1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kawasan Otonomi Palestina Terbagi Dua

20 Juni 2007

Dengan melantik pemerintahan darurat di Tepi Barat Yordan, presiden Mahmud Abbas ibaratnya membagi dua kawasan otonomi.

Palestina terpecah dua. Hamas kuasai Jalur Gaza, Fatah memerintah di Tepi Barat Yordan.
Palestina terpecah dua. Hamas kuasai Jalur Gaza, Fatah memerintah di Tepi Barat Yordan.Foto: AP

Konflik antara Hamas dan Fatah di Palestina tetap menjadi sorotan berbagai harian internasional. Menanggapi perkembangan situasi di kawasan Palestina itu, harian liberal kiri Spanyol El Pais yang terbit di Madrid berkomentar : Sekarang terdapat dua kawasan otonomi Palestina. Walaupun di kedua bagian itu, apa yang disebut pemerintahan otonomi hanyalah khayalan belaka. Di Tepi Barat Yordan, memerintah, jika boleh disebutkan begitu, presiden Mahmud Abbas dengan kabinet barunya. Dan di Jalur Gaza kelompok Hamas kini memiliki peluang, mendirikan republik Islam sendiri, walaupun berdiri di atas puing-puing reruntuhan. Dan di sela-sela itu, kedua kelompok Palestina itu akan tetap saling menyerang.

Sementara harian Jerman Frankfurter Allgmeine Zeitung yang terbit di Frankfurt am Main berkomentar : Jika pemerintahan baru Palestina di Ramallah mendapat dukungan internasional, hal itu memang dapat dimengerti. Dengan itu diharapkan tercipta stabilisasi oleh elemen moderat Palestina, yang memungkinkan sebuah awal baru. Akan tetapi, amat keliru jika hanya memilah hitam dan putih, Hamas yang berkuasa di Jalur Gaza sebagai kelompok jahat, dan Fatah yang berkuasa di Tepi Barat Yordan adalah kelompok baik. Keduanya sebetulnya sama berlumuran darah.

Sedangkan harian Austria Kurier yang terbit di Wina dalam tajuknya menulis : Rakyat di jalur Gaza jangan dihukum semua, gara-gara sikap kelompok Hamas. Di sisi lain hujan uang bagi Mahmud Abbas juga harus diawasi. Sebab korupsi dan nepotisme dari kelompok Fatah, memberikan kontribusi besar bagi bangkitnya Hamas. Sekarang, Abbas harus membuktikan, dengan dukungan baru dari barat, haluannya dapat memberikan lebih banyak manfaat kepada warga Palestina, ketimbang strategi kekerasan dari Hamas.

Tema lainnya yang masih banyak disoroti harian internasional adalah situasi di Afghanistan. Harian Inggris Financial Times yang terbit di London, terutama mengomentari meningkatnya jumlah korban tewas di kalangan warga sipil. Dalam tajuknya harian ini menulis : Memang dalam setiap peperangan, jatuhnya korban sipil tidak mungkin dihindarkan. Tapi saat ini terdapat bahaya, perang melawan Al Qaida dan Taliban akan lepas kendali. NATO harus berbuat lebih banyak. Bukan hanya melakukan penyidikan dan membuat pres release yang bagus. Melainkan bagaimana mengurangi serangan terhadap warga sipil.

Terakhir harian Italia La Repubblica yang terbit di Roma mengomentari situasi di Afghanistan dengan membuat analoginya dengan situasi Kamboja di zaman Khmer Merah. Di kawasan perbatasan Afghanistan-Pakistan, Al Qaida sukses dengan revolusinya, dan bercampur baur dengan gerakan perlawanan massa- yakni Taliban. Anak-anak diubah menjadi pembunuh, orang tidak berdosa dibantai dan tidak ada lagi masa kanak-kanak. Situasinya mirip dengan era rezim Khmer Merah di bawah Pol Pot. Sebagian anggota Taliban, adalah dampak negativ serangan pemboman AS. Tapi sebagian lagi, merupakan hasil bentukan dari sebuah ideologi.