Keadilan bagi Keluarga Korban 'Perang Narkoba' di Filipina
Ana P. Santos (Manila)
29 Juli 2024
Suami dan putra Mary Ann Domingo dibunuh oleh polisi dalam sebuah operasi penggerebekan narkoba. Delapan tahun kemudian, beberapa petugas kepolisian dijatuhi hukuman dengan pasal pembunuhan.
Iklan
Pada usia 51 tahun, Mary Ann Domingo akhirnya memenuhi impian seumur hidupnya untuk lulus SMA. Namun, dia berharap putranya, Gabriel, dan suaminya, Luis, dapat menghadiri wisudanya.
Lewat tengah malam pada tanggal 15 September 2016, sekitar 15 hingga 20 orang yang di antaranya adalah polisi berseragam dan beberapa orang bertopeng, masuk ke rumah Domingo untuk melakukan operasi penggerebekan narkoba.
Saat itu merupakan puncak dari kampanye anti-narkoba di Filipina yang dicanangkan oleh mantan Presiden Rodrigo Duterte, dan Luis adalah target mereka.
Domingo mengatakan bahwa dia dan anak-anaknya diseret ke jalan. Namun Gabriel, 19 tahun, menolak untuk meninggalkan ayahnya. Polisi menembak dan membunuh mereka berdua, mengeklaim bahwa kedua orang itu telah melawan saat ditangkap.
Pada bulan Juni lalu, empat polisi yang terlibat dalam insiden tersebut dinyatakan bersalah atas pembunuhan oleh pengadilan di Kota Caloocan, sebelah utara Manila. Bagi Domingo, putusan tersebut merupakan hasil akhir upayanya dalam mencari keadilan.
Selama delapan tahun, Domingo dan keluarganya terus berpindah-pindah sebagai bagian dari program perlindungan saksi informal yang diorganisir oleh kelompok-kelompok agama dan organisasi hak asasi manusia.
"Kami kelelahan,” kata Domingo, seraya menambahkan bahwa sebagai saksi pembunuhan, dia dan keluarganya merasa tidak aman dan melarikan diri dari rumah mereka.
Besarnya skala pembunuhan terkait narkoba membuat organisasi-organisasi keagamaan berebut untuk memberikan perlindungan bagi puluhan keluarga korban.
"Mereka semua sangat ketakutan. Mereka tidak tahu ke mana mereka bisa pergi atau siapa yang bisa mereka percaya. Mereka hanya tahu bahwa mereka harus lari,” kata Jun Santiago, seorang Bruder Penebus di Gereja Baclaran, kepada DW.
Sisi Gelap Perang Narkoba di Filipina
Presiden Filipina Rodrigo Duterte bersumpah akan memberantas bisnis narkoba. Untuk itu ia menggunakan cara-cara brutal. Hasilnya ratusan mati ditembak dan penjara membludak.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Sumpah Digong
Presiden baru Filipina, Rodrigo "Digong" Duterte, melancarkan perang besar terhadap kelompok kriminal, terutama pengedar narkotik dan obat terlarang. Sumpahnya itu bukan sekedar omong kosong. Sejak Duterte naik jabatan ribuan pelaku kriminal telah dijebloskan ke penjara, meski dalam kondisi yang tidak manusiawi.
