1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kaum Radikal Pengaruhi Kebijakan SBY

Ging Ginanjar8 Juli 2008

Penanganan masalah Ahmadyah menunjukkan bahwa kaum garis keras Indonesia telah mencapai keberhasilan besar dalam melakukan lobi, menebarkan pengaruh besar dan langsung terhadap pembuatan kebijakan-kebijakan negara.

Dalam laporan terbaru International Crisis Group (ICG) yang baru saja diluncurkan, salah satu bukti bagaimana kuatnya pengaruh kaum garis keras itu terlihat dari SKB Tiga Menteri tentang Ahmadyah. Lembaga pengamat konflik yang berpusat di Brussel itu mencemaskan, SKB itu disalahgunakan kaum garis keras sebagai dasar melakukan kekerasan terhadap Ahmadyah.

Direktur program ICG untruk urusan Asia Tenggara, John Virgoe mengatakan:

"SKB Tiga Menteri itu sendiri seakan hanya tetap membolehkan Ahmadyah sepanjang mereka tidak menyebarkan ajaran itu kepada umat Islam lain. Tetapi kenyataannya di lapangan berbeda. Majelis Ulama dan berbagai kelompok garis keras misalnya, menyerukan dan mengerahkan para anggotanya di seluruh pelosok untuk mengintai Ahmadyah, serta mencari bukti-bukti pelanggaran oleh Ahmadyah. Pengalaman membuktikan, tindakan seperti itu mengarah pada tindakan main hakim sendiri yang berujung pada kekerasan terhadap para penganut aliran Ahmadyah."

Sebagian pejabat berdalih, SKB Tiga menteri itu justru dimaksudkan untuk melindungi Ahmadyah dari aksi sepihak kalangan radikal seperti Forum Umat Islam Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela islam, Hizbut Tahrir. Yang terjadi sebaliknya. Kaum radikal justru seperti memperoleh payung hukum bagi aksi mereka.

Yang unik, menurut ICG, dukungan politik masyarakat terhadap kelompok-kelompok garis keras itu sebetulnya kecil. Yang membuat mereka tampak besar hanyalah karena mereka bersuara lantang. Masalahnya, keleluasaan yang mereka peroleh, dan akses lobi langsung terhadap pemerintah membuka jalan bagi mereka untuk meluaskan pengaruhnya di kalangan masyarakat luas.

Penyebabnya adalah, kelompok-kelompok garis keras itu belakangan berhasil mendominasi Majelis Ulama Indonesia. Kendati MUI masih memperlihatkan keberimbangan perwakilan umat Islam, namun kebijakan-kebijakan publiknya diambil alih kalangan garis keras.

Persoalan jadi lebih parah, karena pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono dalam upaya politiknya untuk tampak religius, justru secara sengaja melibatkan MUI dalam berbagai aspek kebijakan pemerintahannya. Ini sesuatu yang tak pernah dilakukan presiden-presiden sebelumnya.

Kembali John Virgoe:

"Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak tahun 2005 justru mengajak MUI untuk turut terlibat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan pemerintahannya. Ini menjadi sangat berbahaya karena MUI dikuasai kalangan garis keras. Dan pemerintah, maaf, tidak cukup berani menghadapi mereka, dan tidak cukup berani untuk menegakkan nilai-nilai, demokrasi dan toleransi yang selama ini dianut bangsa Indonesia. Ini sangat mencemaskan masa depan Indonesia."