Kebijakan Tiga Anak untuk Mengatasi Krisis Demografis Cina
William Yang
2 Juni 2021
Banyak perempuan di Cina enggan mengikuti kebijakan pemerintah untuk memiliki tiga anak. Mahalnya biaya pendidikan menjadi salah satu faktor mereka enggan memiliki banyak anak.
Iklan
Cina berupaya membuat sejumlah langkah efektif untuk menangani krisis demografis, salah satunya adalah mengizinkan para orangtua memiliki tiga anak. Langkah tersebut semakin melonggarkan kontrol ketat Beijing atas hak-hak reproduksi warganya, yang diterapkan selama beberapa dekade terakhir.
Sejumlah ahli menilai kebijakan baru dari Beijing itu hanya akan berdampak terbatas pada tingkat reproduksi di Cina. Stuart Gietel-Basten, seorang profesor ilmu sosial dan kebijakan publik di Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong (HKUST), mengatakan kepada DW bahwa beberapa data hasil surveinya menunjukkan hanya segelintir warga Cina yang benar-benar ingin memiliki tiga anak.
Dia mengatakan faktor-faktor seperti biaya membesarkan anak-anak dan peluang karier bagi perempuan yang bekerja, membuat banyak perempuan Cina enggan memiliki lebih banyak anak. "Kami tidak memprediksi perubahan kebijakan itu, akan membuat perbedaan besar pada pola fertilitas secara keseluruhan di Cina," katanya.
Iklan
Banyak warga enggan miliki tiga anak
Brenda Liao, mahasiswi berumur 25 tahun, mengatakan kepada DW, banyak perempuan seusianya sekarang mempraktikkan gaya hidup baru yang disebut "rebahan", mengacu pada filosofi yang mendorong perempuan dan pria di Cina untuk mengerahkan upaya minimal untuk memenuhi tugas atau hal-hal dalam hidup.
"Tidak peduli kebijakan keluarga berencana pemerintah, karena saya sudah berkomitmen untuk memenuhi semangat 'rebahan' dengan tidak memaksakan harapan tentang memiliki anak pada diri saya sendiri," kata Liao. "Banyak teman saya juga memiliki filosofi yang sama dalam hidup."
Perempuan lain menyoroti tingginya biaya membesarkan anak di kota-kota besar di Cina sebagai alasan lain mengapa mereka tidak mempertimbangkan untuk mematuhi kebijakan tiga anak pemerintah. "Saya tinggal di kota tingkat satu di Cina, sehingga biaya untuk membesarkan anak membuat saya sangat cemas," kata Lily Bi, seorang profesor universitas.
Faktanya, sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh kantor berita Xinhua yang dikelola pemerintah di platform microblogging Weibo juga mendukung pemikiran yang dibagikan oleh banyak perempuan Cina.
Jajak pendapat tersebut menanyakan kesiapan para responden terhadap kebijakan tiga anak. Lebih dari 28.000 dari 31.000 responden mengatakan mereka tidak akan pernah mempertimbangkannya. Jajak pendapat itu kemudian dihapus dari Weibo.
Saat Penduduk Bumi Membludak
Kelebihan penduduk dipandang sebagai salah satu ancaman lingkungan terbesar planet Bumi. Tapi masalahnya: karena terlalu banyak orang - atau terlalu banyak konsumsi?
Foto: picture-alliance/dpa/P. Kneffel
Tahun 2050: ada 9,7 miliar manusia
Jumlah penduduk Bumi mendekati 7,5 miliar orang atau lebih dari dua kali lipat populasi global tahun 1960. Kemajuan dalam kedokteran dan kesehatan berpengaruh pada lebih banyak anak yang tumbuh sampai dewasa dan lebih banyak manusia mencapai usia hingga di atas 90 tahun. Pada tahun 2050, PBB memperkirakan akan ada 9,7 miliar manusia hidup di planet Bumi.
Foto: picture-alliance/dpa
Semakin butuh sumber daya
Lebih banyak manusia berarti semakin dibutuhkannya sumber daya. Bahan bakar berkelanjutan dibutuhkan untuk menyediakan energi. Sementara, bahan baku juga semakin diperlukan lebih untuk memproduksi barang yang manusia gunakan sehari-hari.
Foto: Colourbox
Praktik pertanian menguras kesuburan
Pertanyaannya: Apakah kita bisa memberi makan populasi yang terus tumbuh? Sebagai catatan, praktik pertanian industri juga memiliki dampak lingkungan yang parah – yang akhirnya mengancam ketahanan pangan dengan menguras kesuburan lahan. Sementara, terdapat kesenjangan pola pangan antara kaya dan yang miskin.
Foto: picture-alliance/newscom/A. Jenny
Kebutuhan akan air bersih
Pertumbuhan penduduk meningkat, tapi pasokan air bersih semakin langka. Sementara itu, seperti tercatat dari data Bank Dunia, pertumbuhan penduduk tercepat terjadi di negara-negara miskin yang bukan cuma kekurangan air bersih, namun juga kekurangan akses pendidikan dan kesehatan.
Faktornya beragam: akses kontrasepsi, budaya atau ekonomi. Menurut Bank Dunia, rata-rata perempuan di Niger, salah satu negara termiskin di dunia, punya 7 anak. Di beberapa wilayah sub-Sahara Afrika, rata-rata perempuan punya lima anak. Bandingkan dengan Portugal yang rata-ratanya 1,2 anak atau Uni Eropa yang rata-rata punya 1,5 anak.
