Meski disambut, reformasi agraria yang dicanangkan Presiden Joko Widodo diklaim tidak akan berhasil selama pemerintah belum mengakui hak masyarakat adat. Sebab itu UU Masyarakat Adat harus diprioritaskan.
Iklan
Ketika pemerintah Indonesia mencanangkan reformasi agraria lewat distribusi lahan, aktivis Hak Azasi Manusia mewanti-wanti rencana tersebut tidak akan berhasil tanpa pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat.
Presiden Joko Widodo pekan ini menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Reformasi Agraria yang antara lain mencakup pembagian sertifikat tanah. Dengan cara itu pemerintah berambisi menuntaskan sertifikasi semua lahan di Indonesia hingga 2025.
"Presiden sudah dengan jelas mengatakan redistribusi tanah untuk penduduk miskin dan masyarakat adat mendapat prioritas," kata Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan Indonesia. "Kami ingin mempercepat reformasi agraria," ucapnya saat menghadiri sebuah konferensi di Bandung.
Tahun lalu pemerintah telah membagi-bagikan lebih dari lima juta sertifikat tanah, klaim Moeldoko. Tahun ini target pembagian sertifikat yang ditetapkan pemerintah sebanyak tujuh juta sertifikat dan sembilan juta sertifikat pada 2019.
Meski menilai pembagian sertifikat tanah bisa mengurangi angka kemiskinan, aktivis HAM meyakini keberhasilan reformasi agraria bergantung pada masyarakat adat.
Mentawai: Dalam Hening Memburu Kebebasan
Di lepas pantai barat Sumatera, warga mentawai berlindung dari hiruk pikuk kota besar. Suku kuno ini pandai meramu, berburu dan piawai dalam menato tubuh. Berpuluh tahun lamanya mereka tertekan beragam pemaksaan.
Foto: Getty Images/AFP/S. Wibowo
Hidup tenang di pedalaman
Generasi tua Mentawai hidup secara tradisional jauh di dalam hutan di pulau terpencil Siberut. Sesuai tradisi seluruh tubuh dihiasi tato. Selama beberapa dekade menolak kebijakan pemerintah Indonesia yang mendesak pribumi di pedalaman meninggalkan kebiasaan lama, menerima agama yang diakui pemerintah dan pindah ke desa-desa pemerintah.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/G. Charles
Terisolasi dari dunia luar
Suku asli Mentawai, memiliki budaya langka yang tidak dipengaruhi agama Hindu, Budha atau Islam selama dua milenium terakhir. Tradisi dan keyakinan mereka sangat mirip dengan pemukim Austronesia yang datang ke kawasan ini sekitar 4.000 tahun silam. Sejak bermukim di Pulau Siberut dua ribu tahun lalu, warga Mentawai hidup terisolir dari dunia luar.
Foto: picture-alliance/dpa/Zulkifli
Menghadapi paksaan
Ketika Indonesia merdeka 1945, para pemimpin negara berusaha mengubah mereka menjadi bangsa dengan bahasa dan budaya yang sama. Semua warga Indonesia harus menerima salah satu agama di Indonesia yang diakui secara resmi: Islam, Kristen, Katolik, Hindu atau Budha. Tapi Mentawai, seperti banyak suku-suku asli animisme Indonesia lainnya, tidak mau mengadopsi agama yang diakui oleh negara.
Foto: picture-alliance/dpa/Zulkifli
Diultimatum pemerintah
Tahun 1954, polisi Indonesia dan pejabat negara lainnya tiba di Siberut untuk memberikan ultimatum: Orang Mentawai memiliki waktu 3 bulan untuk memilih Kristen atau Islam sebagai agama mereka dan berhenti mempraktikkan ritus tradisional mereka, yang dianggap kafir. Kebanyakan warga Mentawai memilih Kristen. Mereka pun sempat dilarang bertato dan meruncingkan gigi yang merupakan bagian dari adat
Foto: Getty Images/AFP/S. Wibowo
Ritual asli dihabisi
Selama beberapa dekade berikutnya, polisi Indonesia bekerja sama dengan pejabat negara dan tokoh agama rutin mengunjungi desa-desa Mentawai untuk membakar hiasan tradisional dan simbol yang biasa dipakai untuk ritual keagamaan. Kaumtua melarikan diri lebih dalam ke hutan untuk menghindari tekanan aparat negara.
Foto: picture-alliance/maxppp/D. Pissondes
Rentan ideologi komunisme?
Reimar Schefold, antropolog Belanda yang tinggal di Mentawai pada akhir 1960-an, menceritakan Kepada New York Times, bagimana warisan kuno dihancurkan: "Ketika mereka gelar ritual, polisi datang, membakar peralatan tradisional mereka –yang dianggap berhala,” Pemerintahan di era Soeharto juga khawatir bahwa mereka yang tidak memeluk agama yang ditetapkan negara- rentan terhadap pengaruh komunis.
Foto: Imago/ZUMA Press
Hidupkan kembali tradisi
Sekarang hanya sekitar 2.000 warga Mentawai yang masih laksanakan ritual tradisional mereka. Demikian antropolog Juniator Tulius, Upaya hidupkan kembali tradisi Mentawa dimulai, namun masih terseok. Saat Indonesia menuju demokrasi pada tahun 1998, budaya Mentawai ditambahkan ke kurikulum sekolah dasar lokal. Warga Mentawai juga bisa beribadah dan berpakaian sebagaimana yang mereka inginkan.