Foto: Reuters/E. De Castro/Detail
Sempit dan Sesak
Potret paling muram perang narkoba di Filipina bisa disimak di Lembaga Pemasyarakatan Quezon City, di dekat Manila. Penjara yang dibangun enam dekade silam itu sedianya cuma dibuat untuk menampung 800 narapidana. Tapi sejak Duterte berkuasa jumlah penghuni rumah tahanan itu berlipat ganda menjadi 3.800 narapidana
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Beratapkan Langit
Ketiadaan ruang memaksa narapidana tidur di atas lapangan basket di tengah penjara. Hujan yang kerap mengguyur Filipina membuat situasi di dalam penjara menjadi lebih parah. Saat ini tercatat cuma terdapat satu toilet untuk 130 tahanan.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Cara Cepat "menjadi gila"
Tahanan dibiarkan tidur berdesakan di atas lapangan. "Kebanyakan menjadi gila," kata Mario Dimaculangan, seorang narapidana bangkotan kepada kantor berita AFP. "Mereka tidak lagi bisa berpikir jernih. Penjara ini sudah membludak. Bergerak sedikit saja kamu menyenggol orang lain," tuturnya. Dimaculangan sudah mendekam di penjara Quezon City sejak tahun 2001.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Minim Anggaran
Sebuah ruang sel di penjara Quezon City sebenarnya cuma mampu menampung 20 narapidana. Tapi lantaran situasi saat ini, sipir memaksa hingga 120 tahanan berjejalan di dalam satu sel. Pemerintah menyediakan anggaran makanan senilai 50 Peso atau 14.000 Rupiah dan dana obat-obatan sebesar 1.400 Rupiah per hari untuk setiap tahanan.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Sarang Penyakit
Buruknya situasi sanitasi di penjara Quezon City sering berujung pada munculnya wabah penyakit. Selain itu kesaksian narapidana menyebut tawuran antara tahanan menjadi hal lumrah lantaran kondisi yang sempit dan berdesakan.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Sang Penghukum
Dalam perang melawan narkoba Duterte tidak jengah menggunakan cara brutal. Sejak Juli silam aparat keamanan Filipina telah menembak mati sekitar 420 pengedar narkoba tanpan alasan jelas. Cara-cara yang dipakai pun serupa seperti penembak misterius pada era kediktaturan Soeharto di dekade 80an. Sebab itu Duterte kini mendapat julukan "the punisher."
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Membludak
Menurut studi Institute for Criminal Policy Research di London, lembaga pemasyarakatan di Filipina adalah yang ketiga paling membludak di dunia. Data pemerintah juga menyebutkan setiap penjara di dalam negeri menampung jumlah tahanan lima kali lipat lebih banyak ketimbang kapasitas aslinya.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Pecandu Mati Kutu
Presiden Duterte tidak cuma membidik pengedar saja, ia bahkan memerintahkan kepolisian untuk menembak mati pengguna narkoba. Hasilnya 114.833 pecandu melaporkan diri ke kepolisian untuk menjalani proses rehabilitasi. Namun lantaran kekuarangan fasilitas, sebagian diinapkan di berbagai penjara di dalam negeri.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Duterte Bergeming
Kelompok HAM dan gereja Katholik sempat mengecam sang presiden karena ikut membidik warga miskin yang tidak berurusan dengan narkoba. Beberapa bahkan ditembak mati di tengah jalan tanpa alasan yang jelas dari kepolisian. Seakan tidak peduli, Duterte malah bersumpah akan menggandakan upaya memberantas narkoba.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
10 foto1 | 10
Bertahun-tahun mencari keadilan
Kristina Conti, Sekretaris Jenderal Persatuan Pengacara Rakyat Nasional, telah menjadi pengacara Domingo sejak 2018. Dia mengatakan kepada DW bagaimana Domingo mengubah kesedihannya menjadi tantangan bagi pihak berwenang.
"Ini merupakan terobosan bagi keluarga korban untuk menuntut polisi. Ketika kami mengajukan kasus ini, ada secercah harapan,” kata Conti. Dia menambahkan bahwa meskipun terkadang ada keraguan apakah kasus ini akan berlanjut, Domingo "tidak pernah goyah dalam memperjuangkan keadilan.”
Conti mengatakan bahwa para pejabat berusaha menutupi tanggung jawab polisi dalam pembunuhan dalam perang melawan narkoba.
Kesaksian saksi Domingo adalah bukti terkuat mereka. Untuk memperkuat kesaksiannya, mayat Gabriel dan Luis digali untuk diotopsi postmortem untuk menentukan penyebab kematiannya. Temuan dari ahli patologi forensik terkemuka di Filipina, Dr. Raquel Fortun, mengungkapkan bahwa kedua orang itu mengalami beberapa tembakan yang mengindikasikan adanya niat untuk membunuh.
Selama proses penggalian dan otopsi forensik, Santiago terus mendampingi Domingo. Domingo dengan lembut memeluk kepala Gabriel, melipat ujung-ujung kantong mayat di sekelilingnya seolah-olah itu adalah selimut. Dasi yang dibelikannya untuk Gabriel sebelum dia terbunuh kini sudah menghitam dan berdebu.
Sehari sebelum dia meninggal, Domingo membelikan putranya sebuah dasi untuk dipakai di pekerjaan katering barunya. Yang pada akhirnya Gabriel tidak pernah memakai dasi itu untuk bekerja. Sebaliknya, dia memakainya untuk pemakamannya sendiri.
