Kasus KDRT dan Kekerasan dalam Pacaran Kian Meningkat
Devianti Faridz
30 Juli 2021
Kekerasan di dunia maya, yang kebanyakan dilakukan pacar atau mantan pacar, naik drastis saat pandemi. Pada 2020, kekerasan jenis ini tercatat melonjak 920% dibanding tahun sebelumnya.
Iklan
Sejak suami Ayu (nama samaran) dipecat dari pekerjaan tetapnya pada awal pandemi tahun lalu, Ayu menjadi korban pelampiasan rasa frustrasi sang suami. Lelaki itu menjadi pengemudi ojek online untuk menyambung hidup. Namun stres akibat penghasilan yang tidak menentu menyebabkan dia sering melampiaskan amarahnya terhadap Ayu.
Suaminya bahkan pernah mencoba menghujamkan pisau ke tubuh Ayu. Suatu hari, tak tahan menerima perlakuan kasar suaminya, Ayu membawa anak balitanya melarikan diri ke rumah Dr. Maria Ulfah Anshor, Komisioner Komnas Perempuan.
"Relasi yang tidak seimbang antara suami istri yang memicu atau menjadi faktor kekerasan terhadap perempuan. Relasi kuasa ini yang membuat perempuan tidak berdaya," ujar Maria Ulfah Anshor kepada DW Indonesia.
Ranah yang paling berisiko bagi perempuan untuk mengalami kekerasan adalah ranah personal misalnya dalam perkawinan atau di rumah tangga, serta dalam hubungan pribadi seperti pacaran.
Selain kekerasan dalam rumah tangga, jumlah kasus kekerasan dalam pacaran ternyata paling melesat kenaikannya selama pandemi COVID-19. Yang paling sering terjadi adalah kekerasan seksual dalam bentuk pencabulan dan kekerasan berbasis gender siber. Sebagian besar pelakunya adalah pacar sendiri atau mantan pacar.
Semakin banyak perempuan selama pandemi menghadapi kekerasan berbasis gender di dunia maya. Tahun 2019, hanya ada 35 kasus, namun setahun kemudian jumlahnya menjadi 329 kasus. Ini berarti terjadi kenaikan 920% dibandingkan tahun sebelumnya.
Maria Ulfah Anshor mengatakan bahwa di masa pandemi hampir semua aktifitas dilakukan di dunia maya. Dengan demikian, pada saat-saat tertentu, para pelaku berinteraksi dengan lawan jenisnya tidak lagi secara fisik tapi juga online.
Maria menjelaskan bahwa bentuk-bentuk pencabulan kemudian beralih ke online, tempat korban bisa terus diintimidasi. "Bahkan di antara mereka ada yang tanpa disadari (menjadi korban kekerasan seksual) setelah pelaku memberi beberapa instruksi yang berakhir sampai bugil di depan kamera," ujar Maria.
Stres akibat pandemi dilampiaskan ke keluarga
Kembali ke kasus kekerasan dalam rumah tangga, menurut survei Komnas Perempuan yang dikeluarkan Maret 2021, kasus kekerasan terhadap istri tetap menduduki urutan pertama.
Penelitian menunjukan bahwa kekerasan ini disebabkan oleh semakin banyaknya waktu berkumpul di rumah dan kuatnya budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab urusan rumah tangga dan tugas-tugas pengasuhan anak.
Kekerasan Terdokumentasi dalam 16 Benda Sehari-Hari
Berkaitan dengan 16 hari kampanye PBB demi pemberantasan kekerasan terhadap perempuan, Dana Penduduk PBB (UNFPA) mengumpulkan 16 benda dari kasus kekerasan dan penganiayaan di berbagai negara.
Foto: UNFPA Yemen
"Ini Patahan Gigi Saya, Setelah Suami Memukuli Saya"
Ameera (bukan nama asli) baru 13 tahun ketika ia dinikahkan dengan seorang pria tua di Yaman. Suatu hari, karena ia terlambat membangunkan suaminya yang sedang tidur siang, suaminya memukulinya dengan sapu, hingga hidungnya retak dan sebagian giginya patah. Ameera kini tinggal di rumah penampunya yang didukung dana UNFPA. Ia menyimpan patahan gigi sebagai bukti di pengadilan.
Foto: UNFPA Yemen
Kekerasan Diteruskan ke Generasi Berikutnya
Omar (bukan nama sebenarnya) di Maroko merusak piano mainannya ini, saat berusaha menjaga ibunya dari pukulan tangan ayahnya. Ketika itu Omar baru berusia enam tahun. Ibunya mengatakan dengan keselamatan anaknya. "Saya ingin masa depan lebih indah bagi anak-anak saya."
Foto: UNFPA Morocco
"Kami Pertaruhkan Nyawa Tiap Hari Karena Kumpulkan Kayu untuk Memasak"
Di kawasan yang dilanda krisis kemanusiaan, perempuan jadi target empuk. Zeinabu (22) diserang milisi Boko Haram ketika mengumpulkan kayu bakar di dekat kamp pengungsi di bagian timur laut Nigeria. Banyak perempuan lainnya juga diperkosa, diculik atau dibunuh ketika mengumpulkan kayu bakar untuk memasak. Ini foto seikat kayu kering yang dikumpulkan Zeinabu.
