1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mampukah Indonesia Capai Emisi Nol Karbon?

21 April 2021

Pemerintah tengah mendorong kebijakan emisi nol karbon demi terhindar dari ancaman perubahan iklim yang nyata. Namun, ahli menegaskan bahwa pemerintah perlu menetapkan target yang lebih ambisius, emisi negatif karbon.

Foto ilustrasi emisi karbon
Foto ilustrasi emisi karbonFoto: Imago-Images/Action Pictures/P. Schatz

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, mengatakan pada Selasa (20/04) bahwa fenomena perubahan iklim adalah sesuatu yang nyata. Ia menjelaskan fenomena tersebut menyebabkan adanya peningkatan suhu dan perubahan curah hujan. Adapun intensitas bencana hidrometeorologi di Indonesia juga disebutnya meningkat.

"Bappenas mencatat bahwa 99% bencana yang terjadi selama tahun 2020 diakibatkan oleh bencana hidrometeorologi misalnya siklon seroja dan siklon surigae yang menunjukkan dampak signifikannya," papar Suharso dalam diskusi virtual Indonesia Net Zero Summit 2021.

Lebih lanjut Suharso mengatakan bahwa Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan yang mengusung keseimbangan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim pun jadi agenda prioritas pemerintah. Ini juga merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam Perjanjian Iklim Paris untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada tahun 2030.

Skenario target Net Zero Emission

Pembangunan rendah karbon, menurut Suharso dapat mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi hijau dan "mendorong Indonesia keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah income middle trap di tahun 2045."

Pemerintah pun saat ini mendorong kebijakan net zero emission atau emisi nol karbon, salah satunya untuk menghindari ancaman perubahan iklim. Empat skenario pembangunan net zero emission telah dibuat antara lain net zero emission tahun 2045, 2050, 2060, dan tahun 2070.

Suharso menjelaskan ada sejumlah kebijakan yang harus diterapkan jika Indonesia ingin mencapai target tersebut. "Harus dilakukan penurunan intensitas energi secara signifikan hingga tingkat efisien energi rata-rata berada di kisaran 6-6,5 persen. Dan ini tentu lebih tinggi dari tingkat efisien saat ini yang masih berada di kisaran 1 persen,” ungkap Suharso.

Ia menegaskan bahwa kebijakan efisiensi ini juga harus diiringi dengan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT). Selain itu, tak hanya kebijakan yang bersifat sektoral, kebijakan fiskal juga penting untuk diterapkan demi mencapai target net zero emission.

"Contohnya, dan ini sangat tidak populer, yaitu menghapuskan subsidi BBM hingga 100 persen pada paling tidak tahun 2030. Kita harus mulai secara bertahap dalam waktu dekat. Dan penerapan pajak karbon yang ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai 50 persen pada tahun 2030," katanya.

‘Tahun 2070 sudah terlambat'

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal menenekankan bahwa target net zero emission yang diusung pemerintah harus tercapai di tahun 2045 atau 2050.

"Mengapa? Tahun 2070 sudah terlambat karena menurut saya kita hanya mempunyai waktu 30 tahun hingga tahun 2050. Jika tahun 2070 yang diambil, itu sudah satu generasi terlambat," ujar Dino.

Mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI ini pun menegaskan bahwa ancaman perubahan iklim adalah ancaman "sepanjang masa yang taruhannya sangat besar."

'Net Zero menjadi jargon publik'

Sementara itu, ekonom senior Emil Salim menyampaikan alih-alih mencapai target net zero emission, Emil mengusulkan agar pemerintah memasang target ambisius net negative emission, alias negatif karbon.

Menurutnya saat ini dunia telah menghasilkan 51 miliar ton gas rumah kaca secara global dan mengakibatkan meningkatnya suhu bumi. Terlebih lagi, ia menekankan bahwa emisi gas rumah kaca yang terperangkap dapat bertahan hingga ribuan tahun lamanya.

"Maka strategi untuk nol karbon gas rumah kaca tidak cukup. Dia hanya menunda meledaknya dampak gas rumah kaca itu. Maka gas kaca rumah kaca harus berkurang  menjadi nol untuk kemudian diturunkan,” papar Menteri Lingkungan Hidup periode 1978-1993 ini.

"Karena gas rumah kaca itu tidak hilang, dia menumpuk. Maka penumpukan ini mengakibatkan bahwa tahun 2100, yakni 80 tahun dari sekarang, suhu bumi yang bergerak naik antara 4-8 derajat Celcius…itu yang dimaksud bisa menjadi neraka di dunia ini," tambahnya.

Ketua FPCI Dino Patti Djalal pun berharap konsep net zero dapat menjadi suatu jargon publik dan politik yang merakyat.

”Sudah waktunya kita mengusung nasionalisme iklim, yaitu di mana kecintaan dan kebanggaan kita terhadap bangsa Indonesia bersatu padu dengan perjuangan yang gigih untuk mencegah ancaman perubahan iklim terhadap masa depan Indoneisa,” tutup Dino.

(rap/pkp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait