1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialTimur Tengah

Kaum LGBT+ Timur Tengah Makin Terancam

13 Agustus 2020

Setelah alami ancaman lewat Facebook, seorang gay di Mesir mengalami serangan di jalanan. Dalam sebuat riset, lebih dari 90% dari 450 responden berbahasa Arab telah menjadi sasaran ujaran kebencian di Facebook.

 Parade Gay Pride  di AS
Gambar ilustrasi gelang pelangiFoto: Getty Images/AFP/J. Edelson

Awal Juli silam, Rami dipukuli di jalanan di kota Alexandria, Mesir. Pelakunya diduga seorang pria yang ia sebut melecehkannya di Facebook karena ia gay, dan kemudian melacaknya di kehidupan nyata.

Pelecehan dimulai setelah video TikTok Rami dengan bendera pelangi diposting di Facebook tanpa sepengetahuannya. Postingan tersebut memicu serangkaian pesan bernada ancaman.

Seruannya ke Facebook untuk menghapus postingan itu diabaikan, kata Rami. Kini tekanan semakin meningkat pada perusahaan media sosial itu, untuk bereaksi lebih cepat dan tegas terkait ancaman online terhadap komunitas LGBT+ di Mesir dan kawasan-kawasan lain di Timur Tengah.

Facebook tidak berkomentar secara khusus tentang kasus Rami, tetapi seorang juru bicaranya mengatakan platform tersebut memiliki "pendekatan tanpa toleransi untuk ujaran kebencian" dan mengambil tindakan untuk meningkatkan pemantauan.

“Saya harus (untuk sementara) menutup akun saya karena menerima begitu banyak ancaman,”  ujar Rami, yang nama aslinya dirahasiakan untuk alasan keamanan-- kepada kantor berita Reuters.

"Saya menerima postingan video tentang seseorang yang mengancam saya, dan mengatakan, 'Jika saya melihat Anda, saya akan membunuh Anda dan menggantung Anda di pintu.'"

Ancaman dan ujaran kebencian terhadap LGBTQ Arab

Di Mesir, undang-undang kejahatan dunia maya melarang aktivitas online yang "melanggar kesakralan kehidupan pribadi atau mengirim pesan elektronik secara ekstensif, tanpa persetujuan". Kementerian Komunikasi Mesir, yang  bertugas menegakkan hukum tersebut, tidak menanggapi permintaan Reuters untuk berkomentar.

Pengalaman yang dialami Rami kerap terjadi, demikian menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Jaringan Arab untuk Pengetahuan tentang Hak Asasi Manusia atau Arab Network for Knowledge about Human Rights (ANKH), yang telah melakukan survei terhadap pengguna Facebook LGBT+ yang berbahasa Arab.

Lebih dari 90% dari 450 penutur bahasa Arab yang menanggapi survei itu telah menjadi sasaran ujaran kebencian di platform tersebut.

Dalam studi itu juga diketahui, seperempat ujaran kebencian online di Timur Tengah dan Afrika Utara menyerukan kekerasan terhadap kelompok LGBT+ dan 15% melakukan ancaman langsung.

Lebih dari separuh responden melaporkan bahwa mereka merasa putus asa atau depresi dan hampir satu dari empat responden pernah berpikir untuk melukai dirinya sendiri.

Pedang bermata dua

Pada bulan Juni lalu, 22 kelompok hak LGBT+ sebagian besar dari Timur Tengah mendesak Facebook untuk lebih berusaha lagi mengatasi masalah tersebut. Desakan dipicu oleh semburan ujaran kebencian menyusul insiden bunuh diri aktivis LGBT + Mesir yang diasingkan, Sara Hegazi di Kanada.

Kepada kantor berita Reuters, para aktivis mengatakan Facebook dapat menjadi alat penting bagi orang-orang LGBT+ di dunia Arab, di mana banyak di antara mereka menghadapi sistem hukum dan sosial yang menindas, sementara undang-undang yang semena-mena sering digunakan untuk mengkriminalisasi aktivitas seksual.

Stigma sosial yang kuat seputar homoseksualitas, diperkuat oleh entitas agama konservatif telah menyebabkan rendahnya penerimaan terhadap kaum gay di seluruh wilayah, sebagaimana dikutip dari Reuters.

Aktivis LGBT+ di kawasan tersebut berisiko mengalami pengucilan sosial, hukuman penjara, dan kekerasan yang dilakukan oleh pasukan keamanan, demikian menurut Human Rights Watch.

“Jika Anda tidak memiliki Facebook, Anda bisa merasa sendirian di dunia,” ujar pendiri ANKH Nicolas Gilles. “Tapi berada di Facebook saat ini membuat Anda juga terluka.”

Pedoman komunitas Facebook melarang "ucapan yang mengandung kekerasan atau tidak manusiawi, pernyataan inferioritas, atau seruan untuk dikucilkan atau dipisahkan" terhadap orang-orang LGBT+.

Perusahaan tersebut mengatakan timnya meninjau laporan ujaran kebencian "24/7 dalam lebih dari 50 bahasa, termasuk bahasa Arab," dan menggunakan alat kecerdasan buatan "yang menemukan hampir 90% ujaran kebencian yang kami hapus sebelum pengguna melaporkannya kepada kami".

