Pemberangusan kebebasan pers di Indonesia sekarang juga datang dari dalam organisasi media sendiri. Juragan media sering lupa bahwa seharusnya mereka mengabdi pada publik. Verlyana Hitipeuw membagi pandangannya.
Iklan
Setiap tahun, tanggal 3 Mei didedikasikan untuk merayakan serta mengevaluasi praktik kebebasan pers di seluruh dunia. Hari peringatan ini juga ditujukan untuk memberi penghargaan kepada para jurnalis yang telah mempertaruhkan keselamatannya saat menjalankan profesi mereka.
Tanggal tersebut pertama diproklamasikan sebagai WPFD oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1993, sebagai respon terhadap Deklarasi Windhoek, yakni pernyataan mengenai prinsip dasar kebebasan pers yang diserukan oleh para kuli tinta asal Afrika pada tahun 1991. Sebetulnya apa arti dari perayaan WFPD ini untuk kita? Dan perlukah kita, yang bukan wartawan, ikut merayakan WFPD?
Kebebasan pers Indonesia dari pandangan dunia
Setiap tahun, setidaknya ada tiga organisasi internasional yang merilis data mengenai kebebasan pers di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam penilaiannya, organisasi tersebut menyoroti hal yang berbeda-beda, namun pada dasarnya mereka semua mengukur tingkat kebebasan pers berdasarkan pengamatan dari luar, misalnya dengan menilai kerangka hukum yang berlaku, jumlah pelanggaran hukum pers, dan jumlah wartawan yang terluka atau meninggal karena pekerjaan.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Laporan Reporters Without Borders tahun 2016 menyatakan bahwa Indonesia bercokol di peringkat ke-130 dari 180 negara. Walaupun Indonesia naik delapan peringkat dari tahun sebelumnya, namun hal ini bukanlah sesuatu yang dapat dibanggakan, mengingat pada tahun 2007 Indonesia pernah menduduki peringkat ke-100.
Catatan penting yang diberikan dari laporan ini adalah bahwa Indonesia masih tidak membuka akses bagi jurnalis asing untuk meliput di Papua. Organisasi Freedom House menyatakan bahwa sejak 2007 sampai 2015 pers Indonesia masih bebas sebagian, hanya sedikit sekali perubahan sehingga tidak dapat menggeser statusnya menjadi bebas sepenuhnya seperti negara-negara Skandinavia. Sementara itu, Committee to Protect Journalists mencatat bahwa sejak tahun 1992 ada 10 jurnalis Indonesia yang kehilangan nyawa terkait pekerjaan mereka.
Kebebasan Pers Indonesia Menurut Penulis
Dari hasil evaluasi ketiga organisasi di atas kita dapat melihat bahwa meskipun sudah ada kemajuan terkait kebebasan pers yang dapat dicapai negeri ini setelah reformasi, tetapi media kita masih tidak sepenuhnya lepas dari tantangan.
Beberapa di antaranya berasal dari luar insitusi media seperti hambatan dari kerangka peraturan, masalah sensor, dan juga kekerasan terhadap wartawan. Hal-hal ini sepertinya tidak jarang kita dengar, bahkan mungkin sudah kita pahami, karena media juga sering memberitakannya.
Namun yang jarang diketahui oleh kita sebagai masyarakat awam adalah bahwa sebetulnya ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia belakangan ini juga datang dari dalam organisasi media. Loh bagaimana mungkin kebebasan pers yang ditujukan untuk media justru “diganggu” oleh institusi itu sendiri? Jawabannya, SANGAT MUNGKIN, apalagi jika ada banyak kepentingan yang mengganggu independensi ruang redaksi, sehingga isi pemberitaan tidak lagi “berimbang”.
Profesi Dengan Kondisi Terburuk
Atmosfir kerja, gaji, peluang karir dan stres jadi empat kriteria utama tentukan pekerjaan mana yang kondisinya paling buruk di Amerika Serikat. Kerja yang kelihatannya bergengsi realitanya sering tidak begitu.
