1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kebebasan Baru bagi Pers di Myanmar

19 Februari 2012

Reformasi di Myanmar mencakup juga reformasi UU Pers. RUU Pers yang baru sedang disiapkan. Meski sensor tetap ada, banyak hal yang kini lebih bebas untuk diberitakan.

Foto: AP

Ahr Mahn, pemimpin redaksi mingguan Seven Day News, baru saja kembali dari lembaga sensor negara. Myanmar memang menuju demokratisasi, sensor dilonggarkan, tapi bukan berarti benar-benar dihapuskan. Hari itu, sebuah artikel yang ditulis pemimpin redaksi terpaksa tidak bisa naik cetak.

"Mereka menyuruh saya untuk membuat laporan yang nadanya lebih lunak. Ada artikel saya yang dikuatirkan akan membahayakan perjalanan kampanye Aung San Suu Kyi," katanya.

Sebenarnya artikel itu menyiratkan kritik terhadap pemerintah. Apalagi, kata Ahr Mahn, sebenarnya tidak ada masalah lagi bila koran memberitakan Aung San Suu Kyi. Saat ini, hampir semua media independen di Myanmar sudah pernah menampilkan foto politisi oposisi itu di sampulnya.

Kepercayaan Warga terhadap Pers Meningkat

"Sejak Agustus tahun lalu, sejak pembicaraan Aung San Suu Kyi dengan Presiden Thein Sein, kami boleh memuat foto Aung San Suu Kyi di halaman depan. Sebelumnya hal itu sangat dilarang. Fotonya kadang hanya boleh dimuat di bagian dalam," ujar Ahr Mahn.

Seven Day News pekan ini menampilkan foto Aung San Suu Kyi yang melambaikan tangan dari dalam sebuah mobil sebagai gambar sampul. Foto itu diambil ketika Suu Kyi berkampanye di daerah Dawei. The Voice, majalah lainnya, juga menampilkan wajah Suu Kyi. Pokoknya, semua media yang menampilkan Aung San Suu Kyi pasti laku keras.

The Voice memiliki oplah hingga 85 ribu eksemplar per minggunya. Sementara Seven Day News beroplah sekitar 140 ribu eksemplar.

Belakangan ini, kata pemimpin redaksi Ahr Mahn, oplah majalahnya naik drastis, "Sejak April tahun lalu, oplah meningkat, karena tiba-tiba berita itu penting, dan karena orang-orang percaya apa yang kami tulis. Lalu datang pula Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton ke Myanmar. Itu semua baru bagi kami."

Foto: REUTERS

Selain itu, tiba-tiba pemberitaan di media menjadi lebih aktual. Zeya Thu, wakil pemimpin redaksi The Voice menjelaskan, "Kalau dulu, berita yang ada di koran itu berita lama. Karena proses sensornya saja menyita waktu seminggu."

Lebih Bebas, Tapi Tetap Banyak Aturan

Yang hingga kini masih dilarang adalah pemberitaan mengenai perundingan antara pemerintah dengan etnis minoritas. Apalagi sekarang perkembangannya sangat lambat. Setidaknya tidak ada pernyataan kelompok etnis yang boleh dipublikasikan, terutama dari negara bagian Kachin yang dikenal membangkang.

Meskipun begitu, kata Zeya Thu, ia tidak lagi mengkhawatirkan sensor. Itu saja sudah merupakan kemajuan besar.

"Dulu banyak hal tidak boleh ditulis, tentang tahanan politik, atau hak azasi manusia. Kini semuanya mungkin, dan makanya kami menulis saja yang kami mau, baru memikirkan sensor. Apa yang mereka lakukan, apa yang mereka potong," ungkapnya.

Parlemen Myanmar saat ini mempersiapkan undang-undang pers yang baru, yang mencabut ketentuan sensor. Tapi ini berlaku hanya untuk media cetak. Hal tersebut diungkapkan Menteri Informasi akhir Januari lalu melalui keterangan pers. "Kami yakin, Anda akan senang ketika UU Pers ini disahkan," begitu katanya.

Jurubicara Kementerian Informasi Myanmar mengatakan bahwa pasal-pasal RUU Pers yang baru itu diambil dari undang-undang serupa di Kamboja, Vietnam dan Indonesia. Tapi terutama di Vietnam, hampir tidak ada jaminan bagi kebebasan media dan berpendapat sehingga masih ditunggu-tunggu apa isi RUU itu. Diperlukan setidaknya waktu setahun hingga undang-undang itu disahkan, kata Ahr Mahn dari Seven Day News.

Tidak semua jurnalis di Myanmar optimistis menghadapi undang-undang pers yang baru itu. Simak saja penuturan Htet Htet Kine, reporter Myanmar Post, majalah mingguan independen, yang oplahnya berkisar 20 ribu eksemplar per minggu. Myanmar Post masih berusia muda, baru didirikan tahun lalu. "Saya pernah mewawancarai aktor terkenal tentang sensor di industri perfilman. Tentunya semua tulisan itu dipotong habis," tutur Htet Htet Kine.

Peristiwa itu terjadi baru-baru ini. Oleh sebab itu Htet Htet Kine skeptis apakah pembatasan kebebasan berpendapat itu benar-benar akan dibuka atau apakah pemerintah sungguh-sungguh melakukan reformasi bidang media. U Aung Myint adalah seorang redaktur di majalah yang sama, Myanmar Post.

Ia pun memiliki keraguan. Katanya, "Tentu saja terdapat perubahan dalam 14 bulan terakhir ini. Tapi itu tidak cukup. Akhirnya sensor tetap ada, walau pun ada kelonggaran. Kami harus minta izin untuk setiap artikel yang akan dimuat. Iklan juga diperiksa dulu. Itu bukanlah kebebasan pers."

Ingin Bisa Terbit Setiap Hari

U Aung Myint bekerja di pelbagai media dalam 15 tahun terakhir ini. Sekarang ia ingin menulis bebas untuk Myanmar Post. Tapi masih banyak contoh lain dari pemberlakuan sensor.

"Baru saja wawancara saya dengan U Thein Oo, ketua Partai Liga Nasional untuk Demokrasi Aung San Suu Kyi dilarang. Semuanya dicoret. Wawancara itu tentang masa depan dan makna militer di Myanmar."

Kebebasan pers sebenarnya juga memperbolehkan tulisan yang membuat pemerintah merasa tidak nyaman.

Meski masih diliputi skeptis, pemimpin redaksi The Voice Zeya Thu merasa optimistis dalam menghadapi masa depan media massa di Myanmar. Harapan Zeya Thu, yang juga harapan rekan dan saingannya adalah media mereka bisa terbit tiap hari. Saat ini hanya media pemerintah yang boleh terbit harian.

Udo Schmidt/Luky Setyarini

Editor: Ayu Purwaningsih