Foto: UNFPA Nigeria
Tali Yang Digunakan Ayah Setiap Kali Memperkosa Anaknya
Inilah tali yang digunakan ayah Rawa (bukan nama asli) setiap kali memperkosanya. Perang bisa sebabkan kondisi berbahaya bagi perempuan, bahkan di rumah sendiri. Di Yaman, salah satu negara dengan bencana kemanusiaan terbesar di dunia, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat lebih dari 60%. Salah satu penyebabnya stres berat. Sementara kasus Rawa tidak bisa dimengerti sama sekali.
Foto: UNFPA Yemen
Kekerasan Sebabkan Sakit, Trauma atau Berbuntut Kematian
Martha dirawat dengan obat dan perban untuk pertolongan pertama setelah dipukuli suaminya di Lusaka, Zambia. "Wajahnya babak belur," kata pembimbing di tempat penampungan. "Ia juga menderita luka di punggung. Martha mengatakan, kalau ia tidak melarikan diri, suaminya kemungkinan akan membunuhnya." Dua pertiga korban kekerasan rumah tangga adalah perempuan dan anak perempuan.
Foto: Young Women Christian Association of Zambia and UNFPA
Bayangan Gelap Kekerasan Berdampak pada Seluruh Keluarga
Keluarga Tatiana di Ukraina terpecah belah akibat suaminya yang meneror dengan kekerasan. Sekarang Tatiana sudah terlepas dari suaminya. Tetapi ia dan enam anaknya masih berusaha membangun hidup baru di rumah yang sempit. "Saya sekarang hidup bagi anak-anak saya," katanya.
Foto: UNFPA Ukraine/Maks Levin
Penyiksaan Psikologis Juga Bentuk Kekerasan
Di Bolivia, pacar Carmen (bukan nama asli) selalu menertawakan penampilannya. Ia mengejek baju dan gaya Carmen. Oleh sebab itu, Carmen selalu bersembunyi di toilet di universitas, termasuk yang tampak pada foto. Perlakuan seperti itu dampaknya dalam, katanya. Itu berefek pada keyakinan diri dan bisa mengubah seseorang.
Foto: UNFPA Bolivia/Focus
Jejak Kaki Saat Melarikan Diri
"Saya ditampar kemudian diseret suami saya." Begitu cerita Sonisay (bukan nama sebenarnya) di Kamboja. Ini foto telapak kaki Sonisay di pekarangan rumah, saat lari dari suaminya. Secara global, sepertiga perempuan mengalami kekerasan, dalam bentuk apapun. Dan itu kerap disebabkan oleh seseorang yang dikenalnya.
Foto: UNFPA Cambodia/Sophanara Penn
"Ia Didorong ke Tempat Tidur kemudian Dicekik"
Kekerasan seksual bisa mengubah hidup perempuan sepenuhnya akibat teror, stigma, penyakit atau kehamilan. Di Yordania, seorang perempuan pergi ke klinik untuk minta bantuan medis. Di sana ia lega setelah diberitahu tidak hamil. "Tapi ia tetap syok dan sedih," kata Dr. Rania Elayyan. Seperti halnya banyak orang lain yang selamat dari serangan. Perempuan ini memilih tidak melaporkan nasibnya.
Foto: UNFPA Jordan/Elspeth Dehnert
Perempuan Berusaha Minimalisasi Kekerasan
Di kawasan krisis, perempuan juga menghadapi kesulitan mencari tempat yang bisa didatangi, juga berpakaian untuk minimalisasi ancaman kekerasan. Kekerasan seksual merajalela di kalangan Rohingya yang lari dari krisis di Myanmar. Ini foto gundukan pakaian di luar kamp pengungsi di Bangladesh, yang ditolak perempuan karena dianggap bisa menyulut perhatian yang tidak diinginkan dari pria.
Foto: UNFPA Bangladesh/Veronica Pedrosa
"Ia Membawa Saya Ke Rumahnya"
Di Zambia, Mirriam (14) mengunjungi pusat konseling setelah dipaksa menikah dengan pria berusia 78 tahun. "Rasa sakit hampir tidak tertahan," kata Mirriam. "Ia mengatakan saya harus melakukannya karena saya sekarang istrinya." Di negara berkembang, rata-rata satu dari empat anak perempuan dipaksa menikah. Namun pernikahan anak-anak juga bisa ditemukan di negara berkembang.
Foto: Young Women Christian Association of Zambia and UNFPA
Mutilasi Berujung Penderitaan
Seorang perempuan yang biasa melakukan mutilasi genital atau FGM (Female Genital Mutilation) di Somalia kini menyadari bahayanya. “Anak perempuan saya jatuh sakit setelah melalui FGM,” demikian diakuinya. Tapi ia memperkirakan, FGM tidak bisa dihapuskan dengan mudah.