Foto: Colourbox
10. Pemadam Kebakaran
Jadi petugas pemadam kebakaran adalah impian kebanyakan anak-anak di Amerika atau Eropa. Tapi realitanya profesi ini tergolong buruk kondisinya. Gajinya memang menggiurkan 46.000 USD setahun. Tapi faktor stresnya paling tinggi dan atmosfIr kerjanya tidak nyaman.
Foto: Getty Images/J. Sullivan
9. Sopir Taksi
Pendapatan sopir taksi hanya separuh petugas pemadam kebakaran, yakni 23.000 USD setahun. Tapi faktor stresnya tinggi, risiko keamanan dari ancaman kejahatan juga besar. Tidak ada atmosfir kerja dan tak ada peluang berkarir lebih tinggi.
Foto: picture alliance/dpa/D. Gammert
8. Marketing Iklan
Tampilannya harus selalu necis dan gajinya sekitar 47.000 USD setahun. Tapi atmosfir kerjanya tak nyaman dengan persaingannya keras dan faktor stresnya tinggi. Peluang berkarir nyaris tidak ada, dan saat ini tidak ada harapan naik gaji, bahkan ada kemungkinan gaji turun hingga 3 persen.
Foto: Fotolia
7. Pramuniaga
Pegawai ritel alias pramuniaga harus selalu berpakaian necis, tapi gajinya untuk ukuran rata-rata AS tergolong rendah, sekitar 21.000 USD per tahun. Kerjanya tidak menyenangkan, peluang berkarir tidak banyak, faktor stres tinggi. Yang positif, pekerja sektor ritel bisa mengharap kenaikan gaji hingga 7 persen.
Foto: picture-alliance/dpa/Xinhua/T.Jin
6. Pembasmi Wabah
Petugas pembasmi dan pengendali wabah punya risiko tinggi tertular penyakit mematikan dengan gaji relatif rendah hanya 30.000 USD setahun. Profesi dengan kadar stres tinggi, atmosfir kerja tak nyaman dan tidak ada peluang berkarir. Harapan naik gaji tak ada, bahkan bisa turun sekitar 1 persen.
Foto: picture-alliance/dpa/N. Sangnak
5. Anggota Militer Rendahan
Para prajurit di AS gajinya berkisar pada 28.000 USD setahun. Karirnya tidak terlalu cerah, dan biasanya berhenti di kisaran pangkat tamtama. Stres tinggi, atmosfír kerja tegang dan nyaris tak ada harapan naik gaji.
Foto: picture-alliance/dpa/K. Kallinikov
4. Disc Jockey
Tampilannya selalu keren dan trendy. Tapi gajinya hanya sedikit di atas sopir taksi sekitar 29.000 USD setahun. Kerjanya tak nyaman dan penuh stres karena biasanya malam hari. Atmosfirnya bagus, tapi tak ada peluang berkarir. Pendapatan mereka bahkan cenderung turun drastis hingga 11 persen.
Foto: maxoidos/Fotolia
3. Penyiar Radio
Penyiar radio kedengarannya profesi keren. Realitanya ini kerja penuh stres, walau atmosfir kerjanya relatif menyenangkan. Peluang berkarir nyaris tak ada. Walau gajinya lumayan untuk ukuran AS, yakni 37.000 UDS setahun, namun harapan naik gaji tak ada. Justru kemungkinan turun gaji hingga 9 persen.