"Otopsi forensik diperlukan untuk mengumpulkan lebih banyak bukti, tetapi sangat traumatis bagi Mary Ann melihat putra dan suaminya seperti itu,” kata Santiago.
Perang Narkoba di Filipina, Warga Desak Investigasi Pelanggaran HAM
Perang melawan narkoba ala Presiden Duterte di Filipina telah menewaskan sedikitnya enam ribu orang. Kelompok HAM yakin jumlahnya lebih tinggi. Warga berunjuk rasa menuntut Komisi HAM PBB melakukan investigasi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Marquez
Unjuk rasa tuntut investigasi
Keluarga korban yang anggota keluarganya terbunuh dalam "perang melawan narkoba" Presiden Rodrigo Duterte menunjukkan plakat dan potret kerabat mereka yang terbunuh. Mereka mendesak Komisi Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC) untuk menyelidiki kemungkinan adanya pelanggaran HAM yang terjadi. Aksi unjuk rasa ini berlangsung di pinggiran kota Quezon, timur laut Manila, Filipina.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Marquez
Resolusi PBB
Pensiunan Uskup Katolik Roma Nicanor Yniguez (paling kiri) bergabung dengan keluarga korban dalam unjuk rasa ini. 47 negara anggota Komisi HAM PBB (UNHRC) akan memungut suara pada tanggal 12 Juli terkait resolusi pembentukan investigasi independen insiden pembunuhan sejak Duterte menjadi presiden tiga tahun lalu. Resolusi ini ditawarkan oleh Islandia dan beberapa negara anggota lain.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Marquez
"They Just Kill"
Dalam laporan Amnesty International yang berjudul "They Just Kill," organisasi HAM yang berbasis di London itu mendesak UNHRC untuk menyetujui resolusi yang menyerukan penyelidikan di Filipina. Menurut Amnesty, di sana sekarang ada "normalisasi berbahaya" dari praktik eksekusi ilegal dan pelanggaran oleh polisi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Marquez
Belasan ribu korban
Ketua Komisi HAM Filipina, Chito Gascon (tengah), memimpin keluarga korban yang terbunuh di "perang melawan narkoba" dalam long march di ibukota Filipina, Manila. Jumlah korban tewas secara tepat tidak bisa diverifikasi. Namun, setidaknya enam ribu orang telah tewas sejak Duterte menjadi Presiden Filipina pada pertengahan 2016. Human Rights Watch (HRW) klaim 12 ribu orang telah terbunuh.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Marquez
Perang belum akan selesai
Peneliti HRW Filipina Carlos Conde mengatakan, HRW yakin situasi ini akan menjadi lebih buruk karena pembunuhan telah menjadi alat politik yang digunakan untuk menjaga popularitas Duterte. "Dia sendiri mengatakan masalah narkoba telah memburuk, semacam memprediksikan pernyataannya bahwa sebenarnya situasi juga akan memburuk," ujar Conde. (na/vlz, AP)
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Marquez
5 foto1 | 5
Menatap masa depan
Pada hari kelulusannya, Domingo dikelilingi oleh keluarganya. Delapan tahun yang lalu, mereka saling menghibur satu sama lain saat Gabriel dan Luis dimakamkan.
Kini, putri Domingo, Alexa, telah lulus dari perguruan tinggi dengan predikat terbaik dan baru-baru ini lulus ujian lisensi guru. Anak laki-laki Gabriel, Gab, berusia 8 tahun dan semakin mirip dengan ayahnya. “Gabriel pasti akan sangat bangga dengan saya. Dia sangat menginginkan hal ini untuk saya,” kata Domingo.
Beberapa tahun yang lalu, ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas, atas dorongan Gabriel, dan bergabung dengan putranya dalam sebuah program pembelajaran alternatif.
"Kami duduk bersebelahan di kelas. Dia selalu memamerkan saya kepada teman-temannya, dan berkata: 'Lihatlah mama saya, begitu gigih untuk mendapatkan pendidikan. Dia bisa saja berada di panggung itu bersama saya. Kami bisa saja berbagi momen ini bersama,” kata Domingo.
Domingo berencana untuk mendapatkan gelar sarjana di bidang pengembangan masyarakat dan menjadi pekerja sosial. Dia juga berencana untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan suami dan putranya.
"Mereka tidak lagi bersama kami, tetapi impian mereka tetap bersama kami. Mimpi mereka akan membawa kita terus maju,” kata Domingo.