Foto: Reuters/S. Modola
Perampasan Hak Finansial Juga Suatu Kekerasan
Hakim di Nikaragua mengeluarkan keputusan hukuman terhadap ayah Sofia (bukan nama sebenarnya), yang memukuli istrinya, dan tidak memberikan dukungan finansial kepada Sofia. Ia menghentikan sokongan saat Sofia mengandung di usia 14. Hakim memutuskan, ayahnya harus memberikan sokongan sampai ia berusia 21 tahun.
Foto: UNFPA Nicaragua/Joaquín Zuñiga
"Kami Dikurung Sejak Kecil selama 20 Tahun"
Sejumlah kasus mengerikan menunjukkan bagaimana perempuan dan anak perempuan dirampas kebebasannya. Contohnya Balqees (bukan nama asli) di Yaman. Sejak berusia 9 tahun, ia dan saudara perempuannya dikurung di kamar ini. Saudara laki-laki mereka merasa, saudara perempuan mereka akan memalukan keluarga jika berbaur dengan masyarakat. Akhirnya, mereka ditinggalkan sepenuhnya dan ditolong tetangga.
Foto: UNFPA Yemen
Pria dan Anak Laki-Laki Harus Ikut Serta Menghapus Kekerasan
Ry di Kamboja mengatakan, ia sering melakukan kekerasan terhadap istrinya di rumah ini. Tapi ia kemudian ikut "Good Men Campaign" (Kampanye Pria Baik), yaitu inisiatif untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Sekarang ia bertekad bersikap lebih baik. "Kalau bisa kembali ke masa lalu, saya tidak akan bertengkar dengan istri saya. Malah lebih mencintai dan menghormatinya," kata Ry.
Foto: UNFPA Cambodia/Sophanara Pen
Kekerasan Tidak Boleh Diselubungi
Kisah kekerasan harus diungkap agar cakupan masalah bisa dilihat semua orang, dan jalan keluar bisa ditemukan. Di Belarus, seorang perempuan yang selamat dari KDRT menggambar bunga dalam kelas terapi. Tujuannya adalah agar mereka bisa memproyeksikan dan menangani rasa takut, dan belajar dari pengalaman. Topik kelas ini adalah "open to live" (terbuka untuk hidup). Ed.: ml/hp (Sumber: UNFPA)
Foto: UNFPA Belarus/Dina Ermolenko
16 foto1 | 16
Tugas-tugas itulah yang menjadikan perempuan stres dan kelelahan. Sementara ketidakstabilan finansial akibat pemutusan hubungan kerja membuat banyak pekerja laki-laki mengalami krisis maskulinitas yang memicu KDRT.
Pada awal pandemi, kasus pengaduan kekerasan menurun karena mobilitas istri dan anak perempuan terbatas, sehingga sulit bagi mereka untuk mengakses lembaga bantuan. Di samping itu, banyak lembaga layanan tutup dan sistem pelaporan kekerasan berubah dari sistem manual ke sistem daring.
Maria Puspita, psikolog dari Yayasan Pulih mengatakan "apa yang dialami korban baik itu secara fisik, perilaku, dan pikirannya bisa berpengaruh pada relasi sosialnya, berpengaruh pada lingkungannya, dan lingkungan pun berpengaruh pada dirinya sendiri."
"Sangat penting untuk mendukung korban untuk bisa mengatasi dan menangani efek dampak psikologis maupun untuk melaporkan kasusnya sendiri," ujar Maria Puspita kepada DW Indonesia.
Iklan
Korban perlu terus mendapat dukungan
Korban kekerasan perlu diingatkan bahwa kekerasan bukanlah sesuatu yang wajar. Setiap orang tidak layak untuk mendapatkan kekerasan dalam bentuk apa pun, baik itu secara fisik maupun verbal, termasuk kekerasan seksual.
Komnas Perempuan terus mendorong semua lembaga layanan agar lebih mendekat ke korban karena mereka mungkin terbatas ruang geraknya selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) atau tidak memiliki akses transportasi.
Komisi nasional ini pun mengimbau agar pemerintah daerah memasukkan bantuan finansial untuk korban kekerasan dalam anggaran daerahnya dan memudahkan prosedur bagi korban untuk mendapatkan rujukan melakukan visum di rumah sakit. Selama ini sebagian besar bantuan untuk membiayai visum datang dari kepolisian, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) serta dari lembaga swadaya masyarakat.
Seiring dengan waktu, layanan bagi korban kekerasan terhadap perempuan semakin dipermudah. Kini, mereka pun bisa menerima bantuan psikologis dari konselor online dengan mengakses situs Komnas Perempuan.
Selain itu, tes antigen gratis yang dulu hanya terbatas untuk publik dan orang lanjut usia dengan gejala COVID-19 di puskesmas, sekarang tersedia bagi para korban kekerasan rumah tangga yang berencana mencari perlindungan di Rumah Aman. (ae)