Kebijakan Uni Eropa untuk Suriah dan Korea Utara
19 Februari 2013Para menteri luar negeri Uni Eropa dalam pertemuannya di Brussel (18/2) memutuskan memperketat sanksinya terhadap Korea Utara. Secara sepakat Senin (18/2) menteri luar negeri UE mengambil tindakan restriktif baru. Dengan demikian mereka bereaksi terhadap uji coba atom Korea Utara 12 Februari lalu. Menteri luar negeri Uni Eropa menyesalkan, "bahwa Korea Utara semakin buruk mengikuti haluan provokasi dan isolasi." Menteri luar negeri UE antara lain memutuskan, bahwa materi-materi penting untuk pembuatan roket, misalnya jenis-jenis tertentu dari alumunium tidak lagi akan dikirimkan ke Pyongyang.
Selain itu juga dilarang pembelian obligasi Korea Utara maupun pembelian emas dari badan milik negara.
Pengiriman uang kertas baru kepada Korea Utara dihentikan. Terhadap empat tokoh pimpinan lainnya rezim Pyongyang, dikeluarkan larangan kunjungan. Kini tokoh penting Pyongyang yang dikenai larangan kunjungan ke Uni Eropa berjumlah 26 orang.
Tetap Tidak ada Kiriman Senjata bagi Oposisi Suriah
Para menteri luar negei juga membahas tenatng Suriah. Embargo Senjata Uni Eropa terhadap Suriah sebetulnya berakhir masa berlakunya 1 Maret mendatang. Keputusan yang harus diambil adalah memperpanjang atau mengakhiri. Terutama Inggris secara berhati-hati mendesak "perubahan" dalam embargo senjata. Menteri Luar Negeri William Hague mengatakan di Brussel, orang sudah mengakui kelompok oposisi di bawah nama Koalisi Nasional sebagai wakil rakyat Suriah yang legitim.
Dukungan yang diberikan terhadapnya tidak hanya secara diplomasi politik, melainkan juga dengan perlengkapan militer. Spektrum bantuan militer ini sebaiknya diperluas. Tapi Hague sendiri tidak menyebut kata senjata.
Bukan rahasia jika pemerintah Inggris juga memikirkan hal itu. Argumennya, embargo akan berdampak pada dua pihak: pasukan pemerintah dan pemberontak. Tapi selama tentara-tentara Assad terlengkapi dengan baik dengan senjata-senjata dari negara lainnya, pihak pemberontak tetap berada pada posisi yang lemah.
Rompi Pelindung dan Detektor
Selama ini Perancis mendukung sikap Inggris, tapi sekarang pemerintah di Paris tiba-tiba menahan diri akibat kritik bertubi-tubi. Menteri Luar Negeri Inggris Hague di Brussel harus menelan komentar-komentar yang tajam. Menteri Luar Negeri Luksemburg Jean Asselborn berpendapat, "Di Suriah memang banyak terjadi kekurangan, hanya tidak kekurangan senjata." Sementara Menlu Jerman Guido Westerwelle mengatakan dengan tegas, "Pencabutan embargo senjata hanya akan membawa persaingan perlengkapan militer di Suriah" yang akan menelan banyak korban.
Sejumlah menteri juga berargumentasi, akan sulit menghindari senjata jatuh ke tangan yang salah. Singkatnya, ada penolakan untuk mengirimkan senjata kepada pihak oposisi Suriah.
Hasilnya adalah sebuah kompromi. Embargo senjata diperpanjang kembali selama tiga bulan, tapi diubah sedemikian rupa, agar di masa mendatang perlengkapan militer yang tidak mematikan dan peralatan teknik dapat sampai ke negara itu, guna membantu penduduk sipil. Barang-barang apa saja yang dimaksud, akan dikaji oleh para pakar dan ahli hukum. Menlu Jerman Westerwelle menyebut rompi pelindung dan detektor sebagai contoh barang-barang yang memungkinkan. Senjata secara tegas tetap merupakan pengecualian.
Politik Diplomasi Belum Optimal
Setidaknya di antara para menteri kebanyakan muncul kesan, bahwa peluang politik diplomasi dalam konflik Suriah belum diupayakan secara optimal.
Ini juga berlaku bagi situasi politik dalam negeri Suriah maupun upaya perdamaian dari luar. Dari pihak luar Uni Eropa tetap mengandalkan Dewan Keamanan PBB dan upaya utusan khusus internasional Lakhdar Brahimi. Penghalang utama di DK PBB adalah Rusia, yang masih tetap mendukung pemerintah Suriah. Menteri Luar Negeri Swedia, Carl Bildt memperingatkan Uni Eropa dari sikap melangkah sendiri. "Jika kita mengambil langkah-langkah yang makin memecah Dewan Keamanan PBB, konflik itu paling tidak dalam waktu dekat akan memanjang dan rezim dapat memainkan pengaruhnya."
Mengakhiri embargo senjata menurut pandangan Bildt sudah pasti akan menjadi langkah yang kontraproduktif.
Sejumlah pemerintah Uni Eropa juga menentang dukungan militer bagi oposisi, karena mereka tidak benar-benar mempercayainya. Menteri Luar Negeri Austria Michael Spindelegger mengatakan, kelompok minoritas seperti warga Kurdi, Alawi, Kristen dan Druze merasa belum terwakili "secara memadai" dalam Koalisi Nasional. Ini menunjukkan bahwa formasi oposisi Suriah saat ini masih belum sampai pada apa yang seharusnya."