Namun Jillian York, direktur kebebasan berekspresi internasional di Electronic Frontier Foundation, sebuah kelompok hak asasi digital, mengatakan penegakan kebijakan akan membutuhkan investasi besar dalam keterampilan bahasa untuk menavigasi bahasa gaul dan lusinan dialek.

“(Perusahaan media sosial) sangat buruk dalam mendefinisikan dan menangani bahasa yang menghasut dan tidak manusiawi,” katanya, seraya menambahkan bahwa Facebook “memiliki kelangkaan moderator konten dalam sejumlah bahasa di mana mereka seharusnya memiliki lebih banyak lagi”.

Para advokat telah memperingatkan Facebook tentang penyebaran ujaran kebencian anti-LGBT+ di platform tersebut selama bertahun-tahun, kata aktivis LGBT+ Yordania, Hasan Kilani.

“Hanya sedikit yang berubah sejak dia pertama kali mengirim email ke Facebook tentang konten ujaran kebencian pada tahun 2017”, katanya. Setelah serangkaian email yang tidak dijawab oleh Facebook, dia akhirnya berhenti mencoba melaporkan postingan-postingan itu  karena dia "merasa tidak ada perubahan".

Langka moderator konten bahasa Arab di Facebook

Banyak aktivis LGBT+ di kawasan Arab - bahkan mereka yang bekerja secara dekat dengan Facebook - mengatakan aturan tersebut masih kurang ditegakkan.

Dalam beberapa bulan terakhir, grup-grup LGBT + telah membentuk grup Facebook mereka sendiri untuk melaporkan ujaran kebencian yang viral dan mengimbau perusahaan media sosial itu untuk bertindak cepat.

Dikutip dari Reuters, pada bulan Juni, Facebook mngadakan kontak lewat sambungan telepon dengan aktivis dan kelompok LGBT Arab terkemuka untuk mendengar kekhawatiran mereka, demikian menurut empat peserta yang dikontak. 

Tetapi para aktivis mengatakan mereka tidak yakin bahwa para moderator di facebook terlatih dengan baik untuk mengidentifikasi semua ujaran kebencian dalam bahasa Arab.

“Kebijakannya terlihat bagus tapi kenyataannya tidak bagus,” kata Noor Sultan, pendiri organisasi LGBT+ Bedayaa di Mesir, setelah berbicara dengan tim kebijakan Facebook untuk kawasan Timur Tengah.

Dalam percakapan di telepon, Gilles mengatakan Facebook tidak mengungkapkan berapa banyak moderator berbahasa Arab yang dimilikinya. Perusahaan media sosial itu tidak menanggapi permintaan mereka untuk mengomentari hal tersebut.

Setelah dikontak Facebook, Gilles, Sultan, dan kelompok LGBT+ lainnya mulai menyusun daftar ujaran kebencian mereka sendiri dan meneruskannya ke perusahaan itu.

Ada pelanggaran aturan komunitas Facebook

Sepertiga dari konten yang mereka laporkan telah dihapus oleh Facebook karena menghasut kekerasan. Sisanya tidak dianggap telah melanggar aturan ujaran kebencian Facebook. Kebijakannya tentang kebebasan berekspresi memungkinkan "serangan terhadap konsep / ideologi," kata kelompok itu.

Reuters memperoleh daftar lengkap ujaran kebencian yang diteruskan ke Facebook dan menemukan puluhan kasus serupa.

Satu postingan menunjukkan gambar pria berpistol, dengan teks: "Anda berhak mengumumkan homoseksualitas (Anda)... itu akan menjadi hak terakhir Anda." Postingan itu dilaporkan ke Facebook oleh para aktivis pada awal Juli dan sebulan kemudian masih terlihat di platform tersebut.

Ketika Reuters memberi tahu Facebook tentang unggahan dengan gambar pistol itu, perusahaan tersebut mengatakan telah melakukan kesalahan. "Dalam kasus ini, postingan yang melanggar seharusnya, dan sekarang, telah dihapus karena melanggar aturan kami," katanya dalam sebuah pernyataan. “Kami tahu kami memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan di sini.”

Posting lainnya mengumpulkan 20 profil menggunakan filter bendera pelangi, termasuk milik Rami, dengan menambahkan teks, "hati-hati saat Anda berada di jalan, setengah populasi telah berubah (menjadi gay)." Unggahan tersebut tetap online setelah Reuters menandainya untuk minta agar dihapus dari Facebook.

Survei ANKH menemukan masalah tersebut terus berlanjut hingga Agustus, dengan 77% responden mengatakan bahwa mereka menjadi sasaran ujaran kebencian di media online.

Sejak serangan terhadapnya, Rami telah menghapus semua konten dari akun Facebook-nya yang mungkin menunjukkan bahwa dia gay dan mencoba meninggalkan Mesir. Namun dia mengatakan tangkapan layar profilnya masih terpampang secara online.

“Orang-orang mengirimkan profil itu ke keluarga dan kolega saya menanyakan apakah itu saya,” katanya. "Saya tidak pernah menyangka semua (ancaman di online) bisa  akan menjadi (ancaman) nyata,” pungkasnya.

ap/as(reuters)