Foto: IIPM – International Institute of Political Murder/Daniel Seiffert
2. Penebang Kayu
Kerja berbahaya tanpa persepektif karir. Atmosfir kerja membosankan dan penuh stres. Kisaran gajinya lumayan menurut ukuran AS, yakni 35.000 USD per tahun, tapi kini kecenderungannya turun gaji hingga
Foto: picture-alliance/dpa/W. Rudhart
1. Wartawan Surat Kabar
Walau predikatnya cukup bergengsi, selama 3 tahun berturut-turut profesi wartawan koran menjadi pemuncak ranking pekerjaan paling tidak menyenangkan. Gajinya hanya sedikit diatas penebang kayu, yakni 37.000 USD per tahun. Risiko kerja tinggi hingga bisa terbunuh, stres juga tinggi. Ironisnya tingkat gaji berpeluang turun sekitar 9 persen.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Vennenbernd
10 foto1 | 10
Contoh yang paling jelas adalah pada masa kampanye Pemilu Presiden 2014 dimana pemberitaan media terbagi dua. Saat itu media yang seharusnya bisa diandalkan publik untuk memberikan informasi yang benar dan tidak berpihak telah gagal menjalankan tugasnya karena harus mengikuti keinginan penguasanya untuk membela kandidat yang dijagokan. Hal ini juga masih terjadi saat pemilihan kepala daerah, bahkan untuk Jakarta yang baru memilih pemimpinnya di 2017 pun persaingan seperti ini sudah dimulai dari sekarang.
Intervensi yang kuat dari pemilik memang bisa terjadi dan kecenderungannya akan menjadi lebih buruk ketika bisnis media hanya dikuasai segelintir pengusaha. Apalagi jika mereka memang beritikad menggunakan bisnisnya untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dan atau mencapai kedudukan politis, tentulah segala cara dilakukan untuk mengamankan kepentingannya.
Para juragan media sering lupa bahwa secara prinsip dalam konteks demokrasi, walaupun mereka yang memiliki bisnisnya, media sebetulnya harus “mengabdi” kepada publik, memenuhi tanggung jawabnya untuk memberikan informasi yang diperlukan oleh masyarakat. Oleh karena inilah media juga sering disebut sebagai watchdog, bukan hanya terhadap pemerintahan, tetapi juga terhadap kekuatan ekonomi baik yang di luar maupun di dalam media sendiri.
Jadilah Konsumen Media yang Cerdas!
Jangankan untuk menjalankan fungsinya sebagai pilar keempat dalam demokrasi, yang sering terjadi justru media kita diperas hanya untuk menghasilkan keuntungan. Selain dipakai untuk promosi politik sesuai kepentingan pemilik, media kita cenderung lalai dalam melakukan cek dan ricek karena dituntut untuk adu cepat menyajikan berita supaya mendapatkan rating tinggi. Belum lagi, terpampangnya foto-foto kurang makna titipan para sponsor.
Ruang redaksi ternyata tidak dapat menjadi tempat sakral bagi para jurnalis untuk dapat mengekspresikan kebebasan pers. Jika kita melihat kondisi media kita yang hanya dikuasai 12 kelompok besar, hal ini tampaknya akan sulit dihilangkan begitu saja.
Menurut saya, yang terpenting adalah saat ini, kita sudah sedikit lebih paham soal kebebasan pers di Indonesia yang masih riskan, karena ancaman yang datang dari luar maupun dalam media. Dan oleh karena itu, sebaiknya kita pun perlu menjadi lebih cerdas saat mengkonsumsi isi media. Kita harus melihat bagaimana reputasi dan independensi media tersebut. Sudah selayaknya kita tidak cepat percaya apalagi terprovokasi dan ikut menyebarluaskan informasi yang seringkali tidak berimbang, bahkan sulit untuk dipertanggungjawabkan.
Selamat menyambut dan merayakan WPFD. Jangan lupa, kebebasan pers bukan hanya untuk media. Sesungguhnya kita, publik yang mengonsumsi media, juga akan merasakan dampak dari kebebasan pers. Kebebasan pers itu MILIK KITA!
Penulis:
Verlyana (Veve) Hitipeuw adalah alumni program master International Media Studies di DW Akademie yang mendapatkan beasiswa penuh dari pemerintah Jerman selama dua tahun. Ia juga sempat bekerja untuk Global Media Forum, konferensi internasional tahunan di Bonn. Sekarang ia bekerja di Jakarta sebagai Public Policy Manager di sebuah perusahaan multinasional.
Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Politisi Korban Satir
Ada yang marah besar, ada yang memberi pernyataan pribadi. Tiap politisi punya gaya kerja berbeda, dan bereaksi berbeda juga terhadap olokan atau kritik.
Foto: ZDF Neo Magazin Royale
Angela Merkel
Di puncak krisis utang Yunani, foto Merkel banyak dipermainkan di berbagai koran dan majalah Yunani. Biasanya ia dilengkapi dengan simbol-simbol NAZI. Pada sampul majalah satir Mystiki Ellada dari tahun 2012 ini ejekan terhadap Merkel bisa disebut ringan, dengan seragam angkatan bersenjata. Pemerintah Jerman tidak pernah mengambil tindakan terhadap satir seperti ini.
Foto: picture-alliance/Rolf Haid
Vladimir Putin
Foto-foto dari liburan Putin yang kerap menampakkan dirinya dengan dada terbuka dan memamerkan kekuatan bisa dibilang jadi makanan empuk satiris berbagai media. Pada foto ini, tampak Putin sebagai figur dalam parade karnaval di Düsseldorf tahun 2015.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Weihrauch
Donald Trump
Donald Trump yang mencalonkan diri jadi presiden AS dari Partai Republik adalah sasaran yang paling disukai para karikaturis dan satiris. Kadang ia bereaksi sensitif terhadap kritik. Pekan lalu, koran Boston Globe mempublikasikan judul fiktif, yang memparodikan politik imigrasi Trump. Milyarder itu menyebut koran tersebut "bodoh" dan "tak bermutu".
Foto: picture-alliance/AP Photo/The Boston Globe
Kim Jong Un
Penguasa Korea Utara itu tidak mengerti lelucon. Ketika film satir tentang Korea Utara "The Interview" diputar di bioskop AS 2014, terjadi serangan hacker terhadap studio film Sony dan ancaman serangan terhadap bioskop-bioskop AS. Menurut informasi dinas rahasia, pemerintah Korea Utara jadi dalang serangan siber tersebut.
Foto: picture-alliance/dpa/Columbia Pictures/Sony
George W. Bush
Presiden ke-43 AS tersebut selalu jadi sasaran lelucan pelawak dalam siaran Late-Night-Talker di AS. Motiv yang paling disukai: kemampuan berpikir intelektual Presiden Bush yang katanya sangat rendah. Terakhir, Bush menyediakan sendiri kesempatan bagi satiris untuk menyerangnya, dengan mengatakan bahwa ia jadi pelukis.
Foto: Getty Images/M. Tama
Benjamin Netanjahu
Perdana Menteri Israel ini sering diolok dan ditertawakan di acara TV "Eretz Nehederet" (negara yang hebat). Dalam acara ini, para pelawak membuat parodi perundingan antara Netanjahu dan Hamas. Netanjahu tidak pernah mengambil tindakan. Tahun 2013 ia bahkan tampil sebagai bintang tamu.
Foto: Getty Images/AFP/J. Guez
Khomeini di TV Jerman
Tahun 1987 terjadi hiruk-pikuk di televisi Jerman, berkaitan dengan pemimpin revolusi Iran, Ajatollah Khomeini. Entertainer Jerman Rudi Carrell menampilkan montage foto, di mana Khomeini tampak dilempari baju dalam perempuan ketika mengadakan kunjungan kenegaraan. Lelucon ini menyulut krisis politik, yang menyebabkan dua politisi Jerman diusir dari Teheran dan Carrel diancam akan dibunuh.
Foto: picture-alliance/dpa/I. Wagner
Erdogan dan Böhmermann
Apakah puisi Jan Böhmermann yang dituding berisi penghinaan terhadap Presiden Turki Erdogan akan meluas jadi krisis seperti tahun 1987 tidak bisa diperkirakan sekarang. Yang jelas, satir politik bukan pertama kalinya memicu kisruh di panggung politik dunia. Seperti bisa dilihat di masa lalu, tanggapan politisi terhadap olokan dan kritik bisa berbeda-beda.