Foto: picture-alliance/Godong
Melestarikan adat istiadat
Ini Aman Lau lau, ia disebut Sikerei atau dukun. Dapat dikatakan, ia adalah perantara yang bertugas menjaga kelancaran arus komunikasi antara manusia dengan alam atau roh. Dia punya perean sosial sebagai penyembuh atau menari, menghibur dan menyemarakkan pesta-pesta rakyat Mentawai. Editor: ap/as(nytimes/berbagai sumber)
Foto: imago/ZUMA Press
8 foto1 | 8
"Mereka harusnya menerbitkan UU Masyarakat Adat yang mengakui hak adat dan hak kolektif suku asli terhadap tanah dan sumber daya alam yang ada di dalamnya," kata Rukka Sombolinggi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, AMAN.
Jokowi sebelumnya berjanji akan mengembalikan lahan seluas 12,7 juta hektar kepada masyarakat adat. Namun hingga 2017 silam, baru 1,9 juta hektar lahan hutan yang telah diserahkan.
Selama ini redistribusi tanah masih dibatasi oleh sikap pemerintah yang hanya ingin membagikan lahan yang kepemilikannya "bersih dan jelas," serta bebas dari sengketa. Menurut Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), untuk mengatasi masalah ini pemerintah harus lebih banyak bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat.
Menurutnya UU Masyarakat Adat akan menjadi instrumen hukum untuk menuntaskan kasus sengketa lahan yang melibatkan tanah ulayat. "Perpres ini adalah langkah penting, tapi pemerintah harus melegalisasi hak masyarakat adat atas lahan sengketa untuk mencapai sasaran diterbitkannya Perpres tersebut," kata Nurdin kepada Thomson Reuters Foundation.
"Karena kalau tidak UU ini tidak akan menghasilkan reformasi yang diinginkan," pungkasnya.
rzn/hp (Reuters)
Toraja: Yang Mati dan Tidak Pernah Pergi
Buat suku Toraja kematian bukan penghabisan. Mereka yang telah tutup usia tidak benar-benar meninggalkan keluarga dan ikut menemani kehidupan sehari-hari mereka. Simak ritual kematian unik lewat galeri foto berikut:
Foto: Reuters/S. Whiteside
Bertukar Pakaian di Alam Baka
Kematian menemani kehidupan. Begitulah anggapan suku Toraja yang kaya dengan ritual kematian. Di sana jenzah keluarga yang telah dimakamkan, diangkat kembali untuk ditukar pakaiannya. Tradisi bernama Ma'nene itu digelar untuk menghormati leluhur yang telah tutup usia.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Berduka Dengan Waktu
Suku Toraja tidak mengusir kematian, melainkan menganggapnya bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Kelompok adat yang hidup di jantung Sulawesi itu meyakini kematian tidak memutus ikatan keintiman. Maka tidak heran jika sebuah keluarga menyimpan jenazah selama berpekan-pekan di rumah sendiri dan diperlakukan layaknya seseorang yang masih hidup.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Rambu Solo yang Mahal
Adalah upacara pemakaman Rambu Solo' yang membuat Toraja dikenal dunia. Ritual yang penting dan berbiaya mahal tersebut bisa berlangsung selama berhari-hari. Karena ongkosnya yang tidak murah, Rambu Solo kadang baru bisa digelar setelah berminggu-minggu atau bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Menunggu Penutupan
Selama itu pula keluarga harus bisa mengumpulkan biaya pemakaman agar bisa menguburkan anggota keluarga yang meninggal dunia. Jika belum dikebumikan, jenazah biasanya dibalut kain dan di simpan di bawah rumah adat alias Tongkonan. Arwah yang meninggal dunia diyakini belum pergi selama upacara pemakaman belum dirampungkan.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Kemewahan di Balik Kematian
Kemegahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh jumlah kerbau yang dikorbankan. Setiap elemen upacara pemakaman dibuat secara hirarkis untuk menegaskan status sosial keluarga yang ditinggalkan. Tidak jarang Rambu Solo berlangsung selama berhari-hari sebelum jenazah dibawa ke tempat peristirahatan terakhir.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Buat Kaum Kaya
Tapi uang pula yang membebani tradisi kuno ini. Seringkali keluarga harus berutang agar bisa membiayai Rambu Solo'. Tidak heran jika sejak awal upacara mewah ini hanya boleh dilakukan oleh kaum bangsawan yang menduduki kasta tertinggi dalam struktur sosial suku Toraja.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Sejarah Panjang Tradisi Toraja
Tidak ada yang tahu pasti kapan ritual kematian di Toraja mulai dipraktikkan. Namun penanggalan radiokarbon terhadap sebuah potongan peti mati yang dilakukan arkeolog Indonesia dan Malaysia mengindikasikan praktik pemakaman unik ini telah berlangsung sejak 800 SM. Suku Toraja mulai dikenal dunia setelah disambangi oleh penjelajah Belanda pada abad 19.