Foto: AP
Emisi karbon
Namun harus dilihat lagi perbandingannya. Menurut Bank Dunia, rata-rata per orang di Niger, bertanggung jawab untuk 0,1 metrik ton emisi karbon setiap tahunnya. Sementara, di Portugal misalnya, emisi karbon per kapita: 4,4 metrik ton. Itu berarti seorang anak yang lahir dari ibu di Portugal cenderung memiliki dampak iklim setara dengan 44 anak-anak di Niger.
Foto: picture-alliance/dpa
Jejak ekologi
Global Footprint Network menghitung berapa luas lahan untuk hidup, --termasuk sumber daya alam yang diperlukan - di berbagai negara. Banyak faktor jadi penilaian di dalamnya, termasuk konsumsi energi, makanan, kayu, dan ruang untuk infrastruktur dan menyerap limbah, termasuk emisi karbon. Rata-rata orang Jerman, misalnya, memiliki jejak ekologi 5,3 hektar, sementara di Kenya hanya 1 hektar.
Foto: picture-alliance/AA/R. Canik
Persoalannya: jumlah konsumsi yang besar
Jadi mungkin masalahnya bukan berapa banyak jumlah penduduk, melainkan berapa banyak konsumsi kita. Sementara populasi negara-negara kaya di Eropa dan Amerika Utara mengkonsumsi sumber daya Bumi yang tidak berkelanjutan, negara-negara seperti Niger malah dilanda kemiskinan. Di seluruh dunia, hampir 800 juta orang tidak mendapatkan makan yang cukup.
Foto: Fotolia/anna liebiedieva
Jangan konsumsi berlebihan
Bukan hanya memperlambat pertumbuhan penduduk. Solusinya juga terletak pada bagaimana manusia mengkonsumsi sesuatu dengan bertanggung jawab dan tidak berlebihan. Diperlukan perubahan gaya hidup yang dramatis. Kurangi produksi daging, misalnya. Sayur-sayuran yang bisa dikembangkan berkelanjutan secara ekologis, bisa mencukupi populasi global dengan 9,7 miliar penduduk.
Foto: picture-alliance/dpa
Perubahan gaya hidup
Perlu digalakkan perubahan gaya hidup yang sadar lingkungan - dengan makan bahan pangan yang lebih berkelanjutan, hemat energi, belanja secukupnya, biasakan mendaur ulang. Meski tajk bisa dipaksakan secara hukum, kesadaran ini dipandang lebih rasional ketimbang pembatasan jumlah anak.
Foto: Fotolia/TrudiDesign
Pemaksaan=pelanggaran HAM
Memaksa orang untuk memiliki anak sedikit saja, bukan hanya merupakan kebijakan yang banyak ditentang tapi etikanya menjadi perdebatan kontroversial. Cina bergerak untuk menghapus aturan hukum hanya boleh punya satu anak. Di belahan lain dunia tindakan untuk mengurangi angka kelahiran dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Foto: Getty Images/AFP/M. Ralston
Pentingnya kesetaraan jender
Salah satu hal yang juga patut diperhatikan adalah kesetaraan jender, termasuk soal pendidikan dan perluasan hak bagi perempuan – termasuk hak atas tubuh dan organ reproduksi mereka sendiri. Negara dimana perempuan memiliki lebih banyak pilihan dan punya kesetaraan dengan laki-laki cenderung memiliki tingkat kelahiran rendah. ed: R. Russel (ap/as)
Foto: UNICEF/UNI46382/Isaac
12 foto1 | 12
Mengganggu hak-hak dasar warga
Meskipun kebijakan tiga anak melonggarkan kontrol ketat pemerintah atas hak-hak reproduksi, esensi dari undang-undang tersebut tetap mengganggu hak-hak dasar warga negara Cina.
"Keluarga Berencana memicu perang saudara selama setengah abad antara pemerintah Tiongkok dan rakyat Tiongkok. Untuk mengakhiri perang saudara ini, perubahan arah kebijakan kependudukan perlu diselesaikan dengan keputusan Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok," kata Yi Fuxian, seorang ilmuwan di University of Wisconsin-Madison di Amerika Serikat.
Langkah-langkah pendukung diperlukan
Gietel-Basten dari HKUST berpandangan bahwa selain kebijakan tiga anak, pemerintah Cina juga perlu meluncurkan langkah-langkah konkret yang dapat "memperbaiki masalah dari pangkalnya."
"Tantangan demografis Cina tidak akan mampu terselesaikan dengan cara meningkatkan jumlah kelahiran bayi,” kata Gietel-Basten.
Selain kebijakan tiga anak, pemerintah juga berencana untuk memperkenalkan serangkaian langkah-langkah pendukung dengan harapan dapat memperbaiki struktur populasi Cina secara mendasar.
Pemerintah berencana untuk menurunkan biaya pendidikan, meningkatkan dukungan keuangan dan perumahan, serta melindungi hak-hak hukum perempuan yang bekerja.
Terlepas dari kritik terhadap kebijakan tiga anak, Gietel-Basten mengatakan hal itu masih bisa menghasilkan beberapa perubahan positif untuk memperbaiki situasi tertentu yang harus dihadapi perempuan Cina. "Kebijakan itu menghilangkan inkonsistensi seputar kekhawatiran tentang tingkat kesuburan yang rendah," katanya. (ha/as)