RSF: Kebebasan Pers di Bawah Tekanan Selama Pandemi Corona
Alex Berry
20 April 2021
Sebuah laporan baru menyebutkan bahwa meskipun kebebasan pers di seluruh dunia dibatasi selama pandemi virus corona, jurnalisme tetap menjadi alat melawan informasi yang salah.
Pemberitaan tentang perkembangan virus corona telah dibatasi di banyak negara. "Pandemi virus corona telah memperkuat dan mengkonsolidasikan kecenderungan represif di seluruh dunia," kata Direktur Eksekutif RSF Jerman Christian Mihr kepada DW.
Namun, jurnalis masih memegang peranan penting dalam melawan disinformasi yang disebarkan oleh para pemimpin seperti mantan Presiden AS Donald Trump, Presiden Brasil Jair Bolsonaro, dan Nicolas Maduro dari Venezuela.
Jurnalisme independen merupakan "alat efektif tunggal melawan pandemi informasi yang salah," kata Mihr.
Kebebasan pers dirugikan di Eropa
Meski negara-negara Eropa menempati tujuh dari 10 teratas yang terdaftar oleh RSF dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2021, laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa hanya tiga negara teratas yakni Norwegia, Finlandia, dan Swedia yang cukup melindungi kebebasan pers.
Iklan
Laporan itu juga mengecam Inggris atas perlakuannya terhadap pendiri WikiLeaks Julian Assange, membuat negara itu turun dua peringkat. "Tempat ke-33 bukanlah posisi yang baik untuk ibu pertiwi demokrasi," kata Mihr tentang Inggris.
Laporan RSF mengutuk Yunani dan Spanyol atas upaya mereka membatasi pemberitaan tentang migran serta "keputusan politik tanpa malu-malu Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban untuk membatasi kebebasan berbicara dan kebebasan pers."
Banyaknya insiden reporter yang diserang oleh para ahli teori konspirasi pada protes anti-penguncian membantu menurunkan skor kebebasan pers Jerman dua peringkat ke posisi 13.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Situasi berbahaya bagi jurnalis di seluruh dunia
Tidak heran apabila Belarusia dinilai buruk dalam laporan tersebut. Tercatat hingga akhir tahun 2020, lebih dari 400 jurnalis telah ditangkap di sana. Sementara itu, kebebasan pers yang dibatasi di negara Eropa Timur membuatnya meraih skor terburuk dan menempatkannya di peringkat 158 dari total 180 negara yang terdaftar.
Rusia hanya bernasib sedikit lebih baik, berada di posisi 150.
Banyak negara di Afrika mencatatkan kinerja buruk, salah satunya Eritrea yang berada di peringkat terakhir. Benua Afrika dianggap menjadi wilayah paling berbahaya bagi jurnalis.
Namun, beberapa negara mendapatkan nilai bagus karena mengalami peningkatan signifikan. Burundi melonjak 13 peringkat, menempati 147, karena telah berhasil membebaskan beberapa jurnalis yang ditangkap secara sewenang-wenang.