diunggah di Youtube. Selanjutnya ribuan orang berdemonstrasi menuntut agar sang penyanyi dibui.
Penyanyi Sufi berusia 40 tahun itu lalu ditangkap di kediamannya di Mirzapur. Dia dijerat dengan UU Keamanan Digital yang kontroversial dan diklaim sering disalahgunakan untuk membungkam kritik terhadap pemuka atau pelaku agama. Adalah seorang ulama lokal bernama Maulana Faridul Islam yang mengadukan ujaran Sarker pada bulan Desember silam.
Wartawan dan aktivis HAM di Bangladesh sejak lama mengeluhkan UU Keamanan Digital yang disahkan pada 2018 lalu mengancam kebebasan berkekspresi. UU tersebut antara lain mengancam penjara seumur hidup bagi pelaku "propaganda" melawan negara dan 10 tahun penjara untuk ujaran "yang melukai sentimen keagamaan" atau "memicu kerusuhan."
Sebuah organisasi HAM lokal, Odhikar, memperkirakan setidaknya tahun lalu polisi menjerat 29 orang dengan dakwaan melanggar UU tersebut. Salah satu kasus tersebut menimpa seorang sastrawan Bangladesh bernama Henry Swapan yang ditangkap di kediamannya atas dakwaan serupa.
Bocah Rohingya: Diperkosa, Diculik dan Ditelantarkan
Pelarian Rohingya adalah kisah penderitaan panjang anak-anak. Lebih dari 60% pengungsi etnis minoritas itu berusia di bawah umur. Sebagian besar mengalami trauma berkepanjangan setelah menyaksikan orangtuanya dibantai.
Foto: DW/J. Owens
Ditembak dan Ditusuk
Sejak Agustus silam lebih dari 600.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. "Pada hari ketika tentara datang, mereka membakar desa dan menembak ibu saya ketika dia berusaha melarikan diri. Ayah saya lumpuh, jadi mereka menusuknya. Saya melihatnya dengan mata sendiri," kata Muhammad Bilal, bocah berusia 10 tahun yang kini hidup di kamp pengungsi di Bangladesh.
Foto: DW/J. Owens
Dihantui Trauma
Saudara perempuan Muhammad, Nur, juga menjadi saksi kebiadaban tersebut. Sejak hidup di kamp pengungsi, keduanya bisa kembali bermain dan mendapat makanan secara berkala. Saat mengungsi dari Myanmar keduanya kerap kelaparan. Namun Nur mengaku masih dihantui trauma yang ia alami. "Saya kangen orangtua, rumah dan negara saya," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Konflik Panjang
Konflik yang telah berlangsung sejak 70 tahun ini bermula setelah Perang Dunia II. Sejak operasi militer Myanmar 2016 silam, lebih dari 2.000 orang meregang nyawa, termasuk ibu bocah berusia 12 tahun, Rahman. "Mereka membakar rumah kami dan ibu saya terlalu sakit untuk melarikan diri," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Pelarian Bocah Yatim
Dilu-Aara, 5, datang ke kamp bersama saudara perempuannya, Rojina, setelah menyaksikan kedua orangtuanya dibunuh tentara. "Saya menangis tanpa henti dan peluru berdesing di atas kepala kami. Entah bagaimana saya melarikan diri." Organisasi Save the Children membantu bocah yatim yang ditampung di kamp Kutupalong. Anak-anak mewakili 60% pengungsi Rohingya di Bangladesh.
Foto: DW/J. Owens
Diburu Seperti Binatang
Jaded Alam termasuk ratusan bocah yatim yang ditampung di Kutupalong. Beruntung bibinya mengurus Jaded dengan baik. Ia besar di desa Mandi Para dan gemar bermain bola. Kehidupannya berubah setelah serangan militer. "Mereka memaksa kami meninggalkan rumah. Ketika saya melarikan diri dengan kedua orangtua saya, tentara menembak mereka. Mereka meninggal di tempat," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Penculikan Anak
Rahman Ali mengitari kamp pengungsi buat mencari anaknya, Zifad, yang berusia 10 tahun dan menghilang tiba-tiba. Sejak beberapa tahun penghuni kamp mencurigai adanya kelompok penculik anak yang berkeliaran di Kutupalong. Rahman mengkhawatirkan puteranya jatuh ke tangan pedagang manusia. "Saya tidak makan, saya tidak bisa tidur. Saya sangat kecewa. Seakan-akan saya jadi gila."
Foto: DW/J. Owens
"Pikiran saya tidak normal"
Ketika tentara tiba, Sokina Khatun berbuat segalanya untuk melindungi bayinya. Tapi ia gagal menyelamatkan Yasmie, 15, dan Jamalita, 20, yang saat itu berada di desa tetangga. "Leher mereka dipotong di hadapan kakek-neneknya," ujar Sokina. "Saya tidak bisa lagi merasakan sakit. Saat ini pikiran saya tidak normal," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Dibunuh dan Diperkosa
Yasmine berusia 15 tahun, meski terlihat lebih muda, Di desanya ia terbiasa bermain di antara perkebunan dan sawah. Kini kenangannya akan kampung halaman sama sekali berubah. Tentara Myanmar menyiksa dan membunuh ayah dan saudara laki-lakinya. Dia sendiri diperkosa oleh sekelompok serdadu. "Saya merasakan sakit di sekujur tubuh saya," ujarnya. (Foto: John Owens/rzn/yf)
Foto: DW/J. Owens
8 foto1 | 8
Sarker dikenal luas oleh komunitas Sufi Bangladesh yang berjumlah belasan juta. Kepada Aljazeera, Dikhil Das, Presiden Pusat Kebudayaan Charan yang menginduki musisi tradisional, menuntut agar dia dibebaskan sesegera mungkin. Menurutnya "dia hanya mengatakan Al-Quran tidak melarang praktik musik," katanya.
Dikhil meyakini dia dibidik karena sering bersuara melawan praktik membonceng agama untuk kepentingan politik.
Hal senada diungkapkan pengamat musik sufi lokal, Saymon Zakaria. Dia mengakui penyanyi sufi sering mengintrepretasikan kisah klasik di dalam Islam untuk menyuarakan kritik sosial. Hal ini dianggap duri di dalam daging oleh otoritas Bangladesh. "Tidak seharusnya ada interpretasi harfiah terhadap apa yang dinyanyikan di atas panggung," kata dia.
Meski dihormati dan mencatat peran penting dalam sejarah nasional, tidak sedikit ulama Sufi dan pengikutnya yang tewas dibunuh oleh kelompok radikal Islam lantaran dianggap menyimpang dari agama.
Januari 2017 silam harian Inggris Daily Mail melaporkan sebanyak 14 ulama dan pemuka Sufi dibunuh sejak 2013 dengan cara digorok lehernya. Polisi menduga tindakan kejam itu dilakukan kelompok teroris lokal yang meyakini sufisme sebagai sebuah penistaan.
Dalam salah satu kasus pembunuhan yang paling kejam, seorang ulama Sufi ditemukan tewas bersama anak kandung dan empat pengikutnya dengan leher terbuka di kediaman pribadi di Dhaka.