1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kebebasan Berpendapat

Pemerintah Turki Semakin Menekan Kebebasan di Media Sosial

Daniel Derya Bellut
10 September 2021

Banyak politisi dan aktivis oposisi Turki memanfaatkan internet dan media sosial untuk menghindari kontrol negara. Belakangan ini mereka khawatir dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan pengawasan medsos.

Ilustrasi pengawasan media sosial di Turki
Ilustrasi pengawasan media sosial di TurkiFoto: picture-alliance/chromorange/R. Peters

Selama hampir dua dekade masa jabatannya. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berhasil menempatkan surat kabar dan sebagian besar stasiun televisi di bawah kendali pemerintahnya. Para politisi oposisi, aktivis dan kritikus pun beralih menggunakan jejaring media sosial untuk menciptakan lanskap media alternatif dan ranah publik yang lebih bebas.

Aktivis menggunakan Twitter, Facebook, YouTube, dan platform sejenis lainnya untuk menarik perhatian publik pada masalah yang ingin mereka soroti. Sementara politisi oposisi menggunakannya untuk memobilisasi pendukung para pendukung dan menyebarkan konten yang mereka terbitkan di media alternatif yang lebih kecil.

Tapi Erdogan dan pemerintahannya kini berusaha mempererat cengkeraman mereka di internet. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir pemerintahannya telah sangat menekan dan membatasi media sosial, langkah berikutnya yang akan tertuang dalam kebijakan baru dinilai akan lebih keras.

Klaim untuk cegah 'berita palsu, disinformasi, provokasi'

Pemerintah, bersama dengan Direktorat Komunikasi Kepresidenan Turki dan Regulator Media RTÜK, sedang merencanakan pembentukan direktorat media sosial untuk memerangi "berita palsu, disinformasi, provokasi, dan menjatuhkan keadilan di jejaring sosial." Pelanggaran akan dihukum denda dan penahanan. Menurut sumber pemerintah, proposal undang-undang tersebut saat ini sedang disusun.

"Ada keluhan dari semua lapisan masyarakat," Naci Bostanci dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) mengatakan kepada DW. "Orang-orang dan institusi menjadi sasaran akun media sosial palsu dan identitas palsu. Bahasa yang mengganggu perdamaian antara orang-orang dan dalam masyarakat juga digunakan. [...] Kami menginginkan undang-undang yang menghormati demokrasi, kebebasan dan keadilan." 

Kalangan oposisi ragu bahwa semangat dari proposal ini adalah tentang mempromosikan harmoni sosial. Kritikus mengatakan bahwa pemerintah hanya ingin memperluas pengaruhnya di dunia digital. Mereka khawatir direktorat yang akan dibentuk ini dapat memicu gelombang penahanan dan penyensoran akan semakin meluas.

Pemerintah menyangkal kecurigaan itu dan mengatakan bahwa: "Merusak kebebasan berkomunikasi tidak pernah ada dalam agenda kami," kata Bostanci kepada DW. "Kami ingin bekerja dengan semua pihak terkait, mengusulkan regulasi dan mencegah disinformasi."

Awal dari masa 'perburuan penyihir'?

Pakar komunikasi Mustafa Adigüzel, dari oposisi utama Partai Rakyat Republik (CHP), merasa skeptis. "Mereka terus mengatakan: 'Anak Anda atau pasangan Anda bisa menjadi korban berita palsu,'" katanya, sambil menunjukkan kenyataan bahwa pemerintahlah yang akan memutuskan apa yang dianggap palsu atau tidak, itu sudah bermasalah.

"Ini adalah awal dari perburuan penyihir di internet. Pada saat yang sama, Istana Kepresidenan akan menggunakan media sosial untuk menyebarkan informasi dan pandangannya," ujar Adigüzel. "Kata-kata Presiden Erdogan sering kali merupakan disinformasi yang paling murni. Akankah mereka juga mencegah pernyataan seperti itu?"

Pada Oktober 2020, pemerintah Turki telah secara besar-besaran meningkatkan kontrol atas konten internet dengan mengubah undang-undang media No. 5651 dan mewajibkan platform dengan lebih dari satu juta pengguna untuk membuka perwakilan di Turki. Jika Twitter atau penyedia jaringan sosial lainnya menolak, pengadilan Turki dapat memutuskan untuk mengurangi bandwidth mereka hingga 95%.

Dinilai mirip dengan langkah Cina, Rusia, dan India

Proposal peraturan baru ini akan memungkinkan denda 1 hingga 10 juta lira Turki untuk dikenakan pada konten yang oleh pemerintah dianggap dipertanyakan. Kritikus mengatakan bahwa ini adalah bentuk serangan lain terhadap kebebasan berbicara.

Tetapi perwakilan pemerintah berpendapat bahwa undang-undang serupa sudah ada di negara-negara demokratis seperti Jerman, dan Erdogan bahkan mengacu pada "model Jerman." Yang ia maksudkan adalah Undang-Undang Penegakan Jaringan (NetzDG) 2017 yang bertujuan untuk memerangi ujaran kebencian di internet dan memungkinkan penghapusan postingan yang mempromosikan kejahatan kebencian.

Tetapi kritik terhadap pemerintah Turki mengatakan bahwa kebijakan mengenai media online ini lebih mirip dengan yang diterapkan di negara-negara otokratis seperti Cina, Rusia dan India.

(